Minggu, 26 Agustus 2012

Ku Temukan Milikku(21)


Sudah hampir setahun akhirnya aku kembali menghirup udara pedesaan Majalengka. Ya, di sinilah tempatku lahir. Semua saudara pasti berkumpul di rumah nenek dan kakekku ini. Rasanya senang, berasa beban hilang jika sudah di sini.
            Kulihat semua tante dan saudaraku sudah di depan rumah menyambut. Mataku langsung tertuju pada Cia, sepupu tertua di antara aku dan Vey. Senyum ini tertahan, namun sepersekian detik bibir ini mampu membuat senyum untuknya.
            “Halo Cia, halo teh Vey!” ucapku memberi salam pada kedua saudara tersayangku itu.
            “Nina, nanti malem kita main ke depan pos itu ya!” teh Vey mulai semangat.
            “Iya teh, aku mau istirahat dulu ya,” jawabku.
Sampai kamar, ku jatuhkan tubuhku di atas kasur dengan pakaian lengkap. Aku sedikit terbayang tentang aku dan Cia dahulu, lama-lama mataku terpejam karena lelah dengan senyum di bibirku. Aku sudah tidak mempermasalahkan masa lalu, mengapa? Karena kami saudara, Cia satu-satunya saudara yang ku sayangi sejak kecil.
            Sebentar sekali aku tertidur. Sudah magrib, aku pun bangkit dari kasur untuk mandi dan shalat.
            “Nina! Udah jam tujuh, ayo ikut ke pos depan!” teriak Vey dari depan pintu rumah.
            “Ngapain sih teh? Gelap,” jawabku sedikit malas.
            “Kita ngobrol lagi kaya biasa, ada Cia juga ko. Rany dan Zaky juga ada,”
            “Iya deh,”
            Bermain kembang api dan petasan di pinggir jalan, menyenangkan sekali. Ingin rasanya terus berada di sini. Jika di pikir-pikir, semua saudara kumpul, hanya Aa tertuaku A Erdy yang tak datang karena dinas malam di rumah sakit. Bagaimana dengan dia? Salah satu sepupu laki-lakiku yang ku panggil A Deny, sayang dia jarang sekali bertemu denganku.
            “Bintangnya banyak ya?” entah aku bicara pada siapa.
_***_

Tiga tahun yang lalu.
Umurku baru beranjak 16 tahun, saat hari lebaran seperti biasa semua saudara berkumpul di rumah nenek dan kakekku. Kami bersalam-salaman, ada juga yang memberi salam tempel alias angpau.
            Saat hampir sepi, baru saja aku duduk mataku tertuju pada satu orang yang berjalan memasuki lorong rumah nenekku. Tanpa sadar kurapihkan sedikit rambutku yang sudah lepek seharian bertemu saudara-saudara.
            “Bu, itu A Deny kan?” tanyaku berbisik.
            “Iyah, ayo bangun!” jawab ibu singkat.
            Ya ampun, semakin dekat, jantungku semakin cepat berdetak. Aku sudah berusaha biasa saja, namun kupingku panas begitu aku bersalaman dengannya. Kulihat wajahnya sebentar sekali, aneh. Ya, akhirnya penyesalan yang datang. Dia pulang, padahal ingin sedikit saja mengobrol.
Ini setahun kemudian.
            “Pah, ayo berangkat. Pengen ketemu A Erdy yang mau nikah besok,” ucapku semangat memasukan tas-tas ke dalam mobil.
            “Iya, ayo. Udah semua kan? Nanti malem kita tidur di Garut tempat Aa, biar langsung ke acaranya,” jelas Papah.
            Sesampainya di sana, udaranya begitu dingin. Semua orang sibuk untuk acara besok. Aku juga melihat Zaky dan Cia, aku sudah biasa saja melihat mereka. Tak ku bayangkan, sudah pukul 12 malam aku belum bisa tidur.
            “Papah! Nyamuuuuuk! Kenapa kita tidur di mobil?” tanyaku dengan melas.
            “Ya rumah Aa-nya kan penuh sama barang-barang. Semua orang juga ga pada tidur,” jawab papah.
            “Terus, besok pagi mandinya gimana? Acaranya mulai kapan?” tanyaku lagi.
            “Ya, di dalam saja gentian. Acaranya jam 10 pagi, udah tidur sana nanti ga bisa bangun besok pagi!” jelas papah lagi, enteng sekali ucapannya.
            Aku berpikir harus bangun pagi-pagi sekali. Malu bagaimana jika aku yang baru mandi dan belum dandan sama sekali acara sudah di mulai. Oh, tidak.
            Akhirnya pukul lima subuh aku bangun, mataku berat, sungguh. Setelah semua orang siap, tepat pukul 10 acara di mulai, sedikit siang para tamu undangan bertambah. Aku duduk di samping Cia, lalu mencari makanan. Melihat A Erdy dan istrinya yang sudah sah rasanya ingin membayangkan suatu hari saat aku yang berada di atas pelaminan, apakah ada cowok baik untukku? Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri saat berjalan kembali. Begitu aku kembali duduk di samping Cia, tubuhku kaku sekali.
            “Eh ada A Deny,” sapaku tersenyum padanya yang duduk tak jauh di sampingku.
            “Iya,” balasnya dengan senyum.
Pelan-pelan aku memalingkan wajahku, tapi aku tak bisa menahan senyumku, pipiku sudah sakit menahannya. Aku bingung, ingin ngobrol tapi malu. Tiba-tiba saja sms masuk ke hp-ku, waktu yang tepat.
            Aku jadi bisa senyum sepuasku, padahal sms-nya tidak lucu sumpah. Aku juga sedikit mengobrol dengan Cia, dan memberanikan diri bicara dengan A Deny. Sudah dua kali perasaanku begini jika bertemu dengannya. Apa mungkin suka? Ingin sekali aku bertanya pada Cia, namun masih ada sedikit trauma karena masalaluku dengannya. Aku hanya bisa diam memendam rasa yang membingungkan ini.
_***_

A
ku tersadar dari lamunanku di masalalu itu, sudah hampir tiga tahun. Mungkin sekarang waktunya aku bertanya tentang keraguanku pada Cia. Dia pasti mengerti masalah cinta saudara ini. Tapi, Cia sedang asik ngobrol dengan Zaky.
            “Nina, pulang yuk!” ajak Vey menarik lenganku.
            “Cia gimana?” tanyaku. Vey masih diam sampai di depan pintu rumah.
            “Aku ada masalah saja tadi dengan Cia,” jelasnya pelan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku masih gak enak rasanya, harusnya dia ngerti ada Nina di situ, tapi kenapa dia enak banget ngobrol dengan Zaky!” ucapnya sedikit membentak.
“Udahlah teh, kan udah berlalu. Aku juga udah gak masalah kok,” jawabku datar.
“Oke deh, sekarang udah gak apa-apa ko,” ucap Vey sembari berjalan memasuki ruang tv. Aku terus mengikutinya dan mendengarkan.
Aku terkejut, di ruang tv ada A Deny yang sedang duduk sendiri. Aduh, kali ini apa?
            “Nina, teh Vey salim dulu tuh sama Aa baru datang,” ucap Ibuku.
Oke, tangan dan kakiku terasa dingin. Aku hanya duduk di hadapannya, menonton acara tv yang tak kusukai sama sekali. Tanpa sadar aku terus bertahan untuk tidak beranjak dari dudukku meski mata sudah berat ingin tidur.
“Senangnya bisa liatin dia terus, sudah lama sekali tidak bertemu. Sekarang beda, aku malah tambah suka. Ups, apa boleh?” ucapku dalam hati. Di luar aku menahan senyumku, tapi di dalam aku terus berpikir seperti itu.
Terlepas dari pikiranku sendiri, ada peluang muncul. Tanteku bertanya pada A Deny.
“A, kenapa itu kakinya?” Tanya tante.
“Ouh, ini jatuh dari pohon,” jawabnya.
“Kenapa A?” tanyaku, suaranya sangat pelan hampir tak terdengar olehku.
“Jatuh dari pohon, tapi gak apa-apa kok,” jawabnya dengan senyum.
“Ouuuh,,” uh ingin sekali memberinya perhatian lebih tapi ada rasa malu jika sudah menyukai seseorang sekalipun itu sepupu sendiri.
Sebenarnya aku tak begitu memperhatikan jawabannya, mataku terus menatapnya. Ini pertama kalinya mata kita bertemu, lama sekali. Aku baru sadar bahwa selama ini senyum dan matanya yang mampu membuatku ingin memilikinya.
            “Aduh, kenapa dia gak buang muka sih? Kenapa juga mataku nempel terus liatin dia,” ucapku dalam hati.
Aku terus tersenyum padanya, lama-lama kupingku panas, nyerah deh. Aku palingkan mukaku ke tv, sedetik kemudian kulihat lagi, dia masih melihat dan langsung memalingkan mukanya ke tv. Aku pun menutup mulutku dengan bantal, senyumku lebar.
_***_

Hampir pukul sembilan dia pamit pulang, langsung saja ku adakan pertemuan saudara seperti biasa di ruang tamu.
            “Cia, A Deny itu kaya Zaky enggak? Maksudnya, apa kita boleh pacaran sama dia?” tanyaku langsung.
            “Hmm,, masih boleh kok. Teteh suka ya sama Aa?” jawab Cia meledek.
            “Ih, huusst! Jangan bilang-bilang, untung teh Vey lagi ke dapur. Boleh gak sih aku suka dia Ci? Dari dulu tau,” tanyaku penasaran.
            “Hehe, boleh kok teh. Wah, nanti ada yang ngasih pajak jadian nih,” ledeknya lagi.
            “Lah, kaya dianya suka aja sama aku Ci. Kan cuma aku doang yang suka,”
            “Ngomongin apa sih? Aku denger loh, cie Nina!” ucap Vey yang tiba-tiba muncul membawa minum.
Aku langsung saja diam, semoga tak ada yang mendengar lagi.
_***_

S
eminggu berlalu, Cia berkata padaku bahwa dia sedang smsan dengan A deny. Terasa ada goncangan sedikit di hatiku, apa yang dulu akan terulang lagi? Baru saja A deny meminta nomorku. Apa Aa bukan untukku lagi? Sudahlah aku menyerah, hanya mampu meminta Cia untuk tidak mengulanginya seperti dulu sekalipun A Deny memang bukan untukku.
            Tapi aku masih ingin berusaha, saat smsan dengan A deny aku ingin dia tahu aku suka meskipun tak ku katakan, tapi takut untuk tahu reaksinya.
A deny bicara tentang menyukai sepupu apa boleh atau tidak. Perasaanku tak enak, mungkinkah selama ini dia menyukai Cia? Awalnya aku biasa saja menanggapi. Kemudian Dia membawa-bawa nama Cia. Rasanya ingin menyudahi saja obrolan itu, aku tak ingin mendengar yang tak ingin ku dengar. Ingin menangis.
Anehnya A Deny terus mancing-mancing aku untuk menjawab siapa sepupu yang kusukai jika memang itu dibolehkan. Sekarang aku tak ingin Dia tahu, tapi tebakan Dia selalu benar, dan itu memang menjurus ke Dia. Sudah, aku tak ingin membalasnya.
Tak lama satu pesan masuk darinya, berisi tentang perasaan A Deny sesungguhnya adalah aku yang disukainya bukan Cia. Sungguh, tubuhku gemetar tak percaya. Tapi akhirnya memang begitulah kenyataannya. Tepat tengah malam senyumku mengembang, rasa lega seperti baru terhindar dari badai. Jauh saat pernikahan A Erdy dilaksanakan, getaran itu muncul secara alami. Begitulah takdir kita dipersatukan.
A Deny milikku, bukan Cia. Mungkin sudah takdirnya Zaky milik Cia. Agar  keajaiban itu datang, ku temukan yang sesungguhnya milikku sekali pun itu terlarang!
“Sssssstt.. Hanya aku, kamu, dia, dan dirinya yang tahu.” :)

Karya: Tantanet :)

Kamis, 09 Agustus 2012

Cintaku Sahabatku(8)


“Mau kamu gimana Vey?” tanya Wahyu padaku, di seberang telfon genggam yang ku pegang.
                “Aku gak bisa terus begini! Aku ga liat sama sekali pengorbanan kamu untuk aku!” Ucapku sedikit membentak. Lorong sekolah yang hening membuat suaraku memantul di antaranya.
                “Jadi kamu gak sanggup?!” tanya Wahyu sekali lagi meyakinkan.
Aku tak tahu harus menjawab apa, aku sayang dengan Wahyu, tapi tak yakin dia benar-benar menyayangiku seperti halnya yang aku rasakan. Sekejap saja telfon genggam yang tadinya menempel di kupingku, kini sudah berpindah tangan.
                “Kalo lo gak serius sama Vey, tinggalin dya!” bentaknya keras pada Wahyu. Tak lama dia berkata lagi ‘oke!’ secara keras dan menutup telfon genggamku. Aku tak percaya, yang ku lakukan hanyalah bengong seperti sapi ompong.
                “Apa yang lo omongin tadi? Parah lo!” teriakku yang akhirnya sadar dari kebengonganku tadi.
                “Udahlah Vey! Dia gak serius sama lo! Gak usah di pertahanin lagi kenapa sih?!” bentaknya padaku, sehingga mampu membuatku terdiam dan kesal.
                “Atas dasar apa lo kayak gitu? Gue jadi putus kan sama Wahyu! Gue sayang sama dia!” teriakku tak mau kalah. Tapi dia hanya mengembalikan telfon genggamku dan langsung beranjak pergi.
                “Heh, gue benci sama lo Reeey..!!” teriakku sekuat tenaga agar dia yang sudah hampir jauh mendengar. Kalau bisa semua orang harus tau betapa keselnya aku saat itu.
                Yah, Reyza adalah sahabatku semenjak masuk SMA, di sekolah ini ada dua jurusan, yaitu SMA dan STM. Entah bagimana caranya aku yang SMA bisa sedekat ini dengannya yang di STM. Reyza itu aneh, semenjak kelas dua ditahun kemarin, dia semakin perduli denganku. Mau tahu saja semua urusanku. Tapi aku cukup senang dengannya yang perhatian dan selalu membelaku saat aku diganggu teman-temannya. Bahkan ceweknya mungkin tak seberuntung aku. Entahlah.
_***_
K
u lihat semua foto-fotoku bersama Rey, begitu bahagia kami saat itu. Tapi ku temukan satu foto yang terselip di balik bingkai itu. Setelah aku ingat, itu foto 3 bulan lalu saat ada rekreasi sekolah seluruh anak kelas 3. Di foto itu aku sedang menangis di bahu temanku, yah aku yakin itu karena Wahyu. Dia selalu membuatku menangis.
                “Tunggu dulu, kenapa ada Rey di belakangku?” ku lihat jauh tapi aku yakin mataku masih normal bahwa Rey hampir menangis memperhatikanku, atau itu hanya karena ia habis menguap. Aku tak yakin. Ngomong-ngomong tentang Rey, aku merindukannya setelah 3 hari kami bermusuhan sejak kejadian itu.
                Tiiin...Tiiin...
                Dukduk..Dukduk..
Pagi-pagi gini masa ada demo depan rumah aku? Berisik banget sumpah! Omelku dalam hati yang masih mengantuk dan tergolek lemah di ranjang kasurku yang nyaman.
                “Woy! Bangun! Dasar tukang tidur, jangan bikin gue ikutan telat!” teriak seorang cowok, sembari manarik-narik selimutku dan tangaknku hingga aku terbangun. Ya ampun hampir saja aku di peluknya, saking kuatnya dia menarik lenganku.
                “Buset! Ngapain lo di kamar gue?” teriak aku yang jelas saja kaget melihat Rey di depan mataku.
                “Cepat mandi! Gue tunggu di depan! 15 menit gak ke depan, gue tinggal!” ucap Rey meninggalkanku begitu saja. Aku masih mencerna kata-katanya, aku pun langsung saja mandi dan cepat bersiap-siap. Sudah 3 hari ini aku tidak di bonceng motor matiknya Rey lagi karena pertengkaran itu.
                Ya ampun aku telat 15 menit, pasti ditinggal. Aku panik karena sudah terlambat, tanpa basa-basi langsung saja aku nyelonong keluar pagar rumahku untuk mencari taksi. Tiba-tiba saja ada yang menarik lenganku, cukup sakit hingga menyadarkan aku bahwa itu Rey. Malu sekali aku, ternyata dia masih menunggu di samping rumahku meski aku terlambat. Di jalan kami hanya saling diam, anehnya aku merasa jantungku berdegup kencang, beda dengan biasanya. Padahal sudah beratus kali aku di bonceng olehnya.
                Akhirnya sampai juga di sekolah, ujung-ujungnya kami berdua tetap dijemur di lapangakn sampai bel istirahat selesai. Nah, ini baru pertama kalinya aku merasa bahagia di jemur bersama Rey. Aku senang semua orang mengetahui kedekatan kami, mereka mengakuinya termasuk kekasih Rey.
                “Elu sih, lama banget dandannya!” ejek Rey memulai.
                “Enak saja, kenapa lo nungguin gue! Siapa pula yang nyuruh lo ke kamar gue?” jawab aku tak mau kalah lagi dan lagi. Tapi belum sempat Rey membalas, Shinta memotongnya dengan sebuah kalimat yang tak mengenakan.
                “Apa? Kamu ngapain say ke kamar dia? Mending juga ke kamar aku.” Ucapnya sok imut, sembari merangkul lengan Rey yang sedikit berotot. Aku lihat Rey gugup, karena merasa tak enak di depanku. Sungguh, entah kenapa hatiku panas. Pas sekali jam istirahat selesai, aku pun ingin sekali cepat pergi dari sini.
                “Vey! Kalian udah baikan kan? Aku yang suruh Rey jemput kamu tadi supaya kalian bisa baikan lagi.” Ucapnya tersenyum padaku sebelum ku beranjak dari tempat itu.
                “Iyah, udah ko. Makasih Shin, duluan ya.” Jawab ku dengan senyum garing dan berlalu.
Lima meter sudah ku menjauh dari mereka, ku lihat mereka begitu dekat. Jadi Rey datang bukan untukku melainkan karena Shinta. Aku kecewa, ada apa denganku? Aku berjalan dengan penuh emosi, ku masuki kamar mandi wanita dan menatap wajahku di cermin. Apa yang ku pikirkan? Kenapa hatiku sakit? Padahal mereka sudah lama dalam hidupku, dan aku enjoy saja di dekat Rey dan Shinta. Batinku bertanya-tanya.
                Ku basuh mukaku dengan air, berusaha menenangkan hati dan pikiran. Saat ku keluar Rey menghadangku di depan pintu. Ku lihat Arman yang langsung pergi meninggalkan kami berdua, sialan Arman! Dia tahu aku cemburu dan mengadu pada Rey.
                “Lo cemburu?” tanya Rey tanpa basa-basi membuatku panik.
                “Terus lo peduli?” jawabku sekenanya.
Bodoh, sudah jelas terlihat aku cemburu jika jawabanku seperti itu. Aku pergi mengindarinya, tapi lenganku ditariknya dan memepetkan tubuhku di tembok. Sial sekali sekolah sepi karena ini jam belajar, tentu saja membuat Rey berani melakukan ini padaku. Jarak antara wajahku dan wajahnya terlalu dekat untuk sekedar bicara.
                “Mau apa lo?” tanyaku sedikit takut jika dia merasakan debar jantungku yang keras.
Bukannya pergi, Rey lebih mendekatkan wajahnya padaku. Lama-lama seluruh tubuhku mendidih jika begini. Tak sanggup melepas tahanan Rey pada tubuhku, aku hanya mampu menutup mataku. Dan sebuah kecupan lembut mendarat di dahiku. Maaf bukan seperti yang kalian pikirkan lho.
                “Kamu sakit? Dahi kamu panas. Aku antar pulang ya?”ucap Rey padaku tiba-tiba.
                “E....Enggak kok. Gue cuma cape. Lo pulang bareng Shinta aja.” Jawabku segera meninggalkan Rey yang kebingungan. Apa-apaan dia barusan? Bodoh! Mungkinkah ini cinta? Rey itu cakep, tinggi ideal, rambutnya yang rapih seperti Fandy Christian. Tapi Rey adalah sahabat terbaikku, diapun milik Shinta. Akan lebih menyakitkan bila ku biarkan hati ini berkembang. Aku ingin diriku yang dahulu.
_***_

                “Vey, gue diputusin Shinta. Bantu gue, lo tau gue sayang banget sama dia.” Ucap Rey padaku di malam hari yang sunyi di teras rumahku.
                “Kenapa bisa putus?” tanyaku sedikit sedih namun senang juga mendengarnya. Yah, hatiku tidak bisa kembali.
                “Karena gue terlalu dekat sama lo. Bantu gue Vey, please.” Pinta Rey dengan wajah yang begitu melas. Sungguh hati ini sakit, namun aku tak ingin melihat Rey seperti ini. Akhirnya aku menyetujui untuk membantunya, setelah 2 hari aku terus berjuang memohon pada Shinta untuk kembali pada Rey, sampai aku minta maaf atas kesalahan Rey, Shinta pun kembali membuka hatinya. Dari dia aku tahu Rey pernah memiliki perasaan padaku yang membuat Shinta memutuskan Rey. Aku sungguh terkejut, tapi sialnya aku sudah terlambat, Shinta sudah percaya usahaku lebih cepat dari perkiraanku.
                “Makasih ya Vey, gue udah balikan lagi sama Rey.” Ucap Shinta padaku keesokan harinya di sekolah. Dia tersenyum bahagia.
                “Iya Shin, gue ikut seneng, karena gue juga gak mau ngeliat Rey menderita. Dia udah sayang banget sih sama lo daripada gue.” Balasku tersenyum meledek dengan hati yang sakit. Shinta hanya tertawa dan pergi.
                Malam minggu aku sendiri di teras rumahku, mengobati luka yang kuperbuat sendiri. Bodoh sekali aku, mencintai sahabatku sendiri, dan disaat ada kesempatan malah membantunya kembali pada Shinta. Seandainya dia tahu perasaanku membalas perasaannya saat itu. Ya sudahlah aku terima risiko ini, memang rasa ini harus diakhiri.
                “Vey, gue temenin sampai pagi ya?” tiba-tiba saja Rey datang. Aku kaget dan lagi-lagi sedikit bahagia, karena tahu malam ini dia lebih memilih menemaniku daripada Shinta.
                “Makasih, udah buat Shinta balik sama gue.” Ucap Rey sekali lagi mengelus rambutku.
Senyumku kini berubah 180 drajat. Lagi-lagi karena Shinta. Cintanya pada Shinta lebih besar dari pada cintanya padaku. Aku hanya mampu kembali tersenyum dalam hati yang perih.
                “Selow aja kali, gue seneng banget punya sahabat yang nyebelin kaya lo.” Ucapku pada Rey.
Tak segan-segan ku peluk tubuhnya yang tinggi, sama seperti dulu saat di mana kami selalu berpelukan seperti ini dikala rindu, sedih, bahagia, dan sebaginya. Tak perduli dia merasakan debar jantungku yang keras atau tidak. Yang jelas malam ini ku ingin memeluknya sepuasku.

Karya: Tantanet :)