Rabu, 19 Desember 2012

Peri Kucing(14)


S
etiap hari Cia sekolah di salah satu SMA di Tokyo. Begitu pulang ke rumah, dia selalu saja bermain dengan kucing kesayangannya. Rue adalah kucing berjenis kelamin laki-laki, yang ditemukan Cia di pinggir jalan dekat rumahnya. Kucing blesteran anggora ini selalu menemani Cia.
            Seperti halnya sekarang, lagi-lagi Cia menangis. Dia menceritakan semuanya pada Rue, Cia disakiti lagi oleh laki-laki yang ia cintai. Tidak hanya itu, keluarga Cia yang sepi membuat Cia kesepian. Orang tuanya semua sibuk, tak pernah ada waktu mendengar Cia. Makanya, Cia lebih senang Rue berada di sisinya.
            “Rue, seandainya kau manusia. Mungkin kau akan mengerti semua ceritaku.” Ucap Cia menangis mengelus-elus bulu Rue yang putih dan halus.
            “Cia, andai saja kau tahu. Aku mengerti semuanya. Karena aku ini peri kucing.” Ucap Rue dalam hati. Rue hanya bisa mengeong dan menjilati pipi Cia.
            Cia merasa kesepian, ia merasa percuma bercerita pada seekor kucing. Tapi mau bagaimana lagi, ia menyayanginya dan hanya Rue yang ia punya. Hari demi hari ia lewati dengan senyum yang menutupi luka di hatinya.
            “Bu, pulanglah malam ini. Hari ini ulang tahunku.” Pinta Cia pada ibunya yang sedang sibuk untuk berangkat kerja. Ayahnya pun sudah lebih pagi berangkat.
            “Iya, ibu usahakan ya nak. Ibu berangkat.” Ucap ibu mencium kening Cia dan berlalu pergi.
Padahal ini hari minggu, tapi mereka tetap saja sibuk kerja. Cia menahan air matanya, masih terdiam di depan pintu. Rue datang dan menarik-narik celana tidur Cia yang panjang dengan gigi kecilnya. Cia masih belum mau beranjak, sampai pintu itu akhirnya didorong oleh Rue hingga menutup. Cia tersadar dan menggendong Rue dengan tersenyum.
_***_

C
ia terus menunggu ibu dan ayahnya pulang sampai pukul 11 malam. Dia termenung di kamarnya, di hadapan kue ulang tahun yang sudah meleleh dan hampir hancur. Ia menelfon ayah ibunya, dan jawaban yang sama dari mereka adalah “Masih ada kerjaan. Tidur saja duluan.” Seperti itulah kata mereka. Cia mulai menitikan butiran air mata satu persatu ke atas kue ulang tahun itu.
            “Sesibuk itukah mereka? Aku ini siapa? Untuk apa kue ini! Buang-buang duitku saja!” teriak Cia yang sudah terlalu sedih. Dia menangis sejadi-jadinya.
Rue yang melihat Cia sebegitu menderitanya, ikut merasa sedih. Dia hanya mampu terduduk di depan kue ulang tahun itu, di hadapan Cia yang menunduk. Tak ada yang bisa ia lakukan, Rue merasa Cia bukan sekedar majikan, tapi juga sahabat. Bahkan mungkin Rue telah jatuh cinta hingga ia ingin sekali menjaga Cia.
“Tuhan, berikanlah aku malaikatmu, agar aku tak kesepian. Aku butuh seseorang yang tak akan pergi dariku. Seseorang yang akan selalu temaniku. Tidak seperti ini.” Pinta Cia dengan suara yang terisak-isak. Dia memohon dengan sangat pada Tuhan.
Tiba-tiba Rue memikirkan ide mustahil di kepalanya. Ia segera berlari menuju dunia malaikat dan peri, di atas khayangan. Ia memohon pada raja kucing untuk mengubah ia menjadi manusia.
“Raja, aku mohon ubahlah aku menjadi manusia.” Ucap Rue.
“Itu mustahil, untuk apa?” tanya sang raja.
“Kau lihat majikanku seperti itu. Aku ingin menjaganya selamanya, tapi tidak dalam sosok kucing ini! Aku mencintainya, raja!” ucap Rue meyakinkan. Tapi raja marah dan tak mengijinkan, itu mustahil. Ia menyuruh Rue kembali.
Akhirnya Rue kembali dengan penyesalan. Di kamar, Cia masih sedikit menangis. Rue sungguh tak tahan, ingin sekali ia mengelap air mata Cia.
“Rue, andai saja kau malaikat. Bicaralah dan hibur aku.” Ucap Cia. Rue terdiam, dia bahkan meneteskan air matanya. Raja melihat kesungguhan hati Rue, akhirnya raja mengutus Rue menjadi manusia setengah malaikat. Walau bagimanapun, seorang malaikat tak akan bisa menjadi manusia seutuhnya.
Tepat pukul 12 tengah malam. Tubuh Rue bercahaya, dan ada sedikit angin berhembus mengelilinginya. Rue kaget dan senang, ini adalah tanda perubahan menjadi manusia. Cia bingung apa yang terjadi, ia menutup mata dengan satu tangannya karena begitu silau. Begitu Cia membuka matanya, ia sungguh terkejut. Di hadapannya ada seorang manusia yang tinggi, tampan, dan sepasang sayap besar indah, bercahaya di belakang punggungnya.
“Cia, ini aku Rue. Aku adalah peri kucing, malaikat bersayap yang di utus menjadi kucing untuk menjagamu.” Ucap Rue tersenyum.
“Rue. Jadi selama ini kau seorang malaikat yang diberikan Tuhan padaku?” tanya Cia tak percaya.
“Ya, kau tak akan sendiri lagi.” Jawab Rue.
“Tidak mungkin! Mungkinkah kau malikat pencabut nyawa?” ucap Cia yang masih shyok.
“Tidak, aku sungguh-sungguh malaikat yang di utus untukmu Cia.” Balas Rue meyakinkan.
Hening sesaat. Sepoy-sepoy angin malam masuk melewati celah jendela. Meniupkan beberapa helai rambut Cia. Air mata yang masih menggenang kembali bercahaya, dan semakin menggenang menjadi tetesan air mata.
“Tak apa, ambilah nyawaku. Sudah tak berarti, aku tak berarti untuk siapapun.’ Ucap Cia lebih tenang. Cia menutup matanya berharap tak ada rasa sakit.
Rue melihatnya dengan senyum tipis.
“Mengapa rasanya hangat? Apa begini indahnya ketika ku pasrahkan nyawaku?” ucap Cia berbisik.
“Cia, ini adalah kehangatan dari hidupmu yang sangat berarti untukku.” Ucap Rue yang memeluk Cia erat.
Dengan cepat Cia membuka kedua matanya, dan mendapati dirinya dalam dekapan Rue.
Aku mencintaimu Cia. Aku tak akan pergi darimu selamanya. Maaf aku tak bisa menjadi manusia seutuhnya, karena aku seorang malaikat dari dunia peri.” Ucap Rue yang masih memeluk Cia.
Di malam yang sunyi nan indah, dengan sayap yang terbuka lebar dan bercahaya. Rue telah menjadi milik Cia seutuhnya, Cia menangis bahagia. Sangat-sangat bahagia, dalam dekapan sang peri kucing, ia melihat sayap yang indah di balik punggung Rue. Betapa lega hatinya. Ia pun tersenyum dan memeluk Rue. Cia pun bergumam dalam hatinya terimakasih Tuhan.

By: Tantanet :)