Jumat, 25 Mei 2012

The Legend of Juna(15)



D
i sebuah desa yang kecil, bernama Desa Sunagakure. Hiduplah seorang lelaki muda yang berjiwa mulia. Sebut saja dia Juna. Dia remaja berusia 17 tahun yang hampir sempurna. Wajahnya tampan dan manis. Kulitnya putih bercahaya, rambutnya yang hitam dan sedikit berdiri, dengan poni kanannya yang menambah ketampanannya. Tak hanya itu, Juna adalah lelaki yang baik hati juga pemaaf. Sayangnya sikap luar dia dingin dan terlihat cool. Namun air mata wanitalah kelemahan dia.
                Dia dibesarkan oleh kakeknya di salah satu gubuk kecil di desa itu. orang tuanya meninggal saat Juna dilahirkan. Juna mampu hidup sendiri membantu kakeknya. Setiap harinya, ia membantu berkebun dan berkeliling desa menjual buah-buahan dengan sepeda ontel milik kakeknya. Tak sulit baginya menjual semua itu. Bagaimana tidak? Begitu Juna masuk pusat desa, semua perempuan langsung menyerbunya dan membeli dagangannya. Tetapi, namanya juga desa kecil, jadi buah-buahannya pun hanya dijual murah. Bagi Juna tak masalah, selama ia dan kakeknya masih bisa makan, dan desa aman juga tentram.
                “Enak sekali mereka tertawa-tawa seperti itu. Padahal mereka tak tahu apa yang mereka pijak ini. Yah, itu lebih baik daripada aku harus melihat mereka ketakutan.” Ucap Juna tersenyum tipis pada dirinya sendiri, ketika berjalan pulang.
                Tak ada yang tahu, kecuali orang-orang yang sudah tua dan Juna sendiri. Asal mula Desa Sunagakure yang penuh tipu daya. Para orang tua tak pernah mengungkap kejadian 80 tahun yang lalu pada anak-anaknya.
                Setibanya di rumah, Juna sangat terkejut melihat rumahnya yang berantakan dan hancur. Dia berlari menjatuhkan sepedanya. Dia mencari-cari apa yang terjadi. Juna tak mendapati kakeknya. Dia berlari ke sana ke mari, dengan nafas yang terburu-buru. Dia pun berlari menuju kebunnya. Memanggil-manggil kakeknya dengan sangat khawatir, dan mendapati sayatan bertanda bintang di bebearpa pohon.
                “Tidak, mungkinkah mereka kembali? Bagaimana bisa?” ucap Juna dalam batinnya. Dia terus berlari mencari hingga akhirnya menemukan kakek tergeletak di tanah.
                “Kakek! Kakek bangun! Ada apa?” teriak Juna menopang tubuh kakeknya.
                “Segel,,, segel i,, itu. Uhuk,uhuk...” ucap kakek yang sekarat.
                “Ada apa dengan segelnya?” tanya Juna khawatir.
                “Te,,, terbuka. Me,, mere,,ka menuju de,,sa.” Lanjut kakek menunjuk gua di balik pohon besar di depannya. Juna tak percaya, siapa yang telah membukanya?
                “Aku per,,,percaya kau ma,,,mampu Juna.” Ucap kakek yang terakhir kali.
                “Kakek! Tidak, kakeeeek!!!” teriak Juna sedih dan marah. Membuat bola matanya yang biru berubah menjadi merah darah, keringat dingin membanjiri tubuhnya.
                “Tidak, aku harus bisa menahan diri sampai kutemukan para Shiho itu!” Bola matanya kembali biru, dan langsung memakamkan kakeknya.
­­_***_

J
una berlari menuju pusat desa, ia khawatir dengan orang-orang di desa. Tapi, dia lihat masih aman-aman saja. Kemana Shiho itu pergi? Dia berjalan pelan, seolah tak ada yang terjadi agar warga tak panik. Matanya tajam mencari siapa yang telah membuka segel itu, hanya kakek dan kedua orangtuanya yang bisa menutup dan membuka segel itu. Lalu ia berhenti di depan gang sempit yang gelap. Dia melihat sosok gadis yang terduduk di samping tumpukan sampah. Begitu Juna mendekat, gadis itu terkejut dan berlari. Gadis itu begitu ketakutan.
                “Tunggu!” Teriak Juna yang langsung mengejar gadis itu.
                Tak perlu berlelah-lelah ria bagi Juna untuk mengejar gadis itu. Di persimpangan jalan di pusat desa, Juna menarik lengan gadis itu. Membuat gadis itu terjatuh di depannya. Gadis itu kesakitan dan melihat Juna tajam. Juna menunduk dan memeluk gadis itu. Ya, dia tahu gadis itu telah melihat Shiho. Itulah salah satu kemampuan Juna.
                “Tak usah takut, aku di sini. Maukah kau bercerita apa yang terjadi, kepadaku?” ucap Juna lembut dan melepas pelukannya. Gadis itu sedikit tenang dan mengangguk, seolah terhipnotis oleh senyuman Juna yang begitu lembut dan tampan.
                Juna membawa gadis itu ke sebuah padang rumput, agar warga tak ada yang tahu. Gadis itu bernama Mina. Ia pun menceritakan, bahwa ia tak sengaja melihat gua besar di belakang rumah Juna. Saat itu ia ingin membantu kakeknya yang kebetulan tergelincir saat mengambil buah. Mina sedang lewat dengan sepedanya. Ia pun membantu kakek memetik buah di kebunnya.
Tanpa sepengetahuan kakek, Mina menyentuh tirai transparan di pintu gua itu. Karena rasa penasarannya, ia menyentuh tirai itu dengan kedua tangannya. Seketika itu cahaya menyerbu Mina dari dalam gua. Mina terjatuh dan tak sadarkan diri. Begitu sadar,matanya mengerjap-ngerjap, dan ia melihat kakek sedang melawan makhluk berjubah hitam besar dengan lubang di bagian tengah tubuhnya. Begitu banyak, salah satunya menghampiri Mina yang masih lemah. Mina ketakutan melihat makhluk itu tak terlihat wajahnya, karena jubah hitamnya dan lubang besar di tubuhnya. Makhluk itu pun menggenggam pedang bintang bergerigi tajam di tangannya, membuat Mina benar-benar takut.
Saat makhluk itu mengayunkan pedangnya, saat itulah kakek tertusuk karena menyelamatkan Mina. Kakek menyuruh Mina lari dan mencari Juna. Akhirnya dengan sekuat tenaga dan rasa takut yang amat sangat, Mina berlari entah kemana. Sampi menuju gang sempit tadi, ia bingung harus kemana.
“Tak apa, sekarang aku di sini. Makhluk itu bernama Shiho, yang artinya Shinigami Hollow. Mereka adalah iblis pencabut nyawa gadungan yang serakah dari tanah terkutuk. Mereka sudah disegel di gua itu sejak 80 tahun yang lalu.” Jelas Juna sembari merasakan damainya angin di padang rumput itu.
“Aku tak mengerti. Kau ini sebenarnya siapa? Dan apa maksud semua ini?” tanya Mina yang masih kebingungan.
“Jika saja segel itu tak dibuka, desa tak akan kembali kacau. Kenapa kau membukanya?” bentak Juna kesal.
“Aku tak tahu! Aku tak mengerti!” Ucap Mina menangis. Rambutnya yang coklat dan panjang, wajahnya yang mungil, putih dan manis seperti anak kecil. Juna tak mampu melihatnya menderita.
“Oh tidak! Jagan air mata yang kau keluarkan! Maafkan aku Mina. Aku akan menjagamu.” Ucap Juna memeluk Mina. Jelas saja, kelemahan Juna memang air mata wanita.
“Aku, sebenarnya bukan manusia seutuhnya. Aku adalah siluman setengah manusia, dari tanah kematian. Aku sudah hidup 80 tahun hingga sekarang, kau mungkin bingung kenapa aku hidup selama itu, tapi aku masih terlihat 17 tahun. Hidupku sudah kekal setelah 17 tahun. Ya, ayahku seorang dewa kematian, dan ibuku setengah siluman. Mereka terbunuh oleh pemimpin Shiho itu!” Jelas Juna dengan sedikit emosi.
“Jadi, kau seperti bangsal Elf dari negeri dongeng?” tanyanya pelan.
“Mungkin begitu. Jadi, apa kau sebenarnya? Yang dapat membuka segel itu hanya keturunan kami.” Tanya Juna terburu-buru.
“Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku ini manusia.” Jawab Mina polos.
“Tangan suci.” Ucap Juna berbisik, melihat telapak tangan Mina yang berkilauan bagai permata. Hanya Juna yang dapat melihatnya.
“Apa?” tanya Mina tak mendengar ucapan Juna.
“Tidak, tak seharusnya kau ikut dalam perang ini. Pergilah!” ucap Juna.
Mina diam dan mundur perlahan, dia pergi berlari meninggalkan Juna. Kini saatnya Juna berperang sendiri melawan Shiho-Shiho itu. Tak ada yang tahu Juna seorang siluman kecuali kakeknya. Desa ini terlahir karena jiwa kedua orangtua Juna. Setelah kakek berhasil menyegel Shiho itu di dalam gua, orangtuanya meninggal karena sudah sekarat dan menyatu dengan bumi. Mereka menjadikan ini sebuah Desa Sunagakure, yang artinya desa pasir, karena ada Juna yang harus hidup damai. Dan saat Shiho itu kembali, Junalah yang akan memusnahkan mereka.
_***_
Juna berlari menuju pusat desa yang sudah berantakan, ia menembus warga yang berlari ketakutan. Amarah Juna muncul ketika Shiho terlihat di depan jalan membunuh satu persatu warga desa, dan menjadikan nyawa warga desa sebagai kekuatan abadinya. Dia berlari secepat kilat, menembus angin di sekitarnya.
                “Aaaaargh... Hentikan itu pecundang!” teriak Juna dengan bola matanya yang berubah merah darah, dan sebilah pedang malaikat di tangannya.
                “Kau akan mati di tanganku!” lanjut Juna, kali ini menancapkan pisau di kepala Shiho yang tak terlihat oleh jubah. Shiho itupun terbakar dan musnah, hanya pedang malaikat itu yang mampu memusnahkan Shiho. Karena Shiho takut pada malaikat suci.
Satu Shiho lain datang dari belakang tubuh Juna, menghantamnya ke tanah. Juna terbanting karena tak siap. Shiho itu begitu kejam dan cepat, mereka terus menghantam Juna ke tanah, ke tembok, ke toko-toko, sampai menembus beberapa rumah. Mereka tak memberi Juna kesempatan membalas. Mereka mencoba menusuk Juna dengan pedang tajam mereka, namun Juna terus menghindar.
Sret!
Pedang Shiho akhirnya menggores pipi juna hingga berdarah. Juna marah dan tak tahan karena tak bisa membalas. Kemarahannya yang tak tertahan mampu membuat tubuh aslinya keluar, giginya perlahan tumbuh mejadi tajam seperti srigala. Sayap hitamnya yang besar pun dengan cepat keluar membentang di punggungnya. Kupingnya berubah menjadi kuping serigala yang hitam. Namun pakainnya berubah menjadi sosok shinigami, dengan pedang yang masih sama di tangannya. Matanya penuh amarah, kekuatannya lebih besar dari Shiho tapi tidak pemimpinnya.
                Juna terbang melesat, menerjang tubuh Shiho satu persatu dan menusuknya dengan pedang malaikat. Mereka seolah tak ada habisnya, Juna terus menyerang. Menghantam mereka bersamaan ke tanah hingga berlubang, menyerbu mereka dengan kecepatan pukulan yang Juna miliki. Peperangan terus berlangsung. Akhirnya mereka habis, namun sang pemimpin Shiho datang. Langit terlihat merah karena adanya pertumpahan darah. Juna sudah kelelahan, namun ini yang dia tunggu. Dia ingin melawan sang pemimpinnya.
                The king of Shiho, dia melayang di udara dengan tubuh yang lebih besar, dua lubang di tubuh dan wajahnya. Membawa tongkat transparan yang dialiri arus petir yang marah. Menghamipiri Juna dengan tawa terbahak-bahak. Hanya sang pemimpin yang mampu berbicara.
                “Ahahahaha! Anak yang malang, membalas dendam demi kedua orangtuanya.” Ucap Shiho itu tertawa.
                “Sudah puas tertawanya? Karena kau akan segera musnah di tanganku!” balas Juna sembari melesat terbang dengan sayapnya, menerjang Shiho dengan bola api di tangannya.
Bruk!
Juna menghantam keras tanah hingga membuat lubang besar. Shiho itu mampu menangkis serangan bola api dari Juna begitu saja.
                “Hahahahaha! Desa ini milikku! Aku yang akan menginjak-injak jiwa kedua orangtuamu!” ucap shiho penuh kemenangan.
Juna masih kesakitan di bawah, berusaha bangun namun tangannya bergetar. Aku tak pernah tahu cara ayah dan ibu melawannya, apa yang harus ku lakukan? Ucap Juna dalam hatinya. Dia berusaha bangun dan kembali menyerang, kali ini dengan bola api dari mulutnya, di lanjut bola api raksasa dari kedua tangannya secara bertubi-tubi. Hanya api yang ia miliki. Tapi percuma, Shiho itu belum dapat disentuh sedikitpun oleh Juna. Dia benar-benar kelelahan.
                “Aaaaarrrgh.....” teriak Juna kesakitan. Hanya dengan satu ayunan dari tongkat shiho, Juna mendapat setruman petir yang hebat. Dan menjatuhkan Juna kembali. Juna terjatuh bertumpukan bebatuan semen bangunan. Tubuhnya penuh luka, sayap ujung kanannya sobek, bajunya pun sudah sobek di sana-sini.
                Seketika itu pula, Shiho mulai cepat menghampiri Juna dengan mengayunkan tongkatnya. Juna melihatnya tak percaya, dia panik, tubuhnya begitu lemah. Apa aku akan mati? Dendamku. Gumam Juna, ia berusaha bangkit tapi terlambat.
Juna terpaku melihat seorang gadis dengan cahaya di sekitar tubuhnya. Tertancap tongkat Shiho, seolah ada cahaya yang meledak menembus tubuh gadis itu. Gadis itu mencoba melindungi Juna.
                “Tidak! Mina, kau adalah malaikat yang tak boleh mati!” teriak Juna meneteskan air mata, dan segera menopang Mina di pangkuannya.
                “Apa? Tongkatku.” Ucap Shiho terkajut ketakutan melihat seorang malaikat di depannya, dan membuat tongkatnya hangus terbakar. Ia pun menjauh, namun tidak pergi, tujuannya belum tercapai. Membunuh Juna, keturunan bangsal Dewa Siluman.
                “Kau harus menyelamatkan desa ini. Kau tak boleh mati.” Ucap Mina tersenyum.
Mina berusaha berdiri dan menghampiri Shiho dengan terseret-seret sekuat tenaga, pemimpin Shiho itu pun terus melayang mundur menjauh.
                “Bawa aku terbang, Juna. Bukankah hanya malaikat yang dapat mengalahkannya? Katamu aku ini malaikat bukan?” ucap Mina lembut.
                “Apa yang akan kau lakukan?”
                “Bawa sajalah dan kau akan tahu.” Dengan khawatir, Juna membawa Mina melawan Shiho.
                “Apa yang kau lakukan wahai malaikat tak bersayap? Pergilah, aku tak takut!” teriak Shiho.
Satu tangan Juna menopang Mina, dan satunya bersiap menusukan pedang ke tubuh Shiho.
                “Musnahlah di tanganku! Hiyaaaaaa...” teriak Juna mengeluarkan api di sekujur pedang itu. Berbalut cahaya suci yang dikeluarkan Mina dari mulutnya. Mina berusaha sekuat tenaga.
                “Tidaaaaaak...!” teriak Shiho yang tak bisa menghindar. Akhirnya makhluk itu mati terbakar dan meledak di udara.
Juna dan Mina terbanting hingga jatuh ke tanah, Juna terbangun perlahan menahan rasa sakitnya. Ia menghamipiri tubuh Mina yang tak berdaya, tak bernafas dan dingin. Juna tak percaya, dia menangis sejadi-jadinya. Warga desa itu mulai berdatangan satu persatu melihat keadaan.
                Tiba-tiba sebuah cahaya muncul dari dalam tanah, terlihat seperti dua bidadari muncul dari balik cahaya itu.
                “Juna, inilah cara kami megalahkannya. Kami memasuki mimpi Mina, Mina sudah tahu semuanya. Berikanlah setengah jiwamu padanya, bila kau ingin dia tetap hidup.” Ucap sosok wanita cantik yang ditemani pria tampan yang tersenyum di sampingnya.
                “Ibu, Ayah?” hanya itu yang mampu terucap dari bibir Juna. Mereka pun menghilang kembali ke bumi.
                Akhirnya Juna memberikan setengah jiwanya pada Mina, dia mencium bibir Mina lembut, dan saat itu pula cahaya jiwa Juna berpindah ke dalam tubuh Mina. Tak lama kemudian, Mina membuka matanya.
                “Juna?” ucap Mina meneteskan air mata. Juna pun memeluk Mina dengan senang.
                “Aku akan menjagamu Mina.” Ucap Juna tersenyum. Menjaga yang berarti selamanya bagi Juna. Bola matanya kembali biru, gigi tajamnya hilang, kupingnya kembali menjadi kuping manusia, dan sayapnya kembali ke dalam tubuh Juna. Hatinya sudah tidak marah. Kini Juna kembali tampan layakya manusia biasa, hanya sedikit luka di mana-mana.
Apa yang terjadi pada Mina ketika jiwanya bercampur dengan jiwa Juna? Ya, dia tetaplah seorang malaikat, tapi kini dia seorag malaikat bersayap hitam. Desa Sunagakure kembali tentram dan damai. Kini semua warga desa tahu siapa sesungguhnya Juna. Itu pun membuat semua perempuan lebih memuja Juna. Tapi sayang, meski Juna sudah dimiliki oleh Mina, para fans Juna tak menyerah. Akhirnya, Juna akan tetap menjaga Desa Sunagakure ini bersama sang malaikatnya, Mina.

 Karya: Tantanet :)

Kamis, 24 Mei 2012

Pulau Kecil(13)


T
erlihat dua pemuda dan satu perempuan, terseret ombak menuju tepi pantai. Mereka pingsan di hadapan pulau kecil yang tak berpenghuni. Matahari sudah mulai terbenam, seolah meninggalkan mereka begitu saja. Pakaian yang basah dan sedikit robek di kanan kiri, karena benturan ombak dan karang.
Satu di antaranya telah sadar dan mulai mengerjapkan matanya. Dengan kepala yang sakit dan badan yang terasa berat, ia mencoba bangun dan duduk. Ia melihat kedua temannya masih tertidur. Dia masih bingung apa yang terjadi, dia bangun dan membalikan badan ke arah pulau. Terlihat pohon-pohon yang sangat lebat dengan suara kicauan burung hutan. Tiba-tiba seorang perempuan, salah satu dari mereka sudah bangun.
“Di mana ini Fan?” tanya perempuan itu dengan memegang kepalanya yang pusing. Fandy, pemuda yang bangun pertama kaget dan sadar apa yang terjadi.
“Kita terdampar.” Satu kalimat yang membuat mereka tercengang. Seorang pemuda yang terakhir bangun pun kaget, dan berkata.
“Di pulau tak berpenghuni ini?” Deny, dengan jalan sedikit lemas.
“Dan ini sudah malam.” Tambah Vika. Satu-atunya perempuan di anatara dua pemuda itu.
Semilir angin pantai yang dingin telah menyambut mereka di pulau itu. membuat mereka semakin panik dan khawatir. Mereka terdampar di pulau itu, karena badai yang menenggelamkan kapal mereka saat sedang asik memancing bersama. Fandy, pemuda tangguh, cakep, dan dewasa. Deny, pemuda kurus, tinggi, manis, dan tenang. Vika, perempuan berambut cowok yang  tomboy, manis, cakep, dan pantang menyerah. Mereka adalah sahabat dari kecil, hingga kuliah seperti sekarang ini.
_***_

M
ereka masuk ke dalam hutan itu perlahan. Hanya dengan lampu HP masing-masing. Akhirnya mereka menemukan sebuah gua. Setelah mencari kehidupan di dalamnya, mereka membuat api unggun dan tidur beralas rumput-rumput yang ditumpuk. Mereka jaga malam bergantian, udara begitu dingin. Vika begitu kedinginan, Fandy menyelimuti Vika dengan kemeja panjangnya. Dilapisi jaket tebal milik Deny.
Awalnya mereka mau bertahan tanpa makan dan minum selayaknya, mereka berusaha tenang dan berharap esok pagi menemukan kapal penolong. Fandy berusaha mencari sinyal keluar gua. Sedangkan Deny menjaga Vika dengan tenang, ia asik bernyanyi merdu supaya Vika tidur nyenyak.
“Sial! Ga ada sinyal Den, di sini.” Bentak Fandy hampir membanting Hpnya.
                “Terus? Ya kita tunggu saja besok pagi.” Jawab Deny tenang. Fandy menarik nafas, berusaha sabar dengan keadaan. Benar yang dikatakan Deny.
                Sudah lima hari mereka di pulau tak berpenghuni itu. Mereka bertahan dengan minum dari air kelapa dan dagingnya yang putih manis pun dimakan. Mereka pun banyak menemukan jamur dan dibakar di atas api unggun. Deny yang ahli menangkap bururung di atas pohon hanya dengan karet, bisa makan daging burung setiap sore bersama-sama. Vika pun membantu dengan menangkap ikan kecil di pinggir pantai.
                Namun itu hanya bertahan selama tiga hari. Hp mati dihari ke-dua, mereka lelah dihari ke-tiga, mereka mulai mengeluh dan Vika menangis tak sanggup dihari ke-empat. Hari ini mereka sudah di puncak kemarahan dan keputus asaan.
                “Gue laper! Gue pengen mandi air bersih!” teriak Vika yang sudah lusuh dan menahan perih di perutnya.
                “Gue juga laper! Kalo saja kita tidak memancing di laut.” Ucap Deny sedikit emosi.
                “Jadi lo nyalahin gue? Gue yang ngajak kalian. Untuk apa lo ikut kalo lo Cuma bisa nyalahin gue!” bentak Fandy yang sudah tak tahan dengan ini semua.
                “Gue ga nyalahin elu! Harusnya kita cepet pulang, tapi elu malah asik berenang dulu sama Vika!” balas Deny tak mau kalah berteriak.
                Mereka pun adu mulut, bahkan Fandy mulai memanas. Fandy mengambil batu yang berukuran sedang, dan mencoba memukul Deny dengan batu itu.
                “STOP!! Kalian ini apa-apan?!” Vika dengan cepat melindungi Deny.
                “Vika?” ucap Deny sangat kaget. Fandy menjatuhkan batu yang berlumur darah itu perlahan dan seolah tak percaya, ia melukai kepala Vika.
“Gue,, di sini lebih menderita, tubuh gue ga sekuat kalian para cowok! Tapi gue,, mampu mikir jernih! Sekarang,, ga ada gunanya begini,, kita harus pasang tanda,, di mana-mana. Dan menunggu di tepi.” Ucap Vika mengatur nafasnya berusaha tak merasakan darah yang mengucur di kepalanya.
Pandangan mata Vika semakin buram, dan jatuh pingsan di pangkuan Deny. Kedua pemuda itu panik, dan sangat khawatir. Deny menggoncang-goncangkan tubuh Vika, berharap ia sadar. Fandy masih berdiri di tempatnya, ia meneteskan air matanya melihat apa yang sudah dilakukannya pada Vika. Dia mundur dan berlari menjauh.
“Fandy!!” teriak Deny yang kebingungan.
“Vika, bangun Vik!” ucap Deny mulai panik. Dia merobek kaosnya dan membalut kepala Vika yang terluka.

“Oh, Vika, bangun! Bertahanlah! Sayang ayo buka matamu.” Ucap Deny yang terus mengelap darah Vika di mukanya.
“Aaaaaaaaaarghhhhh!!!!!” teriak Deny menangis memeluk Vika sekuat-kuatnya. Perempuan yang dari dulu sangat ia sayang dan cinta melebihi sahabat, kini tak sadarkan diri dan berlumur darah di pangkuannya.
_***_

                “Ini, gue nemu tanaman obat. Tempelkan pada kepalanya yang terluka.” Ucap Fandy yang tiba-tiba kembali dengan nafas terengah-engah.
                Deny memandang Vika yang terkapar di atas dedaunan dengan penuh emosi. Dia berdiri dan sejurus kemudian melayangkan tinju ke muka Fandy. Membuat Fandy terjatuh, namun ia tak membalas. Ia berdiri dengan kuat.
                “Pukul lagi! Gue emang pantes nerimanya. Ayo Den, pukul gue sampai mati!” Ucap Fandy menahan air matanya. Deny berhenti dan duduk kembali di samping Vika.
                “Gue cowok yang paling tangguh di antara kalian, tapi gue ga bisa menjaga kalian. Maafin gue.” Ucap Fandy yang mulai duduk di samping Deny.
                Suasana terasa hening sangat lama, hanya terdengar suara deburan ombak dan burung-burung kecil yang bercuit-cuit mengitari pulau. Deny sungguh emosi, namun ia berusaha tenang dengan memikirkan keadaan Vika.
                “Den! Gue...” ucap Fandy sekali lagi.
                “Udahlah, itu ga penting. Vika sahabat kita, ayo cepat kita pasang tanda seperti katanya.” Ucap Deny meninggalkan Fandy dan Vika. Fandy pun mulai berdiri perlahan memperhatikan wajah Vika yang terbaring dan langsung berjalan mengikuti Deny.
Akhirnya mereka duduk di samping kanan dan kiri tubuh Vika yang terkapar di tepi pantai, saat itu sore hari. Merka takut tak akan selamat. Jika sampai malam tak ada kapal, mungkin Vika bisa mati lebih dulu. Karena ini adalah pulau terpencil yang tak berpenghuni. Mana ada yang mau lewat? Batin mereka khawatir. Tapi mereka yakin, masih ada kehidupan di depan. Ayo bangun Vika. Gue ga mau kehilangan lo. Ucap kedua pemuda itu bersamaan di dalam batinnya. Memandangi wajah Vika dengan sedih, yang selama ini menjadi penengah di antara mereka. Mereka menggenggam tangan Vika yang dingin dengan erat.
Tiba-Tiba,
Duwooooong.... Duwooooong....
Fandy dan Deny sama-sama melihat ke arah laut. Mereka melihat sebuah kapal very kecil menuju ke pulau itu. Mereka senang bukan main, seolah hidup mereka kembali full penuh semangat. Meski hanya sebuah kapal very kecil, mereka pikir itu adalah kapal yang dikirim Tuhan.
                “Di sini! Heey! Cepat kemari!” teriak mereka berdua melambai-lambaikan tangan.
“Vika, lihat! Kapal, kita pulang.” Ucap Fandy mencoba menyadarkan Vika.
                Vika masih belum sadar, tapi jarinya sudah mulai bergerak. Alam bawah sadarnya memaksa untuk cepat bangun.

Fandy menggendong Vika di punggungnya dan cepat-cepat menghamipri kapal yang sudah mulai menepi dengan senang. Ya, kapal itu melihat tanda yang mereka buat. Bukan, tapi tanda yang Deny buat. Deny yang mengikut dari belakang, melihat Vika yang membuka perlahan matanya dan tersenyum. Ia tersenyum pada Deny berbisik kata terimakasih. Deny pun tersenyum. Untung saja, tanpa kalian tahu, gue pasang sisa baju gue di atas pohon tertinggi di pulau ini. Dan guelah yang menjaga lo saat lo terluka. Apa lo tau pengorbanan gue itu Vik? dengan kata terimakasih. Gumam Deny menutupi luka di pinggangnya akibat terjatuh dari pohon yang tinggi untuk memasang tanda. Akhirnya masih ada kehidupan untuk mereka. Juga hidup untuk Vika. Meski pada akhirnya Deny pun kehabisan banyak darah.

Karya: Tantanet :)