Kamis, 14 Maret 2013

Cinta itu,,, Tidak Sempurna-Part4 Finnal (26)


Ya Tuhan! Cakeep! Aduh, gak boleh terpengaruh Lin.

                “Apaan sih? Suka-suka aku lah! Eh maksudnya gue!” jawabku salting.
                “Cie masih aku kamu ngomongnya. Jangan pergi dulu dong, di sini dulu aku kangen.” Ucapnya tersenyum.
“Apa? Kangen? Yakin?” tanyaku meremehkan.

Dia mengambil tanganku, menggenggamnya erat, dan kepalanya tertunduk di meja seperti yang awal ia lakukan tadi. tapi karena tangan satunya menggenggamku, aku bisa melihat dia tersenyum.

                “Em, udah kan mas. Ini uangnya.” Ucapku dengan cepat melepaskan tanganku darinya. Lalu kepalanya terangkat.
                “Udah bayar setengahnya aja. Untuk kamu apa sih yang engga, oke mas?” ucap Fandy mengedipkan satu matanya.
                “Ha? Oke. Ini setengah aja kan. Makasih ya Fandy. Daah!” lumayan dapet diskon. Evil laugh. Aku langsung kabur keluar.
                “Ih, gila! Ayo cepet pulang!”
                “Kenapa Lin?” tanya Vey.
                “Ih, nanti aja gue certain di jalan.”
Tiba-tiba pintu warnet terbuka.
                “Hati-hati ya Lin.” Ucap Fandy tersenyum.
                “Ooooh, gue ngerti.” Ucap Vey dan Icha bersamaan, mereka tersenyum-senyum geli.
                “Ih, iya deh. Makasih!” jawabku jutek. Fandy pun tersenyum dan kembali masuk.

Kami langsung pergi, hanya 200m kami berdiri di depan warnet untuk menyebrang. Kendaraan sedang penuh rupanya. Lalu ada yang memanggilku.

                “Chaelin!” jangan bilang itu Fandy lagi. Aku menoleh perlahan.
                “Eh, Sendy? Apaan?!” teriak ku karena jarak kita yang lumayan jauh. Dia melambai menyuruhku menghampiri.
                “Mmm, eh temen-temen tungguin gue ya. Sendy manggil gue.” Pintaku dengan senyum nyengir memohon. Ini pertama kalinya dia ingin bicara padaku semenjak kejadian itu.

                “Iye, cepet sana.” Jawab Icha.

Aku pun langsung kembali menghampiri Sendy yang sedang duduk di depan rental playstation tak jauh dari warnet.

                “Apaan?” tanyaku yang berdiri di hadapannya.
                “Duduk dulu sini.” Kata Sendy
                “Engga ah, aku buru-buru di tunggu temen tuh.”
                “Ya udah pulang gih.”
                “Lah tadi kenapa manggil?”
                “Gak apa-apa cuma pengen kamu ke sini.” Dia tersenyum polos dan menawarkan punggung tangannya padaku.
                “Yeee, kirain penting. Nah, ini apaan?”
                “Salim dulu dong kalo mau pulang. Cepet!” sedikit bingun aku meraihnya dan mencium tangannya.
                “Ya udah hati-hati ya.” Ucapnya kembali tersenyum.
                “Iya.” Jawabku manja dan hanya karena itu dapat membuatku melayang.

Aku pun beranjak pergi. Ya Tuhan, tiba-tiba Sendy kembali seperti dulu begitu aku seneeeng banget.
_***_

Akhirnya hari kelulusan telah tiba.
Kami semua lulus! Kami berfoto-foto, mencorat-coret baju dengan semua tanda tangan para murid dan guru. Setelah aku bersenang-senang dengan teman sekelas dan anak SMA lainnya, aku mencari anak-anak STM temanku.

                “Woy, gue cari teman-temen STM gue dulu ya di lapangan.” Aku pun pergi.
                “Farid! Minta tanda tangan dong! Gue ngefans berat nih sama lo!” ucapku tertawa.
                “Jiah! Sini-sini tanda tangan gue mah mahal.”
                “Pede sangat sih lu! Sinih, gentian lu juga ngefans kan sama gue dari dulu, ngaku dah!”
                “Tau aja lo nih, yang gede Lin!”
                “Eh, Lin. Itu Iqbal, yang dulu suka sama lo, dia sempet putus kan sama ceweknya karena lo. Elo gak minta tanda tangannya?” ucap Farid menunjuk cowok hitam manis dan seperti berandal yang sedang tertawa-tawa bersama teman sekelasnya. Tak jauh dariku.

                “Mm, enggak ah. Dia juga gak liat gue. Lagian ya, dia putus kan karena ceweknya aja masih SMP, gampang cemburuan. Gue kan gak ngapa-ngapain, gue sama Iqbal kan sama aja kayak gue ke elu, temen.”

                “Masaaa? Tapi lu juga pernah naksir kan?” Farid terus saja menggodaku.
                “Apa deh lu! Kaga laah! Belum pernah makan sepatu gue ya?” balasku protes.
                “Lin, gue belum dapet tanda tangan lo nih.” Tiba-tiba Putra yang sekelasku waktu MOS yang aku dambakan diam-diam ada di belakangku.

                “Wah, iya. Sini-sini.” Ucapku senang. Kami memang sudah berteman dekat sekali, bersama Jay. Kami sekelas MOS dulu. Ngomong-ngomong tentang Jay,,,
                “Oya, ini seragamnya Jay. Dia minta tanda-tangan lo juga Lin sama anak-anak yang lain.” Ucap Putra tersenyum.

                “Iya, semalem dia juga sms. Gue sedih dia gak ada di acara kebahagiaan ini. dia malah di rawat di rumah sakit. Padahal dia yang selalu nasihatin gue kalo lagi ada masalah.” Jawabku sedih.

                “Ya udah, kita kan nanti bisa nengokin dia.” Ucap Putra menghibur.
Kami pun foto-foto. Sayang banget aku gak punya kenangan saat berharga ini sama Gigi, kita udah lost kontek semenjak kejadian itu. Sakit setiap inget dia.

                Pada akhirnya aku mengecewakan semua orang yang ku cintai. Bukan karena kemauan ku tapi keegoisan yang belum mampu aku taklukkan. Intinya, aku benar-benar kehilangan Gigi, tapi Sendy, Fandy, Icha, Vey, Farid, Jay, Putra, dan semua temanku, aku tidak kehilangan mereka. Karena ternyata kami lebih dewasa dari Gigi.
­_***_

Keesokan paginya aku langsung menyalakan televisi tanpa mandi. Tak apalah, ini hari libur pertamaku sebagai seorang calon mahasiswi. Yea meski masih empat bulan lagi aku baru mulai perkuliahan.

                “Permisi!” teriak seseorang di depan rumahku.
Aku mengintip di jendela, siapa pagi-pagi begini? Aku pede saja dan tak ada firasat apapun, aku membuka pintu dengan masih mengenakan piama dan celana pendek.
                “Iya?” OMG! Pintu terbuka dan aku terbengong melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang.
                “Hey, Lin. Baru bangun ya?” ucap Sendy tersenyum.

Rambutnya yang halus dengan model Justin Bieber, melambai-lambai tertiup angin pagi yang sejuk dan sinar matahari pagi menyinari wajahnya. Betapa cakepnya, manisnya, polosnya sang kakak kelasku ini.

                “Kok, bisa ke sini? Oya, masuk dulu. Aduh aku belum mandi.” Ucapku panik mempersilahkannya masuk ke dalam.
                “Gak apa-apa kok, aku cuma pengen mampir aja. Soalnya aku ada janji sama anak-anak di GOR depan komplek kamu itu.” Jelasnya sembari duduk.

Aku hanya ber-oh saja dan tersenyum, lalu ayahku keluar menuju ruang tamu dan melihat kami.
                “Eh, om.” Ucap Sendy meraih tangan ayah dan menciumnya. Ya ampun sopan banget dia, kan belum aku suruh.
                “Iya, temennya Chaelin ya? Satu sekolah atau gimana?” tanya ayah sedikit tersenyum kaku.

Maklum ayah itu pemalu sehingga orang yang belum mengenalnya akan berpikir bahwa ayah itu galak. Dari sekian cowok yang ku kenal baru Gigi, dan Jay yang datang ke rumahku dan enggan memberanikan diri member salam seperti Sendy dengan sendirinya seperti itu. Sungguh baru Sendy seorang cowok yang berani, tak terlihat sedikitpun rasa takut di wajahnya. Benar-benar polos.

                “Iya om, saya kakak kelasnya di sekolah.” Jawab Sendy tersenyum.
                “Ouh, sekarang kuliah atau kerja?” tanya ayah lagi.
                “Kuliah om, di Universitas Negri yang deket aja.” Jelas Sendy.
                “Oh, yaudah ngobrol aja sama Chaelin. Om mau keluar.”
                “Iyah om silahkan.”

Ayah pun pergi, aku seperti patung bodoh yang hanya mampu terpukau dengan apa yang dilakukan Sendy pada ayahku. Ayah tidak cuek menghadapinya, aku lihat ayah senang.

                “Kenapa Lin? Sanah mandi. Aku tunggu, nanti aku ajak kamu nongkrong sama temen-temenku di GOR.” Ucap Sendy lembut dan tersenyum. Aku pun tersenyum mengerti, dan ini adalah pagi yang sangat cerah.

Cinta itu tidak sempurna, tapi karena banyak cinta dari sahabat, mantan, teman, bahkan keluarga itu bisa menyempurnakan sedikit demi sedikit. Jika terus di pertahankan, kesempurnaan itu akan terlihat. Sekalipun keegoisan menguasai, tapi sebuah realistis dan kedewasaan tidak akan memisahkan.

The End ^^
By: Tantanet :)

Minggu, 10 Maret 2013

Cinta Itu,,, Tidak Sempurna-Part3 (26)


S
udah enam bulan berlalu aku bersama Gigi. Ternyata memang dia yang ku cari, tidak pernah menyakitiku. Bahkan bila dihitung tanpa ada putus saat itu, hubungan kami sudah hampir setahun. Sekarang kami sudah kelas tiga, sebentar lagi kelulusan. Kami kembali di sibukan dengan tugas-tugas akhir dan ujian-ujian.

                Lagi-lagi hubungan kami tergoyahkan. Aku tak tahu apa yang mengganggu otakku. Kami kembali berpisah karena aku merasa Gigi sudah menjauh dariku. Hati ini sakit sekali kembali berpisah dengannya. Tapi, sama saja, sebulan kami berpisah kami masih berhubungan dengan baik. Kadang masih selalu memanggil dengan kata sayang.
                Apa yang konslet dengan hubungan ini? lalu aku mendengar kabar bahwa dia menjalin hubungan dengan teman curhatnya sendiri yaitu Yeni.
                “Apa?! Kata siapa?” teriakku tak percaya.
                “Kata temennya tadi di kantin, gue ngobrol.” Ungkap Vey.
                “Kapan jadiannya?!”
                “Katanya sih udah seminggu, sabar Lin.”
                “Seminggu yang lalau gue masih sayang-sayangan sama dia Vey!” aku marah, kesal, benci.
                “Iya, gue juga gak tau. Tuh Yeni muna emang. Dulu lo pernah denger kan, dia gak bakal jadian sama Gigi meski deket gitu. Eh taunya pa coba?!”
                “Eh, Lin. Mau kemana? Gue belum selesai!” aku tak tahan mendengarnya, aku pergi mencari Gigi.

Terlihat dia bersama teman-temannya dan Yeni! Aku benci sekali melihat perempuan itu, dasar bi**h! Lihat saja, rambut di warnai merah, badan gendut, meski tidak gendut banget, jelek, rambutnya seperti sapu ijuk, giginya ada yang hitam. Apa Gigi mulai buta karena berpisah kembali dariku?

                Aku melihat Gigi tajam dari kejauhan, dia menyadarinya dan membuang muka. Aku menghampirinya seperti sedang kerasukan roh. Aku menarik lengannya kasar, tak perduli teman-temannya menghinaku. Aku sudah membenci semuanya, ingin rasanya aku merobek mulut mereka, dan mencincang cewek bi**h itu!

                “Kenapa sih?!” ucap Gigi kesal.
                “Aku yang harusnya tanya itu dengan kesal! Kenapa kamu jadian sama cewek itu tanpa aku tahu. Bahkan setelah kamu jadian kamu masih memanggilku sayang! Aku pikir kamu yang selama ini aku cari, kamu baik, kamu mnegerti aku, kamu gak pernah nyakitin. Tapi kenapa kamu kaya gini? Dulu kamu bilang gak akan pernah jadian sama cewek itu dan menyuruhku tenang. Ternyata bener kan firasatku? Aku benci sama kamu!” aku teriak gak jelas, air mataku tumpah.
                “Kenapa diam?! Aku masih sayang sama kamu! Aku pikir kamu bakal nahan kepergianku lagi, aku pikir kamu bakal kembali untukku lagi. Tapi kamu,,, apa kamu memutuskan untuk gak akan kembali lagi?! Hah? Jawab Gi, jawab!” aku mengguncang tubuhnya yang kurus dan tinggi itu, masih terasa hangat di tanganku ketika menyentuhnya.
                “Aku cuman, gak mau kembali ke masa lalu setelah bersama Yeni. Selama ini dia temen curhat aku, dia mengerti aku. Tapi kamu cuman mau di mengerti. Aku udah sabar selama ini, tapi kamu selalu dekat dengan cowok lain dan terkadang melupakanku, dan hanya karena kamu merasa aku jauh darimu, kamu memutuskanku, lagi!”
                “Wajar dong, aku dekat sama cowok karena aku tomboy, mereka teman-temanku. Kamu bilang kamu terima keadaan aku yang seperti ini,,”
                “Iya, aku terima kamu yang seperti itu, tapi tidak untuk melupakanku dan lebih memilih dengan teman-teman cowokmu itu. Aku jadi seperti orang bodoh, asal kamu tahu itu!”
                “Aku,,, kenapa kamu gak bilang? Supaya aku mengerti, dan kenapa juga kamu menjauh? Aku merasa kamu gak sayang lagi sama aku!”
                “Itu dia masalahnya, kamu gak pernah mau ngerti, kamu gak pernah mau mencoba di posisi aku. Harusnya kamu mengerti, aku menjauh supaya kamu sadar bahwa aku membutuhkanmu Lin, aku membutuhkanmu di sisiku.”

Aku terdiam, tangisku semakin menjadi-jadi. Aku ini bodoh. Ya, Gigi benar, aku yang tidak mengerti.
                “Sekarang kamu sadar kan kesalahan kamu. Maaf Lin, aku gak mau kembali ke masa lalu.” Itu adalah ucapan terakhir dari Gigi.
                “Oh ya, aku tahu sifat kamu, kamu pasti mau minta maaf kan? Aku udah maafin kamu Lin, semoga kamu bisa menjadi yang lebih baik lagi, dan bisa mengerti orang yang kamu cintai.” Ucapnya tersenyum sebelum pergi meninggalkanku menangis sendiri.

Mataku buram terhalang air mata, kulihat samar-samar dia begitu bahagia tersenyum dengan Yeni seperti saat pertama kita bersama dahulu. Aku mengerti Gi, aku mengerti kebahagiaanmu, tapi aku tak rela. Sungguh, aku hanya ingin kamu bahagia denganku, bukan dengan yang lain. Aku mohon, jangan tinggalkan aku selamanya seperti ini.

                Kini semua memandangiku yang sedang menangis, mungkin mereka kaget, aku yang tomboy dan periang kini menangis, dan begitu lemah di hadapan mereka. Aku tidak ingin pergi, aku ingin menangis saja sampai Gigi kembali padaku. Aku terlihat seperti Chibi Maruko Chan yang menangis sendirian meminta perhatian.
                “Elin! Kenapa nangis di sini? Malu kan?” tanya Icha.
         “Lin, lo kenapa?” tanya Vey. Bahkan Farid dan Jay yang tak sengaja melewatiku berhenti dan ikut mengkhawatirkanku.

Tangisanku semakin menjadi, akhirnya hanya teman-temannku yang memperhatikanku, lagi dan lagi. Hanya mereka yang benar-benar mengerti aku, mereka gak akan meninggalkanku karena keegoisan yang tak sengaja aku miliki.
                “Gigi..” ucapku terbata-bata karena tangisanku yang tak bisa berhenti.
                “Duduk dulu Lin, kenapa sama Gigi?” tanya Icha pelan.
                “Gue,,, gue emang bego Cha! Gigi bilang gue gak pernah mau mengerti dia, dan gamau mencoba ada di posisi dia. Dia emang bener, gue yang salah bukan dia yang ninggalin gue. Gue,, gue kasihan sama diri gue sendiri Cha. Gue,, gue gak mau,,, gak mau kehilangan Gigi.” Jelasku dengan susah payah.
                “Ya udah cup.cup, sabar ya Lin, lo tau kan itu salah lo, jadi lo harus kuat nerimanya, nerima hasil yang telah lo perbuat. Udah dong jangan nangis.” Ucap Icha merangkulku.
                “Iya Lin, gue jadi ikut sedih, masa cowok kaya lo mewek. Lo gak boleh lemah Lin, bukannya selama ini lo yang selalu nguatin gue?” ucap Vey mengelus rambutku.
                “Sorry Vey, gue ngecewain elu, Icha juga. Gue minta maaf, gue gak sekuat yang kalian inginkan.” Ucapku.
                “Lin, Gigi itu memang baik sekalipun dia gak ada cakepnya. Hmm, gue tau lo pasti nyesel banget. Tapi lo gak boleh lemah dihadapan dia dong!” ucap Jay.
                “udah sih, masih ada yang lebih dari Gigi. Masa cewek maco lemot gini,” Farid ikut bercuap seolah masalah ini begitu entang.

Aku hanya tertunduk pasrah. Icha dan Vey akhirnya memelukku erat, terimakasih teman. Kalian lah penguatku, maaf aku terlalu lemah. Aku benci semuanya, sekarang aku benci masa lalu. Tangisku tak mau berhenti, terlalu sakit, kehilangan seseorang yang selama ini gue cari, gue percaya, gue sayang, dan itu karena ulah gue sendiri. Betapa bodohnya gue!
_***_


Enam bulan kembali berlalu.
Aku sibuk dengan tugas akhir yang membutuhkan warnet dan warnet.  Saat itu aku, Vey, dan Icha hanya membutuhkan print out dari makalah yang kita buat, mereka bermaksud menungguku di luar.
                “Kenapa harus gue yang masuk?” tanyaku protes. Setiap ke warnet selalu aku yang masuk.
                “Ya, elu kan kenal sama abangnya, lu udah di kenal sekampung ini tau. Siapa tau dapet diskon.” Jawab Icha meledek.
                “ya elah, ada juga elu Cha. Lu kan cantik tuh feminim banget lagi, pasti abangnya suka terus di kasih diskon deh.” Aku dan Vey pun tertawa terbahak-bahak.
                “Hei! Sorry ya, masa levelnya abang-abang warnet? Udeh buru sana masuk!” teriak Icha tak terima.
Akhirnya aku pun masuk. Tak di sangka, aku terkejut. Ingin keluar sudah terlanjur masuk dan di lihat.
                “Hey, Lin.” Sapa Fandy, pas banget dia duduk di depanku. Memang jarak pintu dan meja si abang warnet ini cuma selangkah. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
                “Mas, print ya file ini nih.” Aku menunjukan flasdiskku pada Mas Eno, si penjaga warnetnya. Eh dia Cuma manggut-manggut sambil senyam-senyum lagi.
                “yee, si emas kenapa senyam-senyum?” tanyaku.
                “Kaga, itu si Fandy ngeliat kamu di luar tadi deg-degan katanya pengen ketemu.” Sambil nunjuk-nunjuk Fandy dengan lirikan matanya.
Eh, si Fandy malah nunduk di meja nutupin mukanya. Hello? Apa dia malu? Ya elah, dulu kan dia nyakitin gue, kenapa sekarang malu-malu seneng gitu ketemu gue?
                “Udah lah mas, buru! Udah siang nih.”
                “Kenapa buru-buru?” tanya Fandy memangku dagunya dengan tangan kanannya di atas meja, melihatku dengan godaan.

To Be Continued.. ^_^

Kamis, 07 Maret 2013

Cinta itu,,, Tidak Sempurna-Part2 (26)


I
ni kedua kalinya kami nonton bersama setelah dia menemani kegalauanku. Kami semakin dekat, terlihat sekali Sendy mendekatiku terang-terangan setelah aku tak berhubungan lagi dengan Fandy. Apa mungkin dugaanku benar? Dya menyukaiku tapi sudah keburu Fandy yang mendapatkanku.

                Sudahlah aku tak ingin bahas Fandy. Aku benci padanya, dasar! Orang keren tapi jahat! Sendy pula kenapa telat, kan yang pertama ku sukai itu dia. Dia juga manis, cakep, matanya sipit, dan bahkan lebih baik dari Fandy!

                Kami terus dekat sampai kenaikanku di kelas dua. Banyak orang mengira kami jadian, emang sih itu yang ku harapkan. Tapi sampai saat ini dia belum mengungkap cinta padaku. Akhirnya malam di mana semua berawal.


Sendy
I love u Chaelin. :)

Jam berapa ini? aku membuka pesan dengan mata terkantuk-kantuk. Aku begitu ngantuk, ini masih jam dua pagi. Aku kembali tidur dan tak menghiraukannya. Begitu pagi, aku teringat dan kembali membaca pesan itu lagi. Sungguh aku terkejut.
                “OMG! Ini yang sudah gue tunggu-tunggu setengah tahun terakhir ini.”

Chaelin
Sms km smlem itu bnr?

Sendy
Sms yg mna?

Chaelin
Yg smlem. Ih jjur aj knp?

Sendy
Emng knp sih?

Chaelin
Ih. Ya udh ah.
I love u too Sendy. :)

Sendy
Iyaa :)



Sudah itu saja? Aduuh, seneng sih, banget.
Tiga bulan berlalu.

                “Lin, aku pengen kita balikan lagi, kamu mau kan?” tanya Gigi di kantin.
                “Mmm, emang kamu masih sayang sama aku?” tanyaku.
                “Iyalah, dari dulu sayang aku ga pernah berkurang Chaelin. Kamunya aja yang gak ngerti,”
                “Tapi kenapa baru sekarang?”
                “Kemarin kan kita sibuk ujian kenaikan kelas, aku gamau ganggu kamu, supaya kamu gak kepikiran aku,”
                “Kenapa kamu bisa sebegitu sayangnya sama aku? Aku ini tomboy, gak cantik kaya cewek lain, aku ini egois, dan aku gak pernah mau bergaya cewek feminim,”
                “Aku tahu. Aku udah kenal kamu setahun ini, kalo aku terlalu mikirin fisik kamu, gak mungkin aku ngajak kamu balikan, bahkan gak pernah kan sekalipun aku ngomen penampilan kamu?”
                “Iya sih, tapi.....”
                “Karena aku tulus sayang sama kamu, aku gak butuh kamu cantik, karena kamu udah cantik di mata aku. Kamu boleh berpenampilan tomboy begini tapi yang jelas aku bisa liat kecantikan kamu sebagai perempuan,” Gigi tersenyum, mengelus rambut pendekku.
                “Kenapa? Jangan mewek gitu ah, jelek loh. Aku tahu kamu masih sayang aku, aku tunggu jawaban kamu ya kapanpun kamu mau,” dia tersenyum lagi dan pergi berlalu menuju kelasnya.

Hampir saja aku menangis, bodohnya aku. Aku sudah menemukan yang ku mau, dia adalah Gigi. Seorang yang dapat melihatku, melihat diriku sesungguhnya. Tapi Sendy? Tunggu, bukankah di anatara aku dan Sendy belum ada ikatan? Kami hanya saling bilang I love u tanpa ada tanda jadian. Memang sih setelah itu hubungan kami semakin lengket.

Akhirnya aku menghubungi Sendy saat malam hari.
                “Halo, Sendy?”
                “Iya, kenapa beib? Eh, maksudnya ada apa Lin?”
                “Mmm, aku pengen tanya hubungan kita sekarang itu apa Ndy?”
                “Kamu pikir apa?”
                “Aku pikir, kita masih temenan, karena belum ada kata kita jadian kan?”
                “Oh, jadi kamu maunya gitu. Ya udah gak apa-apa, mulai sekarang kita temenan.”
                “Loh, tunggu. Emang selama ini kita temenan kan? Kamu gak pernah nembak aku.”
                “Iya, ya udah kalo kamu anggepnya begitu. Ya udah kan itu doang.”
Tuuut.. tuuut.. tuuut...

Aku terdiam kaget. Apa maksudnya? Apa? Aku gak ngerti!
Besok paginya, saat aku berpapasan dengannya di warung. Dia buang muka dariku, apa? Kenapa jadi begini? Maksud yang semalem dia bilang itu apa? Aku pun berjalan dengan sedih, gak biasanya aku begini, aku tidak seceria dulu.

                “Woy, Lin!” ucap Jay menepuk pundakku.
                “Aduh, kaget gue! Apa sih lo?” teriakku.
                “Wiih, nyantai. Pulang jam berapa lo?” tanyanya.
                “Jam satu kali, kenapa?!
                “Gue kan masuk pagi nih, nanti pulang bareng lagi ya bro!”
                “Iye.iye. Lo tunggu gue aja di depan kaya biasa. Si Farid masuk pagi juga kan? Suruh dia bareng tuh!”
                “Siiip, lo lagi ada masalah ya?”
                “Kenapa emang?”
                “Ga seceria biasanya aja. Lin, denger ya. Kalo ini masalah cowok, udah gak usah di pikirin. Masih banyak yang lain ko, kalau dia bener sayang sama lo, dia pasti balik. Gak usah di bikin masalah kaya gini. Have fun aja mba bro!” Jay, sekalipun dia ngeselin tapi dia punya hati.

                “Iya, gue tau. Makasih deh sarannya.”
                “Yoi, udah ya duluan.” Aku hanya membalas lambaiannya.

Baik, sekarang aku putuskan untuk kembali pada Gigi. Suruh siapa Sendy tidak jelas menyatakan cintanya. Semangat Lin!
                “Lin, ada yang pingin gue certain ke elu. Tapi lu jangan marah ya?” ucap Vey memanggilku.
                “Iya, kenapa vey?” tanyaku.
                “Itu, alesan kenapa Fandy macarin lo dan dengan cepet minta putus sama lo karena....”
                “Karena dia pengen deket sama lo gitu? Gue udah menduga itu Vey. Gak apa-apa kok.” Jawabku tersenyum.
                “Kok lo tau? Iya, dia sms gue kemarin, dia baru jujur begitu katanya. Jahat banget dia. Maafin gue ya Lin.”
                “Gak apa-apa kok Vey, dari dulu gue juga tau dia selalu ngelirik elu. Bahkan dia gak mau nyium gue, bukan karena dia baik, tapi ternayata karena dia ga bener-bener menginginkan gue.”
Kami pun sma-sama tersenyum, yah untuk apa seorang Fandy di ributkan. Terlalu tidak penting.

To Be Continued ^_^