Minggu, 15 Desember 2013

Story of You(29) part.1

Dua tahun sudah berlalu begitu saja tanpa aku bisa akrab dengannya. Selalu saja tak dapat mengobrol lebih lama, aku hanya mampu menya panya dan bicara padanya jika dia menanyakan sesuatu padaku atau sebaliknya.

 Dua tahun di kampus yang sama, di kelas yang sama. Akhirnya di tahun lalu, tahun kedua kami kuliah, kami kembali bertemu dalam kelas yang sama. Setelah ini tidak akan ada lagi pertukaran siswa/siswi, mulai sekarang hingga lulus kami akan terus dalam kelas yang sama.

 Meski aku dan dia hampir tidak pernah saling bicara, tapi entah mengapa kami selalu mendapat panggilan ke depan kelas setiap mata kuliah. Entah itu untuk menuliskan sesuatu materi atau menjelaskan sesuatu materi. Begitu saja aku sudah merasa senang, aku tidak meminta lebih darinya untuk bisa menjadi kekasihku. Aku sudah memilih untuk hanya mengaguminya saja.

 “Dana, kita udah tingkat tiga loh!” ucap Yuna mengagetkan lamunanku.
 “Oh, iya. Terus?” tanyaku tanpa ekspresi.
 “Yaa, kapan lo mau coba lebih deket sama Riyu?” jawab Yuna.
 “Gue gak tau. Gue akan tetep seperti dulu aja, duduk di belakang memandangnya tanpa dia tau perasaan gue. Begitu juga gue ngerasa lebih tenang.” Jelas ku dengan nada lemas namun yakin.

 “Hmm, iya udah kalau itu pilihan lo. Berarti perasaan lo harus tetep di tempat atau lo kurangin supaya lebih aman.” Ucap Yuna sok bijak.

 “Hahaha, apa sih lo? Iya udah gue batesin ko biar ga keluar. Haha..” jawabku sedikit bercanda. Kami pun hanya tertawa-tawa tak jelas.

 Sekarang sejak tingkat dua, kelasku berubah, ada yang berpindah ke kelas lain dan ada yang dari kelas lain masuk ke kelasku. Semua itu karena hasil nilai IPK kami. Aku bersyukur tetap di kelas yang sama, kelas pertama, dan tentu aku juga bersyukur bisa sekelas lagi dengan Riyu.
_***_

Dua bulan sudah kami belajar di tingkat tiga ini. Aku heran, mengapa aku begitu santai dalam kuliah. Entah karena jurusanku Perfilman yang tak begitu sulit atau karena aku yang menyepelekan. Sudahlah, yang penting aku akan terus semangat pergi kuliah.

 Pagi ini, mata kuliah pertama. Aku menyadari ada seseorang yang lain berusaha mendekati Riyu. Aku perhatikan perempuan itu adalah Lisa, saat tingkat satu dia berada di kelas ke-3. Benar saja, mereka begitu dekat dan akrab. Aku merasa sedikit kesal melihatnya. Aku merasa semua tidak adil, aku yang sudah menyukai Riyu dari tingkat satu tapi mengapa Lisa yang baru kenal bisa langsung seakrab itu? Mungkin aku kesal pada diriku sendiri lebih tepatnya.

 “Yuna! lo suka merhatiin Lisa sama Riyu gak sih? Kenapa mereka bisa sedeket itu? Emangnya mereka temenan waktu tingkat satu?” tanyaku bertubi-tubi.

 “Aduh, iya gue merhatiin kok. Sabar ya Dan, tapi gue gak tau mereka itu dulunya temenan atau enggak.” Jawab Yuna.

 “Ya udahlah, gak apa-apa.” Balasku.
 “Gue bilang juga apa. Harusnya dari dulu lo deketin Riyu, anggep aja dia temen biasa kaya yang lainnya.” Jelas Yuna.

 “Gak bisa Yun, kalau ada perasaan ya pasti gak bisa biasa aja. Lo juga begitu kan sama Rama, nyapa aja gak berani lo. Mending gue kemana-mana masih bisa nyapa dia.” Jawabku tak mau kalah.

 “Ih, lo mah ngebalesnya begitu! Iya deh iya.” Jawab Yuna kesal.

Aku selalu memperhatikan Riyu dan Lisa begitu akrab, sampai aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa Lisa menyukai Riyu. Tapi Riyu cowok yang baik, dia bergaul dengan siapa saja itu wajar. Hingga suatu ketika di mana perasaanku itu semakin naik dan turun bukannya berkurang.

 Saat kelompokku akan melakukan presentasi di depan kelas, aku menyadari Riyu yang biasanya selalu duduk dengan teman-temannya di belakang kini ada di bangku paling depan. Aku melihatnya sangat dalam karena ruangan sedikit gelap untuk menggunakan sejenis Infokus. Aku tersadar bahwa dia ternyata menatapiku juga, aku langsung membuang muka ke arah lain. Kenapa? Kenapa hatiku berdegup kencang? Aku akan melakukan presentasi jadi tidak boleh gugup. Sampai presentasiku dan kelompokku selesai dia tak beranjak dari bangkunya, meskipun sesekali aku meliriknya saat dia terkantuk-kantuk. Aku tertawa sedikit melihatnya, apa yang dia lakukan? Kalau tau dirinya tengah mengantuk lalu kenapa dia duduk di bangku paling depan? Seharusnya di belakang dan semua siswa pasti tau strategi itu.

 Minggu berikutnya kelompok lain yang presentasi, aku mencari-cari Riyu. Ternyata dia duduk di bangku belakang, padahal yang presentasi itu adalah salah satu temannya. Pertama aku merasa itu hanya kebetulan. Lalu minggu berikutnya lagi pun dia tetap duduk di bangku belakang, kemudian kelompok dialah yang berikutnya presentasi.

 Saat itu, aku benar-benar tidak tahu bahwa kelompok dialah yang maju berikutnya. Aku sedang duduk di bangku paling depan dan berbincang sebentar dengan Yuna. tiba-tiba saja Riyu duduk tepat di depanku, karena di situlah letak Infokus berada. Tapi, saat aku menoleh padanya, dengan cepat dia membalikan badannya untuk melihatku, dia tersenyum sangat-sangat lebar seolah seketika itu dia dapat membaca perasaanku yang sudah ada sejak tahun lalu. Aku begitu terkejut, senyumku kaku membalasnya, entahlah mungkin aku tampak terlihat bodoh saat itu.

 “Kenapa Riyu? Kok senyam senyum?” tanyaku akhirnya dengan nada sedikit parau. Semoga saja dia tidak mendengar detak jantungku yang bergemuruh.

 “Enggak ko. Gak apa-apa cuma pengen senyum aja.” Jawab Riyu yang masih tersenyum padaku.

 Aku hanya mampu menjawab ‘Oh’ saja. Begitulah, aku ingin sekali banyak bicara dengannya namun aku merasa ada sesuatu yang menahanku. Sesungguhnya aku tidak tahan untuk tersenyum lebar jika Riyu yang melakukan itu padaku. Aku langsung membalikkan badan. Kututupi mukaku dengan binder untuk bisa tersenyum lebar tanpa diketahui Riyu.

 Yah, begitulah hari-hariku selama dua tahun belakangan hingga saat ini. semua senyum itu, perasaan itu, debar jantung itu aku anggap hanya kesenangan pribadi saja di kampus. Aku terlalu takut untuk berjalan lebih jauh padanya.
_***_

to be continued ^^