Sabtu, 19 Juli 2014

Goodbye "First Love" (31) Part.1



W
aktu, adalah sesuatu yang tak seorangpun mampu melampauinya. Sang waktu akan terus berjalan maju. Memohon sekalipun tak ada guna untuk memintanya kembali. Yah, itu yang kurasakan selama kurang lebih tujuh tahun lamanya. Satu tahun lalu adalah tahun terakhir aku bisa terlepas oleh bayangnya.
                Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Entah apa yang merasukiku, itu adalah tahun dimana aku pertama mengenal rasa suka pada seorang cowok.
                “Yu, liat tuh kakak kelas yang ngeliatin aku. Ngeselin banget orangnya, ganggu.” Ucap Ina, seorang teman kelasku menunjuk seorang cowok pendek yang terkekeh melihat ke arah kami.
                “Ouh, iya. Terus kenapa na?” tanyaku sangat polos.
                “Yah, kamu urusin ya. Kamu kan berani sama siapa aja, bilangin jangan ganggu aku lagi gitu.” Jelas Ina. Hanya dia satu-satunya cewek yang pikirannya sudah dewasa di kelasku. Dia paling anti harus bermain kejar-kejaran seperti anak kecil.
                “Oh, oke.” Jawabku singkat dengan menyunggingkan senyum tipis.
                Meski aku masih duduk di bangku sekolah dasar, naluri licikku sudah berapi-api. Saat itu aku memang sangat periang dan tak pernah takut pada siapapun termasuk kakak kelas. Namun tetap saja diumurku yang masih 11 tahun, aku sudah memiliki rasa hormat dan sopan santun tinggi. Begitulah aku, seorang Yuka yang biasa-biasa saja.
                Aku langsung menghampiri kakak kelas itu, kelas kami memang bersebelahan. Aku melangkah pelan namun pasti. Kulihat dia tersenyum dan terheran-heran, anehnya dia menungguku menghampiri.
                “Mau apa kamu? Pasti disuruh Ina supaya aku gak ngejar dia lagi?” ucap kakak kelas itu.
                “Iya, kenapa? Kamu jangan ganggu temen aku lagi deh. Dia gak tertarik sama kamu.” Jawabku asal.
                “Oke, kamu gantinya ya. Sampe aku lulus kamu gak bakal bisa lolos dari aku.” Ucapnya dengan rasa pede tingkat tinggi.
                “Siapa takut!” balasku.
                “Nama aku Dante.” Dia menawarkan tangan kanannya padaku.
                “Yuka.” Aku menyambut tangannya itu.
Seketika angin lembut menyentuhku, seolah waktu berhenti. Jantungku berdebar saat meraih tangannya. Bibirku yang sedari tadi tersungging ketus padanya, perlahan menurun dan mulai mencerna apa yang sedang terjadi padaku. Angin lembut itu membuat beberapa helai rambutku melambai-lambai. Dia masih tersenyum padaku. Dengan perlahan dia melepaskan sambutan tanganku itu. Lalu waktupun kembali berputar. Sungguh aku tak mengerti apa yang baru saja terjadi.
                “Kenapa kamu? Baru juga kenalan kamu udah suka ya sama aku?” dengan raut muka tanpa dosa itu dia bertanya padaku.
                “Ha?! Sumpah, kamu terlalu pede. Aku gak akan suka sama orang kaya kamu. Pendek!” ups, seketika kata-kata itu keluar dengan sendirinya.
                “Aih, berani ya? Dasar item!” balasnya.
Ah, sungguh itu sangat menyakitkan. Sejak itu kami terus berkelahi, tapi jujur aku menikmatinya. Entah mengapa isu pertengkaran kami sudah meluas sampai seantero sekolahku. Lebih parahnya lagi, mereka mengecap pertengkaran kami itu romantis. What?!
­_***_

H
ari kelulusan tiba, entah mengapa aku merasakan kesedihan yang mendalam. Ada sesuatu yang membuatku merasa hilang. Saat acara pelepasan murid kelas enam, aku melihatnya menangis. Aku melihat Dante menangis, mungkin karena kami memang masih kecil. Lalu, air mataku menetes dengan sendirinya. Kuusap pipiku yang sudah lembab karena air mata.
                “Tuhan, mungkin dia menangis karena sedih berpisah dengan teman-temannya. Tapi aku? Kenapa aku bersedih? Mungkinkah karena ini hari terakhir aku bisa melihatnya?” ucapku dalam hati memandang cowok pendek itu dari kejauhan.
                Aku masih terlalu polos untuk mengenal cinta, aku tak tahu apa yang harus kulakukan dengan perasaan yang seperti ini. Aku hanya terdiam ketika dia melewatiku menuju pintu keluar aula. Dia tak menghiraukanku, seolah dia tak mengenaliku. Dia berjalan dengan pandangan lurus menuju seorang cewek di haapannya yang akan beranjak pergi. Aku lihat cewek itu pun tak menghirukannya. Aku makin merasa sakit, sakit hati yang pertama kudapatkan.
                Apa keakraban kami harus berpisah dengan cara begini? Meskipun tak lama, tapi aku sudah merasakan debaran itu sejak awal.
_***_

Dua tahun kemudian.
                “Sena? Kok kamu pindah ke SMP ini sih?” tanyaku saat upacara bendera telah berakhir.
                “Iya, pengen aja. Karena aku denger kamu sekolah di sini.” Jawab Sena santai.
                “Lah? Cuma karena aku?” tanyaku heran. Dia pun hanya mengangguk.
Aku berlalu menuju kelasku sembari berpikir. Jika Sena ada di sini, di kota ini, mungkinkah Dante juga ada di sini? Mungkinkah aku bisa bertemu dengannya lagi?
                Ya, Sena adalah adik kandung Dante yang ternyata menyukaiku sejak Dante lulus dari sekolah dasar. Namun tanpa sadar hatiku terus menunggu kehadiran Dante setelah dua tahun ini tak lagi bertemu.
                Tak lama saat aku duduk di bangku kelas dua SMP, Dante menghubungiku ketika aku sedang santai di kamarku tercinta. Aku merasakan sesuatu yang mengembang dalam hatiku. Mungkin sekarang aku sudah sedikit mengerti apa yang kurasakan selama ini padanya. Aku menyukainya, aku menunggunya, aku mengharapnya. Bertahun-tahun aku menyimpan perasaan ini hanya untuk Dante. Kini waktu itu telah tiba. Ketika Dante menghubungiku, aku putuskan untuk menyatakan isi hatiku. Bukannya aku cewek rendah yang dengan mudah menyatakan perasaan, tapi aku takut akan kehilangan Dante lagi. Aku pikir dua tahun cukup untuk menantinya tanpa kabar sama sekali. Terlebih, dia adalah cinta pertamaku.
                Tak disangka, Dante mengerti. Ya, akhirnya Dantelah yang memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku merasa detik itu juga, di kamarku, aku ingin loncat-loncat kegirangan di atas kasurku. Aku tersenyum lebar, aku bernyanyi, aku berteriak seperti orang sinting.
                “Terimakasih Tuhan, penantian selama ini terbayarkan. Cinta pertamaku sudah kudapatkan. Aku yakin dia pun akan menjadi yang terakhir.” Ucapku tersenyum lebar.
_***_

Empat tahun kemudian.
                “Sebentar lagi kelulusan. Duh aku deg-degan nih Yu.” Ucap Via tepat di depan ruang matematika 1.
                “Iya, semoga aja kita semua lulus SMA ya. Seminggu lagi ini.” Balasku antusias.
Sebenarnya murid kelas tiga sudah tak perlu belajar untuk datang ke sekolah. Namun karena kami begitu antusias dengan kelulusan minggu depan, kami selalu pergi ke sekolah hanya untuk berbincang dan merencanakan akan melanjutkan kemana.
                Ya, kini aku sudah duduk di bangku kelas tiga SMA dan aku masih mencintai Dante. Aku masih menanti kehadiran cinta pertamaku itu kembali. Empat tahun lalu, dua setengah bulan setelah aku memilikinya, kami berpisah. Hubungan itu terputus. Aku sungguh menyesali perbuatanku yang melepasnya begitu saja hanya karena dia tak kunjung mendatangiku. Dia yang waktu itu bersekolah di Jakarta. Aku termakan oleh ke-egoisanku sendiri. Aku sangat terpukul atas kejadian itu. Dia pun menghilang kembali tak ada kabar sampai detik ini.
                “Yu, kamu masih mikirin Dante? Masih belum ada kabar dari dia?” tanya Via yang duduk di depan mejaku, di kantin skeolah, menatap khawatir temannya ini.
                “Belum, mungkin nanti. Aku percaya kok, suatu saat kalau aku terus bersabar menunggu, dia akan kembali.” Jawabku tersenyum lemas.
_***_

To be continued...