Senin, 29 September 2014

Goodbye "First Love" (31) Part.2-End

Rrrr... Rrrr
Handphoneku berdering tanda ada panggilan masuk. Nomor tak dikenal malam-malam begini, aku ragu untuk mengangkatnya. Tapi aku merasakan debaran jantungku yang bercampur dengan rasa sedih muncul.
    “Halo!” jawabku pelan.
    “Halo, Yuka? Gimana kabarnya?” ucap suara di sebrang telefon.

Deg...
Tiba-tiba jantungku berasa sesak. Suara ini, aku mengenalnya. Suara cowok yang selama ini aku nanti. Aku terdiam, tubuhku gemetar, air mataku hampir menetes.
    “Halo, Yuka?” ucap suara itu sekali lagi.
    “Iya, mmm. Alhamdulillah baik kok, kamu sendiri?”
    “Baik juga, emang kamu tahu ini siapa?”
    “Mmm, Dante kan?” aku berusaha menenangkan diri.
    “Iya, hebat kamu masih inget suara aku ya?”
    “Iya, kamu kemana aja Dan? Empat tahun gak ada kabar sama sekali setelah kejadian itu.” Aku mulai membuka percakapan tentang hubungan kita.
    “Ouh, ya Dante sekolah Yu. Sibuk juga sih, kangen ya?” ucapnya menggoda.
    “Iya, kangen banget Dan. Kamu kan tau, kamu cinta pertama aku. Sampai detik ini aku masih nunggu kamu Dan. Aku masih sayang sama kamu.” Pembicaraan kami mulai serius. Aku tak suka bertele-tele.
    “Makasih ya Yu. Maaf, tapi Dante kan udah bilang berkali-kali, aku tuh bukan cowok yang baik untuk kamu. Lebih baik kamu sama Sena aja, aku restuin. Dia kan adik aku, bukannya sama aja kan?”
    “Apa yang sama Dan? Kamu pikir satu rasa cinta bisa untuk dua orang yang berbeda? Jangan paksa aku untuk nyerah Dan. Aku mau kamu.” Semakin bertambahnya umurku, tentu saja semakin aku mengerti apa itu mencintai.
    “Iya udah aku ngerti. Aku juga masih sayang kamu. Tapi aku juga nelfon kamu sekalian cuma mau bilang, kalau aku..... aku....”
    “Aku apa Dan?” hatiku bergejolak tak menentu. Apa yang akan dikatakannya? Aku yakin bukan hal yang menggembirakan. Karena hatiku mulai terasa sakit.
    “Aku,,,, udah punya istri.” Ucapnya pelan namun pasti.

Deg...
Astaga, hp-ku hampir terjatuh dari genggaman. Seperti ada petir yang menyambar hatiku, tulangku, hingga ubun-ubun. Tubuhnku gemetar dengan hebatnya. Dengan cepat pipiku sudah basah oleh cucuran air mata yang deras mengalir. Bukankah umurnya hanya setahun diatasku, dan kami baru saja akan menginjak masa kuliah?

    “Yu! Yuka, maafin aku. Aku tahu kamu sangat kecewa mendengarnya. Tapi sungguh, aku masih sayang kamu Yu. Tapi waktu berkehendak lain, bahkan aku sudah memiliki anak. Itu kesalahnku. Maka dari itu maafkan aku Yu, aku bukan cowok yang pantas kamu pertahankan selama bertahun-tahun seperti itu.” Jelasnya berusaha meyakinkanku.

    “Kenapa? Kenapa? Apa yang kamu lakuin Dan?! Jadi,,, selama ini penantianku, rasa cintaku selama hampir tujuh tahun kamu sia-siakan begitu saja? Setidaknya,,,, setidaknya kamu tidak menikah diumurmu yang masih muda, meski kamu tidak menginginkanku lagi.” Ucapku terisak-isak. Terlalu sakit untuk kutahan.

    “Maaf, aku gak tahu kalau kamu akan terus menungguku selama itu. Ini semua kecelakaan Yu. Bukan aku yang mau. Tapi ini dosaku, aku harus menebusnya, dan aku gak bermaksud menyakitimu. Sejak kamu memutuskan aku, aku jadi anak yang gak bener. Aku gak tahu apa yang terjadi denganku saat itu.”
    “Oke, cukup. Makasih kamu udah jujur. Sekarang kamu boleh tenang dan gak usah berusaha menghubungiku. Aku tak akan menunggumu lagi. Aku tahu ini semua sudah berakhir sejak dulu, harusnya.”
    “Tapi Yu, aku masih menyayangimu sungguh. Jangan tinggalin aku Yu. Aku mohon.”
    “Jangan! Jangan bicara seperti itu! Kamu pikirkan saja keluargamu. Kamu gak boleh menyayangi yang lain selain istri dan anakmu. Bahkan aku, jangan berusha untuk mencintaiku lagi. Selamat tinggal Dan. Aku sayang kamu.” Ucapku yang terus menahan iasakan tangisku.

Tuuuut,,,tuuuut,,,tuuut...
Dengan brutalnya aku menutup telfon. Aku banting hp-ku ke lantai, untungnya tidak hancur. Hp-ku berdering lagi. Lalu aku pungut kembali dan melepaskan batrenya.

Tuhan, kenapa kau biarkan aku menanti sesuatu yang tak ada gunanaya selama bertahun-tahun? Sakit ini sudah tak bisa kuungkapkan. Cinta pertamaku, yang kuyakini akan menjadi cinta terakhirku telah sirna. Dialah yang membuatku mengenal apa itu rasa mencintai, apa itu lelahnya menunggu sang pujaan hati, apa itu cinta yang dalam, dan apa itu sakit hati.
                                                                _***_

Dua tahun kemudian.
Akhirnya aku mampu melepaskan cintaku. Cinta pertamaku, setahun yang lalu. Ya, tujuh tahun itu cukup untukku menyimpan cinta padanya, untukku menanti cintanya yang tiada guna.
    Aku sudah duduk di bangku semester empat Universitas Swasta di Depok, dengan mengambil jurusan sastra inggris. Masa lalu tak dapat dikembalikan, sang waktu begitu kuat menjaga jalurnya agar tetap berjalan lurus kedepan. Aku tahu Dante akan selamanya bersemayam dalam hati terdalamku, namun bukan berarti aku masih mencintainya. Aku sudah tak mengingat wajahnya. Tapi suatu kenangan akan tertinggal selamanya.

    “Sayang, tunggu aku ya. Dihari raya idul fitri aku pasti pulang untuk ketemu kamu.” Ucap Riu di sebrang telfon. Ya, kekasihku yang jauh di luar kota. Kami sama-sama berjuang untuk lulus kuliah dengan baik.

    “Iya, aku tunggu kamu sayang.” Balasku dan menutup telfon. Aku tersenyum, sudah beberapa bulan kami bersama dengan jarak yang jauh. Tak ada yang menyangka bukan? Riu adalah teman SD-ku yang berbeda kelas, dia sekelas dengan Sena saat itu.

Aku bangkit dari tempat tidurku menuju cermin panjang di dinding. Ku katakan pada diriku, aku tak takut untuk kembali menunggu. Karena aku menunggu sembari melangkah, jadi sang waktu pun tak akan meninggalkanku seperti dahulu. Aku akan berjalan berdampingan dengan sang waktu bersama dengan dia yang kini menyayangiku apa adanya.

    Akhirnya aku menyadari sesuatu dari masalaluku dengan Dante. Bahwa, cinta pertama itu tak berarti apapun. Cinta pertama hanyalah sekedar ‘kata-kata’ saja. Cinta pertama bukan berarti cinta terakhirmu. Cinta pertama bukan berarti jodohmu di masa depan. Yang aku yakini, janganlah menyerah dalam cinta. Bersiaplah dengan resiko yang akan menghampiri, ketika kamu siap untuk mencintai.











By: Tantan :)

Jurnalistik-News-Pengendara Motor Nakal di Atas Trotoar

Sudah sering sekali kita melihat begitu banyak kendaraan, khususnya di ibu kota Jakarta ini. Begitu banyak kendaraan yang memenuhi jalanan, hingga banyak dari mereka yang tidak suka mematuhi peraturan lalu lintas. Para pengendara dan pejalan kaki beradu dalam satu jalanan. Jika kita perhatikan, betapa sumpeknya jalanan ini. Jangankan di ibu kota, kota-kota kecil lainpun sudah mulai tercemar dengan bertambahnya kendaraan dan banyaknya masyarakat yang merantau.

    Dalam kasus kali ini, pembahasannya adalah tentang pengendara motor nakal yang selalu mengambil lahan para pejalan kaki. Khususnya di daerah Depok. Tak bisa dipungkiri, betapa banyak pengendara yang menggunakan berbagai alasan untuk bisa lancar berkendara di jalan raya, salah satunya dengan menerobos trotoar jalan agar terhindar macet. Mulai dari pelajar yang sudah memiliki sim, mahasiswa, pekerja, bahkan seorang polisi pun melakukannya. Bagaimana bisa mereka melakukan itu? Bahkan seorang polisi sekalipun? Mengapa? Inilah wawancara yang berhasil kita dapatkan dari beberapa pengendara motor yang selalu menerobos trotoar.

    Jumat, 26/09/14. “Ya, karena saya lagi buru-buru berangkat kerja makanya saya terpaksa nerobos aja.” Ujar Bu Nani, seorang perantauan yang berhasil diwawancari saat itu juga. Lalu, setelah ditanya mengapa Bu Nani berani melanggar aturan lalu lintas seperti itu, jawabannya tak lain dan tak bukan adalah karena jalanan trotoar kosong dan hanya mengikuti pengendara motor lain yang lebih dulu melakukannya. Ternyata, hampir semua pengendara yang melakukan itu hanya karena ada contoh yang telah mereka lihat. Bahkan sesekali terlihat pula seorang polisi ikut menerobos jalan trotoar. Pada kenyataannya hukum di Indonesia memang belumlah tegas bahkan para petugas polisi pun mencontohkannya, sehingga membuat semua masyarakatnya hanya memandang sebelah mata pada setiap peraturan atau hukum yang ada.

    Saya pun mewawancari beberapa pejalan kaki di sekitar Depok. Tentang para pengendara itu dan bagaimana solusinya menurut beberapa narasumber tersebut. “Wah, kami sangat terganggu dengan pengendara motor yang selalu mengambil jalan kami di pinggir sini. Kami kan ingin aman, makanya kami berjalan di pinggir sesuai tempatnya. Eh, malah diserobot motor-motor. Kadang saya suka kesal dan menegur mereka, tapi mereka tidak mau dengar.” Ujar Satria dan kawan-kawannya, beberapa pelajar yang selalu melewati tempat itu. “Menurut saya sih, seharusnya peraturan dan hukum lebih ditegaskan lagi. Kalau perlu beri pembatas atau pagar-pagar kecil di sepanjang trotoar disemua daerah supaya tak ada lagi pengendara motor yang bisa menerobos.” Lanjutnya.

    Jadi, mengapa begitu sulit mengatur para pengendara motor agar tertib dan taat peraturan? Karena mereka melihat dan mengikuti. Banyak dari mereka yang tidak punya kesadaran untuk menaati peraturan. Jika hanya beberapa yang masih taat pada peraturan bagaimana jalanan mampu menjadi rapih? Semua kembali pada pribadi masing-masing dan para penegak hukum yang seharusnya mampu membuat penegasan, sehingga membuat masyarakat takut untuk melanggar.

By : Tania S.K