Kamis, 04 Agustus 2016

It's Always Been You (39)

Pernah tidak kau membayangkan bertemu dengan cinta pertamamu dengan cara yang tragis? Bukan hal yang terlalu buruk, hanya saja kau bertemu dengannya kembali setelah bertahun-tahun berpisah membawa cinta yang masih terjaga di hati, dan yakin bahwa dialah jodoh kita yang pada kenyataannya tidak seindah itu? Atau mungkin kau telah mengalaminya?
Aku pernah dan tidak menyesal telah memilih jalan ini.


_***_


        Namaku Milly, dua bulan lagi aku akan wisuda dari salah satu universitas negri di Yogyakarta. Menantikan masa-masa bahagia melepas masa kuliah yang penuh ujian. Bukannya aku mengeluh sih, hanya saja aku lelah, mungkin stres. Sepertinya otakku ini sangat minimalis, tak mampu menerima banyak hal serius untuk dipikirkan berhari-hari. Seminggu saja aku terlalu memikirkan hal yang membuatku merasa down, kepalaku akan terasa menyakitkan seperti mau meledak bahkan berat badanku bisa turun setidaknya tiga kilo. Mengetahui itu tentu saja aku malah semakin stres, aku tak suka terlalu kurus, seperti manusia yang tak pernah bahagia. Bukan bermaksud merendahkan orang-orang yang bertubuh kurus. Hanya saja tubuhku sudah kecil tak lucu jika berat badanku semakin turun, aku akan terlihat seperti tulang belulang yang dipajang di ruang biologi, bedanya dia tinggi dan aku cilik. Bayangkan!

Kriiing... Kriiing...

   “Duh! Mengagetkanku saja. Siapa yang menelfonku pagi-pagi indah seperti ini? Mengganggu Milly yang sedang bersantai.” Batinku mengambil handphone yang terus berdering di atas meja, di sebelahku.

Aneh, tidak ada namanya.

   “Hallo!” sapaku.

   “Hai Mil! Masih ingat aku?” tanya suara laki-laki di sebrang telefon.

   “Hmm,,, sepertinya aku ingat suara ini.” Aku menaikkan kedua bola mataku berpikir sesaat.

   “Sean.” Ucap laki-laki itu tertawa kecil.

   “Ah! Hai Sean, bagaimana kabarmu? Dimana sekarang?” tanyaku girang.

Pasalnya kami sudah lama tak bertemu sejak kami lulus dari sekolah menengah pertama. Hmm, sekitar tujuh tahun mungkin.

   “Baik saja. Aku sedang berada di Yogya nih. Bagaimana denganmu?”

   “Wah, disini? Aku juga. Aku sedang nganggur menunggu wisudaku dua bulan lagi. Haha.. kau kuliah disini? Dimana?” aku sangat antusias bagaikan bertemu teman lama yang tak jumpa.

   “Hmm, aku berkuliah di Bandung. Kesini hanya liburan saja mengunjungi nenek. Hehe.. hebat ya kau sudah mau lulus saja, aku harus menunggu setahun lagi.”

   “Loh kok bisa? kita kan seangkatan?”

   “Ya, aku menunda setahun kuliah untuk bekerja. Ngomong-ngomong, bisa kan kita bertemu? Sudah lama sekali loh.”

   “Oh, tentu. Kapan?”

    “Sekarang.” Suaranya terdengar sangat yakin.

   “Apa? Sekarang? Masih pagi!” balasku terbangun dari sandaran kursi yang sedang kunikmati. 

   “Iya, keluarlah! Aku sudah menunggumu di depan pagar rumahmu nih! Cepat bukakan!” suaranya berubah jadi memerintah.

    “What?! Jangan bercanda deh.” Balasku tak percaya, namun aku tetap bangkit dari duduk dan berjalan ke depan rumah menyusuri dapur, ruang keluarga, dan ruang tamuku.

Ya, aku sedang menikmati pagi indah terbebasku di belakang rumah yang damai dipenuhi tumbuhan-tumbuhan hijau dan bunga-bunga kesayangan mama. Aku berjalan dengan handphone yang masih kutempelkan di telinga. Sean pasti hanya mengerjaiku.

    “Sean?” aku terpana melihat seseorang di depan pagar rumahku.

Pria tinggi dan kurus menggunakan jaket berbahan parasut berwarna hitam bergaris hijau dipadukan celana olahraga pendek dan sepatu sport. Satu lagi, headset di kupingnya. Aku rasa dia sedang menelefonku.

    “Hai!” sapanya penuh senyum melambaikan kedua tangannya.

    “Bagaimana bisa?” aku menutup telefonnya, menaruhnya di atas meja dan menghampiri Sean.

Sean hanya tersenyum lebar memperlihatkan gigi-giginya yang gingsul itu padaku. Tapi aku tidak membuka pintu pagar, melainkan menaruh kedua tanganku diatas pagarku yang tak berjeruji itu dan menopang kepalaku di atasnya. Aku memandang Sean tersenyum jahil dengan sedikit mendongak karena sekarang dia lebih tinggi dariku. Terakhir bertemu dengannya saat di sekolah, dia itu lebih pendek dariku, makanya kami selalu bertengkar karena aku meledekinya terus. Sepertinya aku kena karma sekarang.

    “Kenapa memandangku begitu?” raut wajah Sean mengerut melihat sikapku yang aneh.

Aku hanya menggeleng dan tertawa kecil, sepertinya aku benar-benar terpesona pada Sean yang baru. Tapi, apakah dia juga sudah lebih dewasa sekarang?

Asik dengan keterpanaan-ku, sampai aku tak sadar bahwa Sean sudah menunduk dan mendekatkan wajahnya padaku. Dia membuat sebuah senyuman di bibirnya.

    “Kau merindukanku ya?” ucapnya seperti bangga pada dirinya sendiri.
 
    “Hmmm... tidak terimakasih. Aku hanya tak percaya saja kau sudah tumbuh dan berbeda.” Balsku menarik senyumanku dan pura-pura tak perduli.

   “Jadi semakin tampan ya?” dia tertawa kembali ke posisinya semula. “yasudah, kau mandi sana! Dan bersiap-siap. Aku akan kembali kemari.” Lanjutnya.

   “Untuk apa?” tanyaku heran.

   “Kita jalan. Oke?” Sean tersenyum yakin.

Oh, aku suka ketika dia terlihat yakin seperti ini. Dari dulu tatapannya padaku tak pernah berubah. Aku bersyukur. Bukan berarti aku mengharapkannya meskipun dulu dia selalu menyukaiku, aku senang dia tidak melupakan aku yang dulu. Apakah dia masih menyimpanku dalam hatinya? Seperti aku menyimpan Leon, kakaknya dalam hatiku? 

   “Baiklah.” Jawabku mengangguk dan membuat senyuman setulus mungkin.

Dia kembali memamerkan gigi gingsulnya dan berbalik dengan berlari-lari kecil.

_***_

     Aku mamakai pakaian seadanya saja, toh hanya jalan dengan Sean. Tak perlu lah cantik-cantik. Dia selalu menyukai aku yang apa adanya. Aku memilih menggunakan dress polos berwarna biru susu dengan corak bunga sakura berwarna pink kalem di ujung kanan bagian bawah dan dihiasi dengan renda-renda kecil dibalik rokku. Akhir-akhir ini aku selalu menyukai dress, karena bisa dipakai untuk keseharianku atau saat ada acara penting sekalipun. Dress tanpa lengan yang sepanjang lutut yang aku padukan dengan cardigan bahan berukat panjang berwarna putih dan sneakers kesayanganku yang berwarna putih. Mmm,,, sepertinya putih tulang.

    “Ups, aku lupa bahwa sepatuku sudah lusuh karena selalu dipakai selama tiga tahun lamanya. Yaa tidak begitu menyedihkan sih malah jadi semakin nyaman dipakai. Memang begini kan gunanya sepatu ini? Semakin hancur akan semakin nyaman. Haha... warnanya yang putih suci saja sudah berubah. Yasudahlah.” Aku bicara pada diriku sendiri memandangi sepatuku yang lusush.

Biar sajalah, kita kan mau main bukan kencan. Haha.. aku tertawa sendiri tak membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Apakah akan canggung?

Kemudian terdengar suara kendaraan berhenti di depan rumah, aku segera membuka pintu rumah untuk membuka pagar.

    “Hai! Kau bawa mobil?” sapaku pada Sean yang sedang berjalan menghampiriku membuka pintu pagar.

    “Mmm, iya.” Kulihat wajahnya tak sebahagia tadi pagi, dia terus menunduk.

    “Ada apa?” tanyaku khawatir.

Kemudian keluarlah seorang pria dari pintu kemudi. Berjalan menghampiri kami.

    “Hai Milly.” Sapa laki-laki itu tersenyum penuh arti dari balik tubuh Sean.

Aku terkejut melihatnya, mataku berkaca-kaca antara senang namun ingin menangis karena terlalu terharu. Aku terdiam seperti patung memandangnya. Pria yang sama tingginya dengan Sean, mengenakan kaos putih yang diselimuti semi-jas berwarna hitam. Pergelangan jasnya yang panjang itu digulungnya sampai siku dipadukan celana panjang hitam longgar yang nampak pas dengan tubuhnya. Leon, Leon kembali? Harusnya aku berdandan. 

     “Milly, hello!” dia melepas topi vendora coklat muda dari atas kepalanya dan melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku.

    “Oh, i... iya hai.” Balasku sedikit canggung dan malu.

Aku tak tahu akan nampak sebodoh apa aku sekarang.

    “Maaf Mil, aku membawanya. Dia memaksa. Tapi kau pasti bahagia akhirnya bisa bertemu dengan Leon lagi, kan?” ucap sean yang memaksakan senyumannya.

Aku hanya mengangkat bahuku dan menahan senyumanku seolah biasa saja, aku tak ingin membuat Leon merasa tinggi dan membuat Sean merasa rendah.

    “Yaudah, berangkat!” ucap Leon tersenyum lebar dan berbalik kembali memasuki pintu kemudi.

Aku hanya mengikuti Sean yang berjalan di depanku. Detak jantungku bergejolak, aku menggigit bibir bawahku berusaha menahan rasa bahagia ini. Lalu Sean membukakan pintu penumpang untukku. Di bagian depan, sedangkan Sean duduk di belakang. Maafkan aku Sean, ini pasti berat untukmu melakukannya.

_***_


Aku mendengus pasrah, daritadi membuang muka untuk terus menekuk wajahku, memandang kasihan pada diriku sendiri supaya Leon tak melihatnya. Berjalan di samping seorang anak perempuan berumur empat tahun yang disisi satunya menggenggam tangan Leon erat. Sean pasti tertawa bahagia meledek di belakangku. 

    “Tante! Tante kenapa?” tanya anak itu menark-narik jemariku.

    “Oh, enggak apa-apa ko Nin. Kenapa? Nina mau apa?” balasku ramah memaksaku tersenyuman.

    “Kita cari baju lucu yuk Tan! Cuma tante yang ngerti, kita kan sama-sama perempuan.” Balasnya ceria dan sok genit  seperti tanpa dosa.

Dewasa sekali anak ini. Diajarkan apa saja oleh ayahnya? Ha?! Aku tak melihat kepintaran sama sekali dari ayahnya. Aneh.

    “Nina sayang, ayah gak diajak?” tanya Leon.

    “Ayo ayah sama tanta Milly temenin aku yaa.” Ajaknya, wajahnya sangat bahagia seolah mendapat mainan baru.

    “Nina, kamu sama ayah dulu ya. Tante kebelet nih mau ke toilet sebentar ya.” Ucapku mengelus rambut halusnya.

    “Yaah, iya deh tante. Jangan lama-lama ya, abis ini tante kan janji temenin aku terus beliin aku es krim.” Wajahnya sedikit cemberut melihatku.

    “Iya sayang. Siaap!” balasku memberi hormat seolah menghadapi seorang kapten, dan Nina tertawa bahagia.

Leon membuat senyuman termanisnya, melirikku. Aku mengabaikannya dan pergi mencari toilet.
Sejak pertama kami melaju dari depan rumahku tadi, saat aku sedang asiknya memandang Leon yang akhirnya ada di sampingku, saat itulah Nina menyerbu di antara kita tepatnya dari bangku belakang. Katanya, “Hai tante! Tante temannya om Sean dan ayah ya?” sekejap itulah mataku membelalak melihat anak empat tahun yang periang itu. Aku hanya menjawab terbata-bata seperti habis terkena serangan jantung. 

     “Om? Om Sean?” aku mencibir lucu, Sean dipanggil om. Haha... kemudian aku melirik Sean di belakang bangkuku, kok dia malah tersenyum meledekku? Tunggu dulu, “a...ayah?” aku melanjutkan pertanyaanku pada anak itu, kali ini kerutan di dahiku semakin menjadi-jadi.

    “Iya ayah Leon. Aku sayang ayah! Namaku Nina, tante siapa?” suaranya nyaring di kupingku dengan senyuman lebar yang memamerkan gigi kecil dan ompongnya.
Aku terngaga mendengarnya, ayah? Ayah Leon?

Uh, saat itu terasa sekali seperti ada yang menusuk jantungku dengan katana yang sangat tajam dan terus menekannya hingga tembus ke punggungku hingga habis darahku mengalir deras seperti diperas. Pantas saja Sean melemparkan senyuman meledek padaku tadi. Tak bisa bernafas, sesak, inikah hari kematianku?

Akhirnya aku menemukan toilet setelah tersasar dua kali. Dasar bodoh kau Mil!

    “Oh Tuhan! Kenapa? Kenapa? Kenapa?” aku mengunci diriku di slaah satu bilik toilet dan memekik menahan teriakanku agar tak terdengar.

    “Sejak kapan dia menikah? Sejak kapan dia memiliki anak? Siapa yang beruntung menjadi istrinya? Siapa? Anaknya sangat lucu dan pintar! Aku tidak terima, sungguh!” aku mendumel sepuas-puasnya.

Kemudian aku terdiam sejenak, mengingat awal kami bertemu di sekolah dasar. Ya, cinta monyet yang sempat terputus hingga kembali lagi saat aku duduk di bangku kelas dua menengah pertama. senior di sekolah yang sekaligus menjadi cinta pertamaku, kekasihku dulu. Bahkan hati ini berhasil menjaganya selama hampir sebelas tahun.

Aku tersadar bahwa air mataku telah membasahi pipiku, aku bangkit dan menyerbu keluar menuju westafel, memandang diriku sendiri di kaca besar. Diriku yang menangis, nafasku memburu dan... sendirian.

Air mataku bukannya berhenti malah semakin deras. Aku menggigit bibir bawahku, mencengkram meja westafel erat, menahan tangisanku agar tak meledak.

    “Leon. Harusnya itu aku! Aku yang mencintaimu dan masih menunggumu.” Batinku.
Suasanya terasa hening, tak ada seorang pun disini.

“Sudahlah Milly, sudah terlambat. Terima sajalah, dia kembali bukan untukmu, bahkan dari awal dia memang bukan untukmu...” oh rasanya sakit bicara seperti ini. “dia telah direnggut dan memiliki seorang gadis kecilnya sendiri.” Aku berusha menghibur diriku sendiri, menarik nafas dalam-dalam, menengadahkan kepalaku ke atas menahan air mataku supaya tak tumpah lagi.

    Aku membuka keran dan membasuh wajahku, menghapus air mataku dan menarik nafasku dalam berkali-kali. Aku tak apa-apa, aku kuat. Aku akan merelakannya jika memang penantianku ini harus berakhir.

Aku bergegas keluar supaya Nina dan Leon tak curiga.

    “Kau baik-baik saja?” aku hampir melonjak mendengar tiba-tiba seorang pria yang berdiri santai di samping pintu bicara padaku.

    “Sean?” sejurus kemudian wajahku melemas pasrah.

Sean langsung memelukku, sangat erat sampai detak jantungnya terdengar olehku. Sangat cepat. Ataukah itu milikku?

    “Sean, aku tak apa-apa.” Suaraku mengendap dari dalam pelukannya.

    “Biarkan aku memelukmu sebentar lagi. Aku hanya merasa bahwa kau akan segera pergi meninggalkanku.” Suaranya terdengar parau.

    “Kenapa kau berpikir begitu?” tanyaku heran. Aku tak tahu bagaimana raut wajah Sean sekarang, apakah sedih,  takut, atau biasa saja?

Tapi dia terus diam dan melepaskan pelukannya. Wajahnya tersenyum memamerkan gigi-giginya itu. Mengacak rambutku dan berjalan meninggalkanku. Apa maksudnya itu?

    “Tante! Lama banget sih!” teriak Nina berlari menghampiriku. 

    “Maaf, tadi tante kesasar. Haha...”

Aku melihat Sean menjauh berjalan menuju pagar pembatas yang dibawahnya memberikan pemandangan ramainya orang berlalu lalang di lantai satu mall ini. Sekilas wajahnya nampak sedih, pasrah lebih tepatnya dan membelakangi kami yang hanya berjarak lima meter darinya.

    “Milly, ada yang mau aku katakan.” Ucap Leon menghampiri aku dan Nina.
Aku menunggu.

    “Kau tahu? Istriku, Riana. Telah meninggalkan kami satu tahun lalu...”
Jantungku mulai berdegup kencang.

    “Pergi,,, selamanya?” tanyaku berhati-hati. 

    “Mama gak meninggal tante, tapi ninggalin aku bersama ayah. Tapi aku tidak sedih dan tidak marah, aku sayang mama, lagi pula masih ada ayah yang selalu ada untukku.” Timpal Nina menggenggam tangan Leon tersenyum kecil.

    “Nina butuh seorang mama. Mama yang tidak pergi meninggalkannya. Mil, apa kau masih menungguku? Mencintaiku?” lanut Leon dengan mata mengharapkan jawaban yang membuatnya bahagia.

    “Aku...” Firasatku tak enak, apa aku harus jujur saja demi bisa bersama Leon? Atau berbohong demi menjaga perasaan Sean?

    “Loh, jadi tante suka sama ayah?” Nina terkejut tak percaya.

    “Nina, tante Milly ini pernah menjadi seorang perempuan yang ayah sayangi dan cintai seperti kamu di masa sekolah dulu. Kamu akan mengerti pada waktunya, sayang.” Jelas Leon, dia berjongkok menyamai tinggi Nina dan mengelus rambutnya.

Leon, mendengar ucapanmu yang mengakui bahwa aku pernah menjadi yang kau sayangi dan kau cintai membuatku semakin ingin bersamamu.

    “Aku mengerti yah! Seperti mama kan? Mama juga pernah menjadi perempuan yang ayah sukai.” Jawabnya dengan raut wajah ceria.

Sungguh pintar anakmu Leon, pasti ibunya pun pintar dan cantik. Sangat beruntung. Mataku kosong menerawang lantai-lantai yang kupijak.

    “Nina, marah gak kalau ayah minta tante Milly jadi mamamu? Supaya kamu punya mama seperti teman-temanmu yang lain.” Tanya Leon berhati-hati.

    “Nina gak marah yah. Nina seneng, Nina mau sama-sama tante Milly terus. Aku suka tante Milly!” Nina menjawabnya dengan tanpa beban dan memeluk pinggulku, mendongakkan wajahnya membuat raut memohon.

Aku tersentak melihatnya, apa aku pantas? Leon, aku masih mencintaimu tapi apa aku sanggup menjadi seseorang yang selalu menjagamu dan menjadi panutan bagi Nina? Bagaimana dengan Sean? Tanpa sadar aku meneteskan air mataku, ini berat dan membingungkan. Kepalaku sakit.

    “Tante ko nangis?” tanya Nina melepas pelukannya dan mundur ke samping Leon.

Leon berdiri memandangku khawatir. Aku mendongak memandangnya, matanya yang dulu sangat aku cintai bahkan sampai detik ini.

Aku memeluk tubuh tinggi dan berisi itu se-eratnya. Mungkin Leon bingung. Aku lihat Sean saat memeluk Leon, dia menengok ke arahku, wajahnya datar tapi ada kesedihan terselip seperti menungguku berucap. Air mataku masih mengalir, antara bahagia dan merasa bersalah.

    “Hatiku masih akan selalu dan selalu milikmu Leon.” Ucapku yakin dalam pelukan Leon yang akhirnya membalas pelukanku.

    “Maafkan aku Sean.” Bisikku masih memandang Sean yang akhirnya memalingkan kembali wajahnya. Dia menyerah?

Aku melepaskan pelukanku dan sedikit berjongkok untuk menggendong Nina.

    “Asik, tante gak akan ninggalin Nina kan? Aku gamau tante Milly yang akhirnya meninggalkanku lagi seperti mama Riana.”

    “Nina, tante akan coba demi kamu. Terimkasih mengijinkan tante Milly masuk dalam kehidupanmu dan ayah.” Ucapku sembari menghapus air mata di pipiku.

    “Nina, biarkan tante Milly mencoba dulu ya? Biarkan tante Milly berpikir.” Leon merangkulku dari belakang.

    “Kamu siap menikah denganku? Setelah Sean benar-benar melepasmu. Aku tak akan memaksamu untuk terus menjaga perasaannya dan hubunganku dengannya. Kau tahu kan, kami akan baik-baik saja.” Bisik Leon pada telingaku.

Aku tersenyum mengangguk. Terimakasih Leon, terimakasih Tuhan tetap memberikan Leon padaku.

    “Ayo kita pulang, sudah semakin sore nih.” Ajak Sean menghampiri kami.
Wajahnya memaksa untuk terlihat bahagia, sedikit sunggingan membentuk senyum di bibirnya.

    “Ayo Nina sama om dulu. Kita beli es krim!” ajak Sean memindahkan gendongan Nina padanya dan berlalu pergi.

Kami pun mengikutinya dari belakang, tiba-tiba Leon menyentuh tanganku semakin dalam dan membentuk simpul saling mengikat. Kami berjalan bergenggaman tangan diselimuti rasa bahagia dalam hati.

    “Jangan khawatir Milly.” Bisik Leon, suaranya terdengar sangat menenangkan dan dia memang kakak yang baik, siap bertanggung jawab menjaga adiknya itu yang kelak akan tersakiti, lagi. “Dan, terimakasih Milly, masih menjagaku di hatimu.” Ucap Leon tersenyum.

Senyuman indah yang nantinya akan selalu kulihat setiap bangun dan hendak tidur. Aku tidak akan menyesal untuk memilih bahagia dengan Leon dan Nina.


_Tamat_

Senin, 13 Juni 2016

Sebuah Puisi

 Lenyap



Kau seperti api,
Panasnya menghangatkan dan kobarannya menyemangati.
Tapi juga,
Sentuhanmu sangat menyakiti.

Aku menangisi kesakitanku hingga kau padam karena derasnya air mataku.
Kau menghilang, pergi dan tak kembali.
Aku, masih ingin disini.
Masih ingin kau yang menghangatkanku.

Jika kau tak suka tangisanku,
Lalu untuk apa air mata tercipta?
Jika kau tak suka ledakanku,
Lalu untuk apa emosi tercipta?
Jika kau tak ingin ada di hadapanku,
Lalu untuk apa kau berwujud di hadapanku?

Kau lenyap hanya karena kutumpahkan seluruh air mataku saat kau terlalu membara.
Dan kau tinggalkan asapmu, ya hanya asap.
Asap yang berterbangan memencar di sekeliling-ku.
Tak bisa kumusnahkan, tak bisa ku siram dengan air, tak bisa kubersihkan.

Apakah tak ada niatanmu untuk lebih membakarku?
Sudah cukupkah?
Teruslah bakar aku! Bakarlah hingga kau menjadi kobaran yang lebih buas!
Bakarlah aku sampai tak bersisa,
Agar kau dengan bangganya mampu menarik perhatian yang kau anggap mengagumi keindahan kobaranmu.

Aku ingin menyerah.
Aku ingin berjalan menjauh tapi asapmu terus membuntutiku.
Aku ingin berhenti dan membuatmu kembali hadir tapi tak kutemukan sesuatu untuk dapat menghasilkan api.

Bakar sajalah aku! Agar tak ada lagi aku yang selalu meledak dan menderaikan air mata hanya untukmu.
Ya, hanya untukmu supaya kobaranmu tetap stabil.
Tapi, kau tak tahu itu kan?
Bakarlah aku! Berkobarlah hingga kau pun mati ditelan kobaran buasmu sendiri.

By: Tantan :)

Kamis, 02 Juni 2016

Merry (38)




“Uwaaah! Aku terlambat! Jam berapa ini?” teriak Merry yang masih terduduk di atas kasurnya. Dengan cekatan dia melihat jam di atas meja sebelah tempat tidurnya, terkejut bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.

            “Tidak, tidak, tidak. Aku ada rapat jam delapan pagi. Rapat pertamaku. Aku harus cepat!” ucapnya sembari lompat dari atas kasurnya berlari kesana kemari mencari handuk dan meluncur masuk kamar mandi yang berada dalam kamarnya. Berhubung dia memang tinggal sendiri di kontrakan yang tak begitu luas.

10 menit kemudian….
   
        “Oke oke, jangan terburu-buru Merry. Hufft, mandi secepat ini membuatku tak pede sebenarnya. Tak apalah orang kan tak tahu, toh aku sedang terburu-buru.” Ucap Merry pada dirinya sendiri di dalam cermin.

Dengan kecepatan penuh dia berusaha berpakaian, dandan, dan mengunyah roti tawar tanpa isi secara berbarengan. Akhirnya dia hanya menggulung rambutnya yang panjang hanya sebahu itu menjadi konde ala-ala wanita jepang yang ditusuk-tusuk dengan sumpit. Lebih tepatnya tusuk konde.

            “Oh tidak sudah setengah delapan lebih lima menit!” teriaknya melirik jam di tangannya yang mungil itu. Semua sudah rapih, kemeja putih yang dilapisi blazer hitam dan rok se-lutut yang juga berwarna hitam telah rapih seperti orang kantoran. Tak lupa tambahan celana olahraga gombrang hitam miliknya saat di SMA dulu dipakainya sebagai dalaman rok pendeknya. Bertujuan untuk mempermudah mengendarai motor mungilnya. Tinggal memakai sepatu angkle-boots hitam yang sedikit berhak tercinta miliknya.

Dengan sigap dia menyambar kunci motor yang menggantung di sebelah pintunya. Kemudian mengunci pintu dan siap mengeluarkan motor matik mungilnya dari depan kamar kontrakannya.
        “Akh! Ayolah nak nyalaaaaa!!!” sayangnya berkali-kali distarter, motor mungilnya tak jua menyala. Terlihat meteran bensinnya sudah diambang sekarat.
            “Oh bagus! Semalam habis keliling bersama teman-teman kantor lupa mengisi bensin.” Ucap Merry menepuk jidatnya. Dia berpikir dan berpikir. Waktu pun terus berjalan.

Lari… Merry memutuskan untuk berlari menuju halte busway terdekat dari kontrakannya. Sekitar seratus meter jauhnya.

            “Bagus! Aku harus berlari pagi ini dengan hak lima centimeter-ku dan membawa semua berkas-berkas rapat. Rapat pertamaku sejak aku masuk kantor. Hal sial apalagi yang harus aku dapatkan setelah ini?” gerutu Merry sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah sesampainya di halte busway.

            Jam menunjukkan pukul delapan kurang 20 menit. Merry merasa khawatir, raut wajahnya mengkerut dan sedikit berkeringat. Memang menggunakan angkutan umum ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk sampai ke kantornya. Seandainya motornya tidak bermasalah dia masih bisa mengendarainnya dengan santai, tapi butuh waktu sekitar 30 menit belum lagi harus menghadapi macet.

            Terlihat bus yang akan dinaikinya akan sampai dari kejauhan, bus ini ada dua pintu. Setibanya bus itu langsung diserbu oleh orang-orang yang antri di belakang Merry. Dia pun terdorong-dorong masuk ke dalam. Semakin kesal hatinya. Dia pun terjebak di tengah, dan mendapati masih ada satu kursi kosong di hadapannya. Dengan segera dia berusaha menempatinya.

        “Aw!” pekik Merry karena tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang juga ingin menempati kursi itu.
            “Sorry, silahkan duduk aja.” Ucapnya mempersilahkan Merry dengan lembut. Merry hanya membalasnya dengan senyuman.

            “Ah, akhirnya dapat tempat duduk. Lumayan, kasihan kakikku sedari tadi berlari.” Ucap Merry dalam hatinya. Lima menit berlalu, rasa kantuk mulai menyerang karena dia terbangun tiba-tiba dan kelelahan. Lambat laun kesadarannya hilang dan hanya tinggal gelap. Merry pun tertidur.

            Seorang pria yang tadi ada di hadapannya hanya memperhatikkan Merry yang tertidur, terkadang dia membuat senyum di bibirnya. Terkadang dia memperhatikan jalan dari balik jendela yang ada di balik kursi Merry. Terkadang dia mendengarkan dengan seksama announcer bicara, berharap tujuannya tidak terlewat.

Halte Bundaran Senayan!

Terdengan announcer kembali mengingatkan halte yang sebentar lagi akan disinggahi.
            “Ah, sudah sampai. Aku haru siap-siap turun.” Ucap pria tadi. Tapi sebelum melangkah dia berhenti sejenak melirik Merry yang masih tertidur.

Pintu akan tertutup, mohon berhati-hati.

            Pria itu akhirnya hanya tersenyum, entah apa yang dia lakukan. Dia pun duduk di samping Merry, berhubung sudah banyak penumpang yang turun di halte sebelumnya.

            Baru saja duduk, kepala Merry terjatuh. Pas sekali jatuh di atas pundaknya. Dia pun bernafas lega, dia takut kepala Merry akan terbentur. Secara tak sadar tangannya menggenggam tangan Merry perlahan. Sebenarnya dia berusaha membangunkan Merry karena takut tujuannya terlewat. Tapi, ada gerakan dari Merry, pria itu langsung melepaskan genggamannya dan berpura-pura tak melihat apapun, tak melakukan apapun. Uratnya tegang, tangannya dingin, dan air keringat sedikit mengucur dari dahinya.

           “Hmm.. ada apa mas?” Tanya Merry sedikit bingung.
          “Oh, engga ada apa-apa. Kenapa? Apa sudah mau turun?” jawab pria itu seolah tak terjadi apa-apa.
        “Hah? Ini udha sampai mana ya? Jam berapa ini? Dimana ini? Dimanaaa?” Tanya Merry bertubi-tubi pada pria itu, sembari tengok sana-sini dan mencari jam tangannya yang masih menempel di tangan mungilnya itu.
           “Ini baru mau masuk halte Masjid Agung. Emang kamu turun dimana? Kelewatan ya?” ucap pria itu sedikit khawatir.
            “Oh, untung saja. Belum sih, saya turun di halte blok M. kantor saya di dekat situ. Ya ampun, delapan menit lagi! Apa masih sempat ya?” ucap Merry khawatir.
            “Tenang saja, dari sini ke blok M itu Cuma lima menit. Kan haltenya deketan.” Ucap pria itu berusaha menenangkan. Merry hanya memandangnya dan langsung menunduk.
          “Ini cowok bukan tipe gue sih tapi cakep. Ngomongnya pelan lagi. Tadi juga dia megang tangan gue ya? Iyakah? Masa? Ah gak mungkin. Tapi masih berasa ko dinginnya. Akh! Ini semua gara-gara gue ketiduran!” batin Merry berusaha menenangkan dirinya.

Pria itu tidak manis hanya cakep, gak ganteng juga hanya cakep. Kulitnya putih, matanya bersinar, rambutnya hitam sedikit pirang, tubuhnya paslah tak begitu tinggi, tapi tangannya terlihat kokoh. Ditambah, senyumnya manis, ya hanya senyumnya.

            “Kenapa? Pusing ya tadi kebangun tiba-tiba?” Tanya pria tadi.
            “Ah, engga ko. Hehe..” ya, sayangnya Merry tak bisa menutupi rasa senangnya. Senyum yang ditahan itu membuat pria tadi tertawa.
            “Kenapa ketawa?” Tanya Merry merasa malu.

Halte Blok M…

Sebelum pria tadi sempat menjawab, Merry sudah berdiri siap untuk berlari setelah keluar dari bus ini. Berharap bisa sampai kantornya tepat waktu. Pria tadi ikut berdiri, dan berusaha mengejar Merry yang ingin keluar.

          “Hei!” teriak pria tadi dari dalam bus memanggil Merry yang sudah jauh di luar. Merry berhenti dan menengok ke sumber suara.
            “Jangan lupa celananya!” teriak pria itu lagi sebelum pintu bus tertutup.

Merry langsung melihat ke bawah, dan didapatinya masih menggunakan celana olahraga.
            “Ah, ya aku lupa melepasnya. Duh, pantas saja daritadi orang-orang aneh melihatku.” Dia pun kembali berlari menuju kantornya, dan sesampainya disana dia melepas celana olahraganya.
Jam menunjukkan pukul delapan pas, dia merapihkan pakaian dan rambutnya sembari masuk ke runagan rapat.
_***_


Merry melihat jam di tangannya. Sudah pukul lima sore. Jalanan begitu padat, banyak suara klakson kendaraan dimana-mana.
       
     “Hhhhhh….” Merry hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang. Rambutnya yang sudah tergerai, berkas-berkas sisa rapat di tangan kanannya, celana olahraga di tangan kirinya. Mukanya pun sudah lusuh seperti habis berperang mati-matian.
          “Merry, jangan gitu ah! Muka lu harus senyum dikit. Kan rapat pertama lu berhasil lulus dengan lancar. Sini-sini gue segerin.” Ucap Yeni menghadapkan muka Merry untuk melihatnya.

Pussshhh…. Pussshh…
            “Ih, apaan itu? Lu nyemprot gue?” Tanya Merry seolah baru bangun dari tidur panjangnya. 
          “Haha.. Bukan! Ini tuh spray untuk wajah, jadi aman. Ini bisa bikin wajah lu segeran lagi.” Jelas Yeni.
            “Ooh, oke. Makasih Yen. Hehe” balas Merry merasa segaran.
            “Yaudah, gue duluan ya! Byee..” teriak Merry dari dalam bus melambai pada Yeni.

Merry kembali menaiki bus dari halte busway untuk pulang, sedangkan Yeni hanya mengantar saja.
Bus trans ini sepi kalau sudah pukul setengah enam, mungkin hanya kebetulan. Merry dengan santainya terkapar di atas kursi. Seolah tak pernah duduk berapa hari.

       “Yah, lupakan hari yang menyebalkan ini. Eh tidak, ada sesuatu yang manis mengisinya jadi gak sebel-sebel amat sih gue.” Batin Merry. 
       “Ngomong-ngomong, orang tadi siapa ya, darimana, mau kemana?” Tanya Merry dalam hatinya. Dia masih merasakan genggaman orang tadi. Dia terus memperhatikan kedua telapak tangannya.

Tiba-tiba ada tangan yang menghampirinya, menggenggamnya lagi. Merry terkejut dan mendongak ke atas kepalanya berusaha menemukan siapa pemilik tangan ini.
            “Hai!” ucap pria itu tersenyum pada Merry.
            “Kamu?” Merry masih bingung.
            “Namaku Rendy.” Ucapnya pelan sembari duduk di samping Merry.
            “Merry.” Jawab Merry yang masih terpana dengan kejadian ini.
            “Salam kenal Merry. Sejak pertama bertemu tadi aku belum menyukaimu,-“
“Apa?” Merry seolah tersadar.
“Tapi, sejak menggenggam tanganmu tadi pagi aku telah menyukaimu.” Lanjut Rendy.
“Apa?” Tanya Merry lagi.
“Dan sekarang aku telah mencintaimu.”
“Ha?”

Rendy pun hanya tersenyum dan mereka terus mengobrol, entah apa yang diobrolkan. Terkadang membuat Merry ingin selalu tertawa, tapi juga membuat hati Merry berdegup kencang. Matanya terpana, Merry ingin mengenalnya lebih jauh.

          “Merry, jangan ketiduran lagi ya. Kalo gak ada aku nanti kamu diculik orang loh!” ucap Rendy mengejek.
        “Ih, jangan dong! Yaa gimana, aku emang suka tidur dimana aja selama tempat itu nyaman. Haha..” jawab Merry polos.
           “Kamu nyaman ada aku?” Tanya Rendy.
       “Eh?” Merry bingung harus menjawab apa. Tapi Rendy tahu jawabannya, dia pun menarik lengan Merry erat.
        “Udah sampe, ayo turun.” Ajak Rendy pada Merry yang mulai menarik bibirnya untuk membuat senyuman.


_Tamat_


By: Tantan :)

Selasa, 24 Mei 2016

Short Story of You (29)

Setahun sudah berlalu begitu saja tanpa aku bisa akrab dengannya. Selalu saja tak dapat mengobrol lebih lama, aku hanya mampu menyapanya dan bicara padanya jika dia menanyakan sesuatu padaku atau sebaliknya. Satu tahun di kampus yang sama, di kelas yang sama. Akhirnya di tahun kedua kami kuliah, kami kembali bertemu dalam kelas yang sama. Setelah ini tidak aka nada lagi pertukaran siswa/siswi, mulai sekarang hingga lulus kami akan terus dalam kelas yang sama.

                Meski aku dan dia hampir tidak pernah saling bicara, tapi entah mengapa kami selalu mendapat panggilan ke depan kelas setiap mata kuliah. Entah itu untuk menuliskan sesuatu materi atau menjelaskan sesuatu materi. Begitu saja aku sudah merasa senang, aku tidak meminta lebih darinya untuk bisa menjadi kekasihku. Aku sudah memilih untuk hanya mengaguminya saja.

                “Dana, kita udah tingkat dual oh!” ucap Yuna mengagetkan lamunanku.
                “Oh, iya. Terus?” tanyaku tanpa ekspresi.
                “Yaa, kapan lo mau coba lebih deket sama Riyu?” jawab Yuna.
                “Gue gak tau. Gue akan tetep seperti dulu aja, duduk di belakang memandangnya tanpa dia tau perasaan gue. Begitu juga gue ngerasa lebih tenang.” Jelas ku dengan nada lemas namun yakin.
            “Hmm, iya udah kalau itu pilihan lo. Berarti perasaan lo harus tetep di tempat atau lo kurangin supaya lebih aman.” Ucap Yuna sok bijak.
            “Hahaha, apa sih lo? Iya udah gue batesin ko biar ga keluar. Haha..” jawabku sedikit bercanda. Kami pun hanya tertawa-tawa tak jelas.

                Sekarang kelasku berubah, ada yang berpindah ke kelas lain dan ada yang dari kelas lain masuk ke kelasku. Semua itu karena hasil nilai IPK kami. Aku bersyukur tetap di kelas yang sama, kelas pertama, dan tentu aku juga bersyukur bisa sekelas lagi dengan Riyu.
_***_

Dua bulan sudah kami belajar di tingkat dua ini. Aku heran, mengapa aku begitu santai dalam kuliah. Entah karena jurusanku Perfilman yang tak begitu sulit atau karena aku yang menyepelekan. Sudahlah, yang penting aku akan terus semangat pergi kuliah.

                Pagi ini, mata kuliah pertama. Aku menyadari ada seseorang yang lain yang berusaha mendekati Riyu. Aku perhatikan perempuan itu adalah Lisa, saat tingkat satu dia berada di kelas ke-3. Benar saja, mereka begitu dekat dan akrab. Aku merasa sedikit kesal melihatnya. Aku merasa semua tidak adil, aku yang sudah menyukai Riyu dari tingkat satu tapi mengapa Lisa yang baru kenal bisa langsung seakrab itu? Mungkin aku kesal pada diriku sendiri lebih tepatnya.
              
           “Yuna! lo suka merhatiin Lisa sama Riyu gak sih? Kenapa mereka bisa sedeket itu? Emangnya mereka temenan waktu tingkat satu?” tanyaku bertubi-tubi.
                “Aduh, iya gue merhatiin kok. Sabar ya Dan, tapi gue gak tau mereka itu dulunya temenan atau enggak.” Jawab Yuna.
                “Ya udahlah, gak apa-apa.” Balasku.
                “Gue bilang juga apa. Harusnya dari dulu lo deketin Riyu, anggep aja dia temen biasa kaya yang lainnya.” Jelas Yuna.
            “Gak bisa Yun, kalau ada perasaan ya pasti gak bisa biasa aja. Lo juga begitu kan sama Rama, nyapa aja gak berani lo. Mending gue kemana-mana masih bisa nyapa dia.” Jawabku tak mau kalah.
                “Ih, lo mah ngebalesnya begitu! Iya deh iya.” Jawab Yuna kesal.

Aku selalu memperhatikan Riyu dan Lisa begitu akrab, sampai aku mengambil kesimpulan sendiri bahwa Lisa menyukai Riyu. Tapi Riyu cowok yang baik, dia bergaul dengan siapa saja itu wajar. Hingga suatu ketika di mana perasaanku itu semakin naik dan turun bukannya berkurang.

                Saat kelompokku akan melakukan presentasi di depan kelas, aku menyadari Riyu yang biasanya selalu duduk dengan teman-temannya di belakang kini ada di bangku paling depan. Aku melihatnya dengan dalam karena ruangan sedikit gelap yang akan digunakan untuk menggunakan sejenis Infokus. Aku tersadar bahwa dia ternyata menatapiku juga, aku langsung membuang muka kea rah lain. Kenapa? Kenapa hatiku berdegup kencang? Aku akan melakukan presentasi jadi tidak boleh gugup. Sampai presentasiku dan kelompokku selesai dia tak beranjak dari bangkunya, meskipun sesekali aku meliriknya saat dia terkantuk-kantuk. Aku tertawa sedikit melihatnya, apa yang dia lakukan? Kalau tau dirinya tengah mengantuk lalu kenapa dia duduk di bangku paling depan? Seharusnya di belakang dan semua siswa pasti tau strategi itu.

                Minggu berikutnya kelompok lain yang presentasi, aku mencari-cari Riyu. Ternyata dia duduk di bangku belakang, padahal yang presentasi itu adalah salah satu temannya. Pertama aku merasa itu hanya kebetulan. Lalu minggu berikutnya lagi pun dia tetap duduk di bangku belakang, kemudian kelompok dialah yang berikutnya presentasi.

                Saat itu, aku benar-benar tidak tahu bahwa kelompok dialah yang maju berikutnya. Aku sedang duduk di bangku paling depan dan berbincang sebentar dengan Yuna. tiba-tiba saja Riyu duduk tepat di depanku, karena di situlah letak Infokus berada. Tapi, saat aku menoleh padanya, dengan cepat dia membalikan badannya untuk melihatku, dia tersenyum sangat-sangat lebar seolah seketika itu dia dapat membaca perasaanku yang sudah ada sejak tahun lalu. Aku begitu terkejut, senyumku kaku membalasnya, entahlah mungkin aku tampak terlihat bodoh saat itu.

                “Kenapa Riyu? Kok senyam senyum?” tanyaku akhirnya dengan nada sedikit parau. Semoga saja dia tidak mendengar detak jantungku yang bergemuruh.

                “Enggak ko. Gak apa-apa cuma pengen senyum aja.” Jawab Riyu yang masih tersenyum padaku.

                Aku hanya mampu menjawab ‘Oh’ saja. Begitulah, aku ingin sekali banyak bicara dengannya namun aku merasa ada sesuatu yang menahanku. Sesungguhnya aku tidak tahan untuk tersenyum lebar jika Riyu yang melakukan itu padaku. Aku langsung membalikkan badan. Kututupi mukaku dengan binder untuk bisa tersenyum lebar tanpa diketahui Riyu.
   
             Yah, begitulah hari-hariku selama setahun belakangan hingga saat ini. semua senyum itu, perasaan itu, debar jantung itu aku anggap hanya kesenangan pribadi saja di kampus. Aku terlalu takut untuk berjalan lebih jauh padanya.
_***_


                “Dana, gue punya Hot News!” ucap Jeje melalui handphone. Ya, dia slah satu teman baikku yang dulu satu kelas namun kini dia masuk kelas Sarjana Magister di kampus yang sama namun beda wilayah.
                “Apaan Je?” aku sungguh penasaran jika ada Hot News.
                “Gue denger dari temennya Riyu yang satu kelas gue.” Ucapnya.
                “Terus?” tanyaku.
                “Hmm, menurut lo siapa yang suka sama Riyu?” Jeje balik bertanya padaku.
                “Lisa. Soalnya mereka deket banget, akrab banget deh. Kenapa? Jangan-jangan Lisa bener suka sama Riyu?” tanyaku semakin penasaran, hatiku berdegup.
                “Bukan! Tapi Nissa. Dia itu dulu mantan gue. Nyangka gak lo?” jawab Jeje santai.
                “WHAT?? Nissa? Tapi dia gak begitu deket. Iya gue gak nyangka lah. Oh, gue baru tau dia itu mantan lo.”
             “Iya, mana ada sih cewek yang terang-terangan berani ngedeketin orang yang disukain begitu. Justru Lisa itu malah sukanya sama Rama.”
            “Apa? Rama? Ya ampun, semua ini gak kebayang sama gue sama sekali. Tapi tetep nyambung sih, ya ampun kenapa pada cinlok gitu sih?”
                “Yah gak tau gue juga, gue cuman denger segitu doang. Udah ya Cuma pengen infoin itu aja kok. Haha.” Ucap Jeje tertawa.
                “Ah elu, seneng banget sih. Gue merana ini, kenapa mereka bisa deket sedangkan gue yang udah setahun mendem rasa gak bisa.” Jawabku kesal.
              “Makanya, berani dong ngobrol doang apa susahnya sih? Tapi jangan sampe lo yang nembak duluan.” Jelas Jeje.
                “Ya iyalah, mana mungkin gue yang nembak duluan!” jawabku tak terima.
                “Eh, tapi lebih baik lo udahan aja deh. Temenan aja biasa jangan suka. Lo tau kan kenapa?”
                “Iya gue tau, karena dia beda keyakinan kan sama gue? Gue juga udah ngebatesin dari awal Cuma sekedar mengagumi.”
                “Iya. Sabar ya, udah cari aja yang lain!”
              “Enak banget sih lo ngomongnya! Ini perasaan woy! Haha, parah lo mah. Gue lagi berusaha ngebuang rasa ini pelan-pelan.”
                “Yaudah, inget jangan sampe lo ngedeketin dia lebih jauh lagi!”
                “Iye! Semoga aja gue bisa.”
Telfon pun terputus setelah saling mengucapkan salam.

                Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan setelah ini? hati ini rasanya sakit, tapi air matapun tak sanggup keluar.
_***_


Sebentar lagi bulan terakhir di tahun ini. aku tak ingin terus merasa penasaran. Aku putuskan untuk berani bertanya pada Eri, teman dekat Riyu yang satu kelas juga denganku. Saat mata kuliah pertama berakhir, aku mencoba bicara pada Eri.

              “Eri. Gue boleh nanya gak sama lo? Sebentar aja kok, jangan keluar dulu.” Ucapku menahan Eri yang akan segera keluar kelas.
                “Oh, boleh kok. Nanya apa Dan?” jawab Eri lembut.
               “Mmm, Riyu. Apa dia masih ngarepin mantannya yang dulu atau mungkin dia sekarang lagi punya cewek?” awalnya aku hanya ingin berbasa-basi, tapi aku tak tahan.
                “Oh, enggak kok. Dia udah gak mikirin mantannya itu lagi kok. Tapi yang deket sih ada.”
                “Siapa? Di kelas ini ada gitu?”
                “Enggak, di sekolah agamanya. Mereka udah saling nyatain rasa sebenernya tapi ceweknya itu udah punya cowok jadi mereka lagi bingung. Tapi mereka masih suka kontekan kok.”
                “Ouh, gitu. Cewek itu satu keyakinan sama Riyu?”
                “Iya. Tapi gue pernah tanya ke dia. Gimana  kalau ada cewek yang suka sama dia tapi beda keyakinan, apa dia mau? Katanya mau aja kalau si Riyunya juga suka. Kalau udah jodoh ya gak apa-apa katanya.”
                “Oh, gitu. Oke deh makasih ya Eri.”
                “Iya sama-sama. Lo suka ya sama Riyu?”
                “Ah, enggak. Cuma tanya aja kok.” Aku panik.
           “Gak apa-apa kok. Gue juga tau kok, kalau gak salah inget waktu di tingkat satu lo juga pernah kan tanyain tentang dia?”
                “Mmm, iya ya. Gue lupa. Haha.. tapi tolong jangan bilang Riyu ya.”
                “Oke! Gue keluar duluan ya Dan.”
                “Oh, iya. Bye!”

Aku terdiam sejenak. Aku rasa sedetikpun Riyu tidak akan pernah menyadariku. Aku tidak masalah dengan itu tapi ada sedikit rasa sedih di hatiku.
                “Udah Dan, sabar ya. Kembali ke keputusan lo aja, anggap ini semua Cuma hiburan selama di kampus.” Ucap Yuna menghiburku.
                “Iya. Gue putusin, akan kembali mundur. Gue hampir aja melewati garis batas gue senidri.” Jawabku pasrah.
             
            Ya, aku akan kembali duduk di bangku belakang untuk melihat senyumnya tanpa dia ketahui seperti dulu. Aku tidak akan melewati garis batasku sendiri.
_***_


Sejak akhir bulan kemarin, aku sudah tidak pernah memperhatikan Riyu lagi. Tapi Riyu terkadang mendekatiku dan berusaha bercanda denganku. Baiklah aku terima itu semua, aku ikuti permainannya, tapi tidak untuk menumbuhkan rasa itu lagi. Riyu lebih sering tersenyum padaku daripada sebelumnya. Tapi aku biarkan saja semua itu mengalir tanpa membuat rasa ku kembali melangkah maju.

                Pertengahan bulan ini kami sekelas berencana pergi bermain ke Pulau Seribu di Jakarta. Kelasku tidak semuanya ikut pergi, jadi dari kelas lain pun ikut pergi bersama. Kami semua berkumpul kembali.

                Kami berangkat dengan menggunakan kereka, disambung dengan busway, lalu menaiki kapal menuju pulau tersebut. Tak ada kejadian yang menarik antara aku dan Riyu saat itu, karena Nissa terus saja mendekati Riyu, mencari perhatiannya. Kemana-mana selalu bersama Riyu, bagaimana aku punya kesempatan? Aku merasa sedih, sedikit saja aku juga ingin bisa dekat dengan Riyu.

                Akhirnya ketika bermain di pulau itu, aku selalu menghindari Riyu. Saat dia duduk di sampingku, aku berusaha tak memperdulikannya, saat kita tak sengaja berjalan berdampingan, aku menghindar sedikit menjauh. Aku hanya ingin tahu, apakah ini yang diinginkan Riyu? Aku akan menjauh darinya.

                “Dana, tuh Riyu. Samperin sana! Mumpung lagi sendiri duduk di pinggir pantai.” Ucap Yuna menunjuk Riyu yang baru saja duduk di atas pasir putih halus menghadap laut.
                “Enggak ah, gue malu. Gue harus ngomong apa nanti?” jawabku dengan hati yang sedikit berdegup.
                “Yaudah, coba aja dulu jalan ke sana. Siapa tau dia ngajak lo ngobrol atau duduk bareng.” Ucap Yuna menggoda.
                “Hmm, oke. Gue coba, hehe. Deg-degan gue.” Aku pun beranjak perlahan menghampiri Riyu dari belakang.

Tapi,,,
                Langkahku terhenti beberapa meter darinya. Sosok perempuan dengan celana pendek, rambut bergelombang menghampirinya. Ya, itu Nissa. Aku lihat dia masih berdiri di samping Riyu yang sedang duduk. Nissa sepertinya menanyakan sesuatu, aku tak dapat mendengarnya karena angin laut. Lalau Riyu mengangguk dan tersenyum berkata sesuatu. Nissa pun duduk di sampingnya, mereka terlihat mengobrol dan tertawa bersama.

                Aku masih berdiri di tempat yang sama, ku sentuh dadaku yang terasa sesak. Semakin sesak, air mataku menetes perlahan membasahi pipiku. Aku terjongkok semakin lama melihat mereka, sakit sekali. Sungguh aku ingin yang di samping Riyu itu adalah aku bukan Nissa. Mengapa aku tidak pernah diberi kesempatan? Apa mungkin akulah yang salah. Ya, akulah yang salah.
                “Dana, ayo berdiri. Yuk kita kembali aja ke cottage.” Ajak Yuna yang sedari tadi memperhatikan semuanya dan menghampiriku untuk membantuku berdiri dan menenangkan hatiku.
_***_


                “Gimana? Udah gak apa-apa?” tanya Yuna dan Chelin bersamaan saat air mataku berhenti.
                “Iya, udah gak apa-apa kok. Makasih ya.” Jawabku tersenyum.
               “Udah lah, lo gak bisa nyalahin Riyu atau pun Nissa kan? Lo sendiri gak berusaha apapun untuk dekat dengan Riyu. Bukannya lo udah memilih untuk hanya duduk diam?” ucap Chelin mulai menasihati. Memang dialah yang lebih dewasa di antara aku, dan Yuna.
                “Iya, lo bener. Gue gak berhak apapun, tapi gue pikir Riyu sudah tahu bahwa aku menaruh rasa padanya. Yah, entahlah mungkin aku yang terlalu pede.” Jawabku pelan.
                “Sssst, yang diomongin datang tuh.” Ucap Yuna menunjuk arah pintu depan.

Kami semua diam, sekilas aku melirik Riyu dan Nissa yang masuk berbarengan. Aku tahu Nissa cewek yang lebih berani mendekatkan diri dengan orang yang disukainya. Lalu, tak sengaja mataku dan Riyu bertemu. Dengan cepat aku membuang pandanganku ke arah televisi di belakangku. Riyu pun berlalu menuju ruang makan menghampiri teman-temannya.
  
                  “Dan!” ucap Riyu yang tiba-tiba saja duduk di sampingku, sungguh aku terkejut.
                  “Ada apa?” aneh, tiba-tiba dia bertanya seperti itu padaku.
                  “Mmm, gak apa-apa. Kenapa?” jawabku sedikit lemas.
         “Kok tiba-tiba lesu? Kenapa hayoo!” Riyu menyenggol lenganku, mungkin berusaha menghibur.
                “Gak apa-apa Riyu! Tuh Nissa pengen ngobrol lagi kali sama lo.” Ucapku sedikit kesal, bodoh sekali. Riyu menoleh mencari-cari Nissa.
                   “Mana gak ada Nissanya?” jawab Riyu bercanda.
         “Oh, ya carilah!” jawabku semakin kesal. Aku pun bangkit dari duduk. Aku pergi meninggalkannya yang terheran-heran melihatku. Aku pergi ke kamarku untuk beres-beres karena hari sudah hampir senja, waktunya kami pulang.
_***_


              “Ayo! Semuanya kumpul di dekat kapal yang tadi!” teriak Rama sebagai ketua kelas yang bertanggung jawab mengurus semua anggotanya.
                “Ma, udah komplit nih anak-anaknya. Langsung jalan aja.” Ucap Riyu.
                “Oke! Ayo semuanya duluan, gue di belakang supaya gak ada yang tertinggal.” Ucap Rama mengarahkan teman-temannya.
                “Cieee, pasti semakin suka deh. Rama bertanggung jawab banget kan?” bisikku pada Yuna.
                “Apaan sih Dan? Iya sih, gue gitu loh yang suka.” Balas Yuna semakin terbang perasaanya.
                “Haha, iya sih. Sedangkan gue salah menyukai orang.” Balasku jadi lemas
           “Udah deh, jangan lemes gitu. Suka itu boleh kok sama siapa aja, sekalipun berbeda keyakinan. Asalkan jangan melebihi.”
                “Tumben lo bener? Haha”

Akhirnya kami semua sampai di depan kapal yang akan kami naiki untuk pulang. Tapi berhubung hari semakin senja, semakin terlihat matahari akan terbenam di ujung laut. Rama memutuskan untuk mengundur waktu sebentar untuk melihat matahari terbenam sebelum kembali pulang.

                Kami pun kembali berhamburan mencari tempat yang enak untuk melihatnya. Ada yang duduk di pasir ada yang menyender phon kelapa, ada yang duduk di atas kap kapal, ada pula yang berdiri. Aku dan teman-temanku lebih memilih berdiri.

               Aku merasa damai melihatnya, indah sekali. Sekitar lima menit lagi matahari benar-benar akan terbenam. Lalu aku sadar ini begitu sepi dan sunyi, aku lihat ke sebelah kiriku, teman-temanku sudah berada di belakang. Aku pun menoleh kea rah kanan.
                “Ya ampun! Kenapa lo ngagetin gue Riyu?” ucapku terkejut melihatnya sudah ada di sampingku.
                “Emang gue hantu. Ga segitunya kali lo kaget.” Jawab Riyu masih melihat matahari terbenam itu.
                “Terus lo ngapain disini?” tanyaku sembari menoleh sana-sini. Anak-naka lain masih di tempatnya seolah terhanyut dengan matahri terbenam, dan teman-temanku tentu mereka senyum-senyum melihatku. Tak ada yang tahu aku sedang berdiri berdampingan dengan Riyu kecuali teman-temanku.
              “Emang kenapa? Gak boleh ya gue berdiri disini? Di samping lo?” jawab Riyu kemudian membalikkan badannya ke arahku dengan senyum.
                “Ya, boleh. Tapi gue rasa Nissa lebih seneng.” Jawabku cuek.
                “Kenapa harus Nissa kalau gue lebih nyaman di samping lo?” tanya Riyu. Pancaran sunset ini membuat mata dan wajah Riyu bercahaya.
                “Gue gak ngerti.” Jawabku heran. Lalu Riyu menggenggam kedua tanganku.
              “Gue tau kok tentang perasaan lo, gak perlu lo tutupin lagi. Cuma dengan tatapan lo, senyum lo, cara ngomong lo ke gue itu udah beda.” Jelas Riyu.
            “Kok lo pede banget sih?” tanyaku tanpa memikirkan perasaannya, apa yang kau lakukan Dana?!
              “Haha,, gue gak akan sepede ini kalau gue gak yakin sama lo Dana. Meskipun ternyata gue salah, yaudah gue yang bakal berusaha untuk membenarkannya.” Jawab Riyu sedikit malu.
             “Mmmm…. Tapi, gue gak minta apa-apa dari lo Yu sungguh. Maaf kalau lo gak nyaman. Gue udah berusaha untuk tetap duduk di belakang lo.” Jawabku.
              “Gue seneng ko, seneng banget begitu sadar kalau lo punya rasa yang beda untuk gue. Kalau gue gak kepedean begini gue gak akan pernah tau itu semua benar atau hanya gue yang kepedean.”
                “Oh, ngeselin banget lo. Jadi sekarang lo cuma pengen tau? Ah, lupain deh semuanya!” aku kesal dan malu. Kutarik kedua tanganku darinya, tapi dia menahannya.

Aku tak sadar dia sudah memelukku erat, begitu cepat saat dia menarik kedua lenganku tadi. Aku terdiam tak tahu harus melakukan apa. Pelukannya sungguh hangat, berlangsung perlahan dengan hilangnya matahari dari pandangan.

                Riyu melepaskan pelukannya dan tersenyum memintaku untuk tetap di sisinya, aku merasa kupingku salah dengar.

                “Apa? Apa?” aku benar-benar tak percaya.
               “Dana, lo emang gak pernah tau gue selalu merhatiin lo diam-diam sama halnya lo mandang gue diam-diam dari balik layar. Ternyata cara lo itu benar, dengan gue mengikuti cara lo, gue bisa ngeliat uniknya diri lo yang bisa buat gue senyum-senyum sendiri.” Jelas Riyu.
              “Jadi, gak cuma gue yang berjuang dan menahan semua ini?” tanyaku memastikan bahwa cintaku, usahaku tidaklah bertepuk sebelah tangan.
                “Iya, lo hebat udah nyadarin gue tanpa lo ngedeketin gue kaya Nissa. Lo itu sesuatu banget. Haha...” Ucap Riyu tertawa dan mengelus kepalaku lembut.
                “Woy, semuanya udahan sunsetnya nih. Ayo balik, semua ngantri ya satu-satu naik kapal!” teriakkan Rama membuat kami semua tersadar. Semua pun mulai mengantri, aku lihat Nissa memandangi aku dan Riyu dengan kesal.
                “Jadi?” tanya Riyu sebelum kami beranjak.
                “Gak perlu lo tanya kali Yu. Iya gue mau.” Jawabku singkat, padat, dan jelas.

Aku lega, rasa yang terpendam selama setahun ini berbuah sangat-sangat manis. Apa yang ku bayangkan sudah bisa terjadi. Kami tertawa bersama, kami bergandeng tangan bersama, kami tersenyum bersama, dan kami selalu bersama. Dia memang tak dapat ditebak jalan pikiran dan hatinya, tiba-tiba saja sudah menjdai miliku.

                Satu lagi, selama di kapal Nissa terus saja mendekatkan diri dengan Riyu. Tapi Riyu terus saja mendekatkan diri denganku. Sampai di saat aku berada di luar untuk melihat pemandangan, Nissa menghampiriku dan menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan Riyu. Tentu saja aku tak menjawab, lalu Riyu menghampiriku. Dia meraih tanganku, dan berkata,,,
                “Sayaaang, ayo ke dalem! Nanti kamu masuk angin.” Ucap Riyu manja.
                “Loh, Riyu! Maksudnya?” tanya Nissa terheran-heran.
                “Sorry Nis, jangan ganggu gue mulu ya. Gue tuh gerah!” jawab Riyu beranjak pergi dengan menarik tanganku meninggalkan Nissa sendiri.


Yup, aku lihat mukanya yang kesal dan tak karuan. Hihi, maaf ya Nissa. Gue yang lebih dulu menyukai Riyu, wajar kan kalau gue yang ngedapetin dia juga? Semua cewek yang selama ini dekat dengan Riyu mungkin hanyalah saingan yang hanya lewat saja kok. Karena Riyu untukku, harus untukku. J

By: Tantan :)