Senin, 13 Juni 2016

Sebuah Puisi

 Lenyap



Kau seperti api,
Panasnya menghangatkan dan kobarannya menyemangati.
Tapi juga,
Sentuhanmu sangat menyakiti.

Aku menangisi kesakitanku hingga kau padam karena derasnya air mataku.
Kau menghilang, pergi dan tak kembali.
Aku, masih ingin disini.
Masih ingin kau yang menghangatkanku.

Jika kau tak suka tangisanku,
Lalu untuk apa air mata tercipta?
Jika kau tak suka ledakanku,
Lalu untuk apa emosi tercipta?
Jika kau tak ingin ada di hadapanku,
Lalu untuk apa kau berwujud di hadapanku?

Kau lenyap hanya karena kutumpahkan seluruh air mataku saat kau terlalu membara.
Dan kau tinggalkan asapmu, ya hanya asap.
Asap yang berterbangan memencar di sekeliling-ku.
Tak bisa kumusnahkan, tak bisa ku siram dengan air, tak bisa kubersihkan.

Apakah tak ada niatanmu untuk lebih membakarku?
Sudah cukupkah?
Teruslah bakar aku! Bakarlah hingga kau menjadi kobaran yang lebih buas!
Bakarlah aku sampai tak bersisa,
Agar kau dengan bangganya mampu menarik perhatian yang kau anggap mengagumi keindahan kobaranmu.

Aku ingin menyerah.
Aku ingin berjalan menjauh tapi asapmu terus membuntutiku.
Aku ingin berhenti dan membuatmu kembali hadir tapi tak kutemukan sesuatu untuk dapat menghasilkan api.

Bakar sajalah aku! Agar tak ada lagi aku yang selalu meledak dan menderaikan air mata hanya untukmu.
Ya, hanya untukmu supaya kobaranmu tetap stabil.
Tapi, kau tak tahu itu kan?
Bakarlah aku! Berkobarlah hingga kau pun mati ditelan kobaran buasmu sendiri.

By: Tantan :)

Kamis, 02 Juni 2016

Merry (38)




“Uwaaah! Aku terlambat! Jam berapa ini?” teriak Merry yang masih terduduk di atas kasurnya. Dengan cekatan dia melihat jam di atas meja sebelah tempat tidurnya, terkejut bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.

            “Tidak, tidak, tidak. Aku ada rapat jam delapan pagi. Rapat pertamaku. Aku harus cepat!” ucapnya sembari lompat dari atas kasurnya berlari kesana kemari mencari handuk dan meluncur masuk kamar mandi yang berada dalam kamarnya. Berhubung dia memang tinggal sendiri di kontrakan yang tak begitu luas.

10 menit kemudian….
   
        “Oke oke, jangan terburu-buru Merry. Hufft, mandi secepat ini membuatku tak pede sebenarnya. Tak apalah orang kan tak tahu, toh aku sedang terburu-buru.” Ucap Merry pada dirinya sendiri di dalam cermin.

Dengan kecepatan penuh dia berusaha berpakaian, dandan, dan mengunyah roti tawar tanpa isi secara berbarengan. Akhirnya dia hanya menggulung rambutnya yang panjang hanya sebahu itu menjadi konde ala-ala wanita jepang yang ditusuk-tusuk dengan sumpit. Lebih tepatnya tusuk konde.

            “Oh tidak sudah setengah delapan lebih lima menit!” teriaknya melirik jam di tangannya yang mungil itu. Semua sudah rapih, kemeja putih yang dilapisi blazer hitam dan rok se-lutut yang juga berwarna hitam telah rapih seperti orang kantoran. Tak lupa tambahan celana olahraga gombrang hitam miliknya saat di SMA dulu dipakainya sebagai dalaman rok pendeknya. Bertujuan untuk mempermudah mengendarai motor mungilnya. Tinggal memakai sepatu angkle-boots hitam yang sedikit berhak tercinta miliknya.

Dengan sigap dia menyambar kunci motor yang menggantung di sebelah pintunya. Kemudian mengunci pintu dan siap mengeluarkan motor matik mungilnya dari depan kamar kontrakannya.
        “Akh! Ayolah nak nyalaaaaa!!!” sayangnya berkali-kali distarter, motor mungilnya tak jua menyala. Terlihat meteran bensinnya sudah diambang sekarat.
            “Oh bagus! Semalam habis keliling bersama teman-teman kantor lupa mengisi bensin.” Ucap Merry menepuk jidatnya. Dia berpikir dan berpikir. Waktu pun terus berjalan.

Lari… Merry memutuskan untuk berlari menuju halte busway terdekat dari kontrakannya. Sekitar seratus meter jauhnya.

            “Bagus! Aku harus berlari pagi ini dengan hak lima centimeter-ku dan membawa semua berkas-berkas rapat. Rapat pertamaku sejak aku masuk kantor. Hal sial apalagi yang harus aku dapatkan setelah ini?” gerutu Merry sembari mengatur nafasnya yang terengah-engah sesampainya di halte busway.

            Jam menunjukkan pukul delapan kurang 20 menit. Merry merasa khawatir, raut wajahnya mengkerut dan sedikit berkeringat. Memang menggunakan angkutan umum ini hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk sampai ke kantornya. Seandainya motornya tidak bermasalah dia masih bisa mengendarainnya dengan santai, tapi butuh waktu sekitar 30 menit belum lagi harus menghadapi macet.

            Terlihat bus yang akan dinaikinya akan sampai dari kejauhan, bus ini ada dua pintu. Setibanya bus itu langsung diserbu oleh orang-orang yang antri di belakang Merry. Dia pun terdorong-dorong masuk ke dalam. Semakin kesal hatinya. Dia pun terjebak di tengah, dan mendapati masih ada satu kursi kosong di hadapannya. Dengan segera dia berusaha menempatinya.

        “Aw!” pekik Merry karena tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang juga ingin menempati kursi itu.
            “Sorry, silahkan duduk aja.” Ucapnya mempersilahkan Merry dengan lembut. Merry hanya membalasnya dengan senyuman.

            “Ah, akhirnya dapat tempat duduk. Lumayan, kasihan kakikku sedari tadi berlari.” Ucap Merry dalam hatinya. Lima menit berlalu, rasa kantuk mulai menyerang karena dia terbangun tiba-tiba dan kelelahan. Lambat laun kesadarannya hilang dan hanya tinggal gelap. Merry pun tertidur.

            Seorang pria yang tadi ada di hadapannya hanya memperhatikkan Merry yang tertidur, terkadang dia membuat senyum di bibirnya. Terkadang dia memperhatikan jalan dari balik jendela yang ada di balik kursi Merry. Terkadang dia mendengarkan dengan seksama announcer bicara, berharap tujuannya tidak terlewat.

Halte Bundaran Senayan!

Terdengan announcer kembali mengingatkan halte yang sebentar lagi akan disinggahi.
            “Ah, sudah sampai. Aku haru siap-siap turun.” Ucap pria tadi. Tapi sebelum melangkah dia berhenti sejenak melirik Merry yang masih tertidur.

Pintu akan tertutup, mohon berhati-hati.

            Pria itu akhirnya hanya tersenyum, entah apa yang dia lakukan. Dia pun duduk di samping Merry, berhubung sudah banyak penumpang yang turun di halte sebelumnya.

            Baru saja duduk, kepala Merry terjatuh. Pas sekali jatuh di atas pundaknya. Dia pun bernafas lega, dia takut kepala Merry akan terbentur. Secara tak sadar tangannya menggenggam tangan Merry perlahan. Sebenarnya dia berusaha membangunkan Merry karena takut tujuannya terlewat. Tapi, ada gerakan dari Merry, pria itu langsung melepaskan genggamannya dan berpura-pura tak melihat apapun, tak melakukan apapun. Uratnya tegang, tangannya dingin, dan air keringat sedikit mengucur dari dahinya.

           “Hmm.. ada apa mas?” Tanya Merry sedikit bingung.
          “Oh, engga ada apa-apa. Kenapa? Apa sudah mau turun?” jawab pria itu seolah tak terjadi apa-apa.
        “Hah? Ini udha sampai mana ya? Jam berapa ini? Dimana ini? Dimanaaa?” Tanya Merry bertubi-tubi pada pria itu, sembari tengok sana-sini dan mencari jam tangannya yang masih menempel di tangan mungilnya itu.
           “Ini baru mau masuk halte Masjid Agung. Emang kamu turun dimana? Kelewatan ya?” ucap pria itu sedikit khawatir.
            “Oh, untung saja. Belum sih, saya turun di halte blok M. kantor saya di dekat situ. Ya ampun, delapan menit lagi! Apa masih sempat ya?” ucap Merry khawatir.
            “Tenang saja, dari sini ke blok M itu Cuma lima menit. Kan haltenya deketan.” Ucap pria itu berusaha menenangkan. Merry hanya memandangnya dan langsung menunduk.
          “Ini cowok bukan tipe gue sih tapi cakep. Ngomongnya pelan lagi. Tadi juga dia megang tangan gue ya? Iyakah? Masa? Ah gak mungkin. Tapi masih berasa ko dinginnya. Akh! Ini semua gara-gara gue ketiduran!” batin Merry berusaha menenangkan dirinya.

Pria itu tidak manis hanya cakep, gak ganteng juga hanya cakep. Kulitnya putih, matanya bersinar, rambutnya hitam sedikit pirang, tubuhnya paslah tak begitu tinggi, tapi tangannya terlihat kokoh. Ditambah, senyumnya manis, ya hanya senyumnya.

            “Kenapa? Pusing ya tadi kebangun tiba-tiba?” Tanya pria tadi.
            “Ah, engga ko. Hehe..” ya, sayangnya Merry tak bisa menutupi rasa senangnya. Senyum yang ditahan itu membuat pria tadi tertawa.
            “Kenapa ketawa?” Tanya Merry merasa malu.

Halte Blok M…

Sebelum pria tadi sempat menjawab, Merry sudah berdiri siap untuk berlari setelah keluar dari bus ini. Berharap bisa sampai kantornya tepat waktu. Pria tadi ikut berdiri, dan berusaha mengejar Merry yang ingin keluar.

          “Hei!” teriak pria tadi dari dalam bus memanggil Merry yang sudah jauh di luar. Merry berhenti dan menengok ke sumber suara.
            “Jangan lupa celananya!” teriak pria itu lagi sebelum pintu bus tertutup.

Merry langsung melihat ke bawah, dan didapatinya masih menggunakan celana olahraga.
            “Ah, ya aku lupa melepasnya. Duh, pantas saja daritadi orang-orang aneh melihatku.” Dia pun kembali berlari menuju kantornya, dan sesampainya disana dia melepas celana olahraganya.
Jam menunjukkan pukul delapan pas, dia merapihkan pakaian dan rambutnya sembari masuk ke runagan rapat.
_***_


Merry melihat jam di tangannya. Sudah pukul lima sore. Jalanan begitu padat, banyak suara klakson kendaraan dimana-mana.
       
     “Hhhhhh….” Merry hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang. Rambutnya yang sudah tergerai, berkas-berkas sisa rapat di tangan kanannya, celana olahraga di tangan kirinya. Mukanya pun sudah lusuh seperti habis berperang mati-matian.
          “Merry, jangan gitu ah! Muka lu harus senyum dikit. Kan rapat pertama lu berhasil lulus dengan lancar. Sini-sini gue segerin.” Ucap Yeni menghadapkan muka Merry untuk melihatnya.

Pussshhh…. Pussshh…
            “Ih, apaan itu? Lu nyemprot gue?” Tanya Merry seolah baru bangun dari tidur panjangnya. 
          “Haha.. Bukan! Ini tuh spray untuk wajah, jadi aman. Ini bisa bikin wajah lu segeran lagi.” Jelas Yeni.
            “Ooh, oke. Makasih Yen. Hehe” balas Merry merasa segaran.
            “Yaudah, gue duluan ya! Byee..” teriak Merry dari dalam bus melambai pada Yeni.

Merry kembali menaiki bus dari halte busway untuk pulang, sedangkan Yeni hanya mengantar saja.
Bus trans ini sepi kalau sudah pukul setengah enam, mungkin hanya kebetulan. Merry dengan santainya terkapar di atas kursi. Seolah tak pernah duduk berapa hari.

       “Yah, lupakan hari yang menyebalkan ini. Eh tidak, ada sesuatu yang manis mengisinya jadi gak sebel-sebel amat sih gue.” Batin Merry. 
       “Ngomong-ngomong, orang tadi siapa ya, darimana, mau kemana?” Tanya Merry dalam hatinya. Dia masih merasakan genggaman orang tadi. Dia terus memperhatikan kedua telapak tangannya.

Tiba-tiba ada tangan yang menghampirinya, menggenggamnya lagi. Merry terkejut dan mendongak ke atas kepalanya berusaha menemukan siapa pemilik tangan ini.
            “Hai!” ucap pria itu tersenyum pada Merry.
            “Kamu?” Merry masih bingung.
            “Namaku Rendy.” Ucapnya pelan sembari duduk di samping Merry.
            “Merry.” Jawab Merry yang masih terpana dengan kejadian ini.
            “Salam kenal Merry. Sejak pertama bertemu tadi aku belum menyukaimu,-“
“Apa?” Merry seolah tersadar.
“Tapi, sejak menggenggam tanganmu tadi pagi aku telah menyukaimu.” Lanjut Rendy.
“Apa?” Tanya Merry lagi.
“Dan sekarang aku telah mencintaimu.”
“Ha?”

Rendy pun hanya tersenyum dan mereka terus mengobrol, entah apa yang diobrolkan. Terkadang membuat Merry ingin selalu tertawa, tapi juga membuat hati Merry berdegup kencang. Matanya terpana, Merry ingin mengenalnya lebih jauh.

          “Merry, jangan ketiduran lagi ya. Kalo gak ada aku nanti kamu diculik orang loh!” ucap Rendy mengejek.
        “Ih, jangan dong! Yaa gimana, aku emang suka tidur dimana aja selama tempat itu nyaman. Haha..” jawab Merry polos.
           “Kamu nyaman ada aku?” Tanya Rendy.
       “Eh?” Merry bingung harus menjawab apa. Tapi Rendy tahu jawabannya, dia pun menarik lengan Merry erat.
        “Udah sampe, ayo turun.” Ajak Rendy pada Merry yang mulai menarik bibirnya untuk membuat senyuman.


_Tamat_


By: Tantan :)