T
|
erlihat dua pemuda dan satu perempuan,
terseret ombak menuju tepi pantai. Mereka pingsan di hadapan pulau kecil yang
tak berpenghuni. Matahari sudah mulai terbenam, seolah meninggalkan mereka
begitu saja. Pakaian yang basah dan sedikit robek di kanan kiri, karena
benturan ombak dan karang.
Satu di
antaranya telah sadar dan mulai mengerjapkan matanya. Dengan kepala yang sakit
dan badan yang terasa berat, ia mencoba bangun dan duduk. Ia melihat kedua
temannya masih tertidur. Dia masih bingung apa yang terjadi, dia bangun dan
membalikan badan ke arah pulau. Terlihat pohon-pohon yang sangat lebat dengan
suara kicauan burung hutan. Tiba-tiba seorang perempuan, salah satu dari mereka
sudah bangun.
“Di mana
ini Fan?” tanya perempuan itu dengan memegang kepalanya yang pusing. Fandy,
pemuda yang bangun pertama kaget dan sadar apa yang terjadi.
“Kita
terdampar.” Satu kalimat yang membuat mereka tercengang. Seorang pemuda yang
terakhir bangun pun kaget, dan berkata.
“Di pulau
tak berpenghuni ini?” Deny, dengan jalan sedikit lemas.
“Dan ini
sudah malam.” Tambah Vika. Satu-atunya perempuan di anatara dua pemuda itu.
Semilir
angin pantai yang dingin telah menyambut mereka di pulau itu. membuat mereka
semakin panik dan khawatir. Mereka terdampar di pulau itu, karena badai yang
menenggelamkan kapal mereka saat sedang asik memancing bersama. Fandy, pemuda
tangguh, cakep, dan dewasa. Deny, pemuda kurus, tinggi, manis, dan tenang.
Vika, perempuan berambut cowok yang tomboy, manis, cakep, dan pantang menyerah.
Mereka adalah sahabat dari kecil, hingga kuliah seperti sekarang ini.
_***_
M
|
ereka masuk ke dalam hutan itu
perlahan. Hanya dengan lampu HP masing-masing. Akhirnya mereka menemukan sebuah
gua. Setelah mencari kehidupan di dalamnya, mereka membuat api unggun dan tidur
beralas rumput-rumput yang ditumpuk. Mereka jaga malam bergantian, udara begitu
dingin. Vika begitu kedinginan, Fandy menyelimuti Vika dengan kemeja
panjangnya. Dilapisi jaket tebal milik Deny.
Awalnya
mereka mau bertahan tanpa makan dan minum selayaknya, mereka berusaha tenang
dan berharap esok pagi menemukan kapal penolong. Fandy berusaha mencari sinyal
keluar gua. Sedangkan Deny menjaga Vika dengan tenang, ia asik bernyanyi merdu
supaya Vika tidur nyenyak.
“Sial! Ga
ada sinyal Den, di sini.” Bentak Fandy hampir membanting Hpnya.
“Terus?
Ya kita tunggu saja besok pagi.” Jawab Deny tenang. Fandy menarik nafas,
berusaha sabar dengan keadaan. Benar yang dikatakan Deny.
Sudah
lima hari mereka di pulau tak berpenghuni itu. Mereka bertahan dengan minum
dari air kelapa dan dagingnya yang putih manis pun dimakan. Mereka pun banyak
menemukan jamur dan dibakar di atas api unggun. Deny yang ahli menangkap
bururung di atas pohon hanya dengan karet, bisa makan daging burung setiap sore
bersama-sama. Vika pun membantu dengan menangkap ikan kecil di pinggir pantai.
Namun
itu hanya bertahan selama tiga hari. Hp mati dihari ke-dua, mereka lelah dihari
ke-tiga, mereka mulai mengeluh dan Vika menangis tak sanggup dihari ke-empat.
Hari ini mereka sudah di puncak kemarahan dan keputus asaan.
“Gue
laper! Gue pengen mandi air bersih!” teriak Vika yang sudah lusuh dan menahan
perih di perutnya.
“Gue
juga laper! Kalo saja kita tidak memancing di laut.” Ucap Deny sedikit emosi.
“Jadi
lo nyalahin gue? Gue yang ngajak kalian. Untuk apa lo ikut kalo lo Cuma bisa
nyalahin gue!” bentak Fandy yang sudah tak tahan dengan ini semua.
“Gue
ga nyalahin elu! Harusnya kita cepet pulang, tapi elu malah asik berenang dulu
sama Vika!” balas Deny tak mau kalah berteriak.
Mereka
pun adu mulut, bahkan Fandy mulai memanas. Fandy mengambil batu yang berukuran
sedang, dan mencoba memukul Deny dengan batu itu.
“STOP!!
Kalian ini apa-apan?!” Vika dengan cepat melindungi Deny.
“Vika?”
ucap Deny sangat kaget. Fandy menjatuhkan batu yang berlumur darah itu perlahan
dan seolah tak percaya, ia melukai kepala Vika.
“Gue,, di
sini lebih menderita, tubuh gue ga sekuat kalian para cowok! Tapi gue,, mampu
mikir jernih! Sekarang,, ga ada gunanya begini,, kita harus pasang tanda,, di
mana-mana. Dan menunggu di tepi.” Ucap Vika mengatur nafasnya berusaha tak
merasakan darah yang mengucur di kepalanya.
Pandangan
mata Vika semakin buram, dan jatuh pingsan di pangkuan Deny. Kedua pemuda itu
panik, dan sangat khawatir. Deny menggoncang-goncangkan tubuh Vika, berharap ia
sadar. Fandy masih berdiri di tempatnya, ia meneteskan air matanya melihat apa
yang sudah dilakukannya pada Vika. Dia mundur dan berlari menjauh.
“Fandy!!”
teriak Deny yang kebingungan.
“Vika,
bangun Vik!” ucap Deny mulai panik. Dia merobek kaosnya dan membalut kepala
Vika yang terluka.
“Oh, Vika,
bangun! Bertahanlah! Sayang ayo buka matamu.” Ucap Deny yang terus mengelap
darah Vika di mukanya.
“Aaaaaaaaaarghhhhh!!!!!”
teriak Deny menangis memeluk Vika sekuat-kuatnya. Perempuan yang dari dulu
sangat ia sayang dan cinta melebihi sahabat, kini tak sadarkan diri dan
berlumur darah di pangkuannya.
_***_
“Ini, gue
nemu tanaman obat. Tempelkan pada kepalanya yang terluka.” Ucap Fandy yang tiba-tiba
kembali dengan nafas terengah-engah.
Deny memandang
Vika yang terkapar di atas dedaunan dengan penuh emosi. Dia berdiri dan sejurus
kemudian melayangkan tinju ke muka Fandy. Membuat Fandy terjatuh, namun ia tak
membalas. Ia berdiri dengan kuat.
“Pukul lagi!
Gue emang pantes nerimanya. Ayo Den, pukul gue sampai mati!” Ucap Fandy menahan
air matanya. Deny berhenti dan duduk kembali di samping Vika.
“Gue cowok
yang paling tangguh di antara kalian, tapi gue ga bisa menjaga kalian. Maafin
gue.” Ucap Fandy yang mulai duduk di samping Deny.
Suasana terasa
hening sangat lama, hanya terdengar suara deburan ombak dan burung-burung kecil
yang bercuit-cuit mengitari pulau. Deny sungguh emosi, namun ia berusaha tenang
dengan memikirkan keadaan Vika.
“Den! Gue...”
ucap Fandy sekali lagi.
“Udahlah, itu
ga penting. Vika sahabat kita, ayo cepat kita pasang tanda seperti katanya.”
Ucap Deny meninggalkan Fandy dan Vika. Fandy pun mulai berdiri perlahan
memperhatikan wajah Vika yang terbaring dan langsung berjalan mengikuti Deny.
Akhirnya mereka
duduk di samping kanan dan kiri tubuh Vika yang terkapar di tepi pantai, saat
itu sore hari. Merka takut tak akan selamat. Jika sampai malam tak ada kapal,
mungkin Vika bisa mati lebih dulu. Karena ini adalah pulau terpencil yang tak
berpenghuni. Mana ada yang mau lewat? Batin mereka khawatir. Tapi mereka yakin,
masih ada kehidupan di depan. Ayo bangun
Vika. Gue ga mau kehilangan lo. Ucap kedua pemuda itu bersamaan di dalam
batinnya. Memandangi wajah Vika dengan sedih, yang selama ini menjadi penengah
di antara mereka. Mereka menggenggam tangan Vika yang dingin dengan erat.
Tiba-Tiba,
Duwooooong.... Duwooooong....
Fandy dan Deny sama-sama melihat ke
arah laut. Mereka melihat sebuah kapal very kecil menuju ke pulau itu. Mereka
senang bukan main, seolah hidup mereka kembali full penuh semangat. Meski hanya
sebuah kapal very kecil, mereka pikir itu adalah kapal yang dikirim Tuhan.
“Di
sini! Heey! Cepat kemari!” teriak mereka berdua melambai-lambaikan tangan.
“Vika,
lihat! Kapal, kita pulang.” Ucap Fandy mencoba menyadarkan Vika.
Vika
masih belum sadar, tapi jarinya sudah mulai bergerak. Alam bawah sadarnya
memaksa untuk cepat bangun.
Fandy
menggendong Vika di punggungnya dan cepat-cepat menghamipri kapal yang sudah
mulai menepi dengan senang. Ya, kapal itu melihat tanda yang mereka buat.
Bukan, tapi tanda yang Deny buat. Deny yang mengikut dari belakang, melihat
Vika yang membuka perlahan matanya dan tersenyum. Ia tersenyum pada Deny
berbisik kata terimakasih. Deny pun
tersenyum. Untung saja, tanpa kalian
tahu, gue pasang sisa baju gue di atas pohon tertinggi di pulau ini. Dan guelah
yang menjaga lo saat lo terluka. Apa lo tau pengorbanan gue itu Vik? dengan
kata terimakasih. Gumam Deny menutupi luka di pinggangnya akibat terjatuh
dari pohon yang tinggi untuk memasang tanda. Akhirnya masih ada kehidupan untuk
mereka. Juga hidup untuk Vika. Meski pada akhirnya Deny pun kehabisan banyak
darah.
Karya: Tantanet :)
Terimakasih telah berkunjung, silahkan komen kalau perlu.. :)
BalasHapusBagus ceritanya
BalasHapus