Ini baru awal cerita. |
“Aduh! Sory Ta.” Ucap Icha
panik. Dia tak sengaja menumpahkan air bakso di mangkuk yang ia bawa.
“Oh, gak apa-apa Cha.” Jawab Tita
tanpa reaksi.
“Ta, itu panas. Kena tangan lo.
Yakin gak apa-apa?” tanya Icha sekali lagi. Teman-temannya yang melihat ikut
bengong.
“Ha? Oh, ya ampun! Icha panaaas!
Aduuh.” Ucap Tita mengeluh kesakitan. Aneh, karena bengong ia sampai tak
merasakan lepuhan di tangannya.
“Langsung dicuci sana. Ayo gue
anter.” Ucap Dea mengantar Tita ke westafel di kantin sekolah, dan langsung
kembali bergabung bersama teman-temannya di meja.
“Ta, seharian lo bengong terus
kenapa? Ada masalah lagi sama kak Rio?” tanya Dea pelan.
“Kak Rio?” bisik Tita pelan
hampir tak terdengar, matanya menerawang menuju gerbang sekolah.
“Apa
Ta?” tanya Icha yang memperhatikan.
“Gak
apa-apa. Gue cuma ngantuk.” Jawab Tita pura-pura tertawa.
Sudah
dua bulan mereka tak bertemu, semenjak perpisahan di sekolahnya. Kak Rio tak
pernah ada kabar, terakhir kali kak Rio minta Tita untuk berhenti dan tak
menghubunginya lagi. Ini berat, setahun bersama di sekolah sebagai adik dan
kakak kelas. Harus dilupakan begitu saja, Tita tak bisa. Seperti ada yang
hilang, senyumnya masih belum terlatih tanpa kak Rio. Tita sanggup saja untuk
berhenti mencintainya, dan tetap slaing berhubungan sebagai adik kakak, tapi
kenapa kak Rio tidak?
Tita terduduk di depan ruang
Matematika dua di sekolahnya, hujan sedang turun, kelasnya sedang tak ada
pelajaran. Matanya lagi-lagi menerawang ke arah gerbang sekolah. Terlihat
anak-anak kelas sedang ngobrol masing-masing. Hatinya sakit setiap kali
temannya bertanya tentang kak Rio.
“Ta, lo masih suka sama kak
Rio?” tanya Dian. Dia memang salah satu teman yang tahu cerita Tita dengan kak
Rio, meski tidak semua. Sebenarnya ya hampir semua yang kenal Tita tahu tentang
Rio, gosip.
“Oh, gak tahu Yan. Menurut lo?”
Ucap Tita balik bertanya.
“Yee,, elu yang ngerasain kenapa
balik tanya gue? Tapi, gue rasa lo masih. Udahlah, dia juga punya kehidupan
sendiri.” Ucap Dian, sembari berlalu pergi.
“Ish, tuh anak. Ngomong tapi
malah pergi!” gerutu Tita. Dia berpikir, dan terus merenung, benar apa yang
dikatakan Dian. Dia harus maju, untuk apa Tita murung terus. Hati yang
terlanjur cinta bukan pada tempatnya, memang harus di akhiri sekarang juga.
_***_
Sebulan berlalu, Tita
kembali ceria seperti dulu. Sebenarnya karena kak Rio datang lagi di kehidupan Tita.
“Cie yang lagi ulang tahun!
Traktir tuh.” Ucap Dea saat di kantin sekolah.
“Ssssst.. Jangan berisik! Gue
gak mau diceburin ke kolam ikan sama anak-anak.” Ucap Tita kesal.
Teman-temannya hanya tertawa meledek.
“Hay, Ta!” teriak Mr. Adi dari
arah meja kantin. Tita langsung menoleh.
“Apa, sir?” teriak Tita senang dan
langsung menghampiri guru kebanggaanya itu, guru Bhs. Inggris.
“Makan ya, sir?” tanya Tita
sambil celingukan.
“Iya, nyariin siapa? Rio?
Datengin ke rumahnya sana!” Jawab Mr. Adi tersenyum meledek.
“Oh, gak kok. Udah ah, saya beli
makan dulu ya, sir.” Ucap Tita pelan.
Bahkan dia gak ngucapin. Kemana ya dia? Batin Tita dalam hatinya. Dia pun berusaha tak perduli, dan membeli
batagor langganannya.
“Bang Ade, batagor tiga ribu.”
Ucap Tita malas.
“Eh, kamu kelas berapa?” tanya
seorang laki-laki yang sepertinya guru baru.
“Kelas tiga, kenapa?” tanya Tita
heran, ia belum pernah bertemu guru itu, mungkin baru.
“Kok kecil? Hehe.” Ledek orang
itu.
“Iih, tau ah. Makasih bang.” Tita
pergi setelah makanannya siap. Tita sekilas melihat lagi orang itu, dia masih
melihat Tita dengan senyum. Jelas saja Tita makin heran.
_***_
Seminggu berlalu,
ketika Tita, Icha, dan Dea sedang duduk di depan kantor.
“Ngapain pak di pintu?” tanya
Dea.
“Pingin ngeliat Tita. Gak
boleh?” jawab pak Rafi tersenyum. Jawabannya itu jelas membuat terkejut
terutama Tita.
“Nanti pulang bareng ya Ta?” tanya
pak Rafi.
“Mmmm,, insyallah pak.” Jawab Tita
ragu. Pak Rafi pun lagi-lagi melempar senyum dan masuk dalam kantor.
Akhirnya, Tita
menerima tawaran pak Rafi untuk pulang bareng. Pikir Tita, daripada pulang
sendirian. Selama perjalanan, Tita tahu pak Rafi itu masih 19 tahun, setahun di
atas Tita. Banyak cerita hidup yang Tita dapat dari pak Rafi, membuat Tita
sedikit nyaman berbicara padanya.
Tepat sehari setelah kejadian
itu, mereka memutuskan untuk berpacaran seara sembunyi-sembunyi dari sekolah.
Ya, pak Rafi walau bagaimanapun adalah guru piket di sekolah. Sebelum UN
selesai Tita akan terus menutupinya, begitu pula pak Rafi.
“Ta, lo serius udah jadian sama
pak Rafi?” tanya Dea, memang hanya dia saja yang baru Tita beritahu.
“Mm, gue cuma asal terima aja
Dey. Gue belum ada rasa, tapi ada yang ngobatin kenapa gue tolak gitu?” ucap
Tita dengan sedikit ragu.
“Yah, gak apa-apa sih. Tapi
jangan terlalu cinta, kata Icha nanti kecewa.” Jelas Dea.
“Iya-iya, gue juga gak akan
serius kok, inget jangan bilang siapa-siapa dulu!” ucap Tita tegas.
“Tenang. Sekarang perasaan lo ke
kak Rio gimana? Apa yakin udah bisa lepasin?” tanya Dea lagi.
Tita terdiam lama,
dia mencari keyakinan di hatinya.
“Yakin! Gue udah lepas dia kok,
sekarang gue udah bener-bener anggep dia kakak. Titik! Tapi ya harapan gue, dia
bisa jadi kakak yang baik untuk gue.” Jelas Tita dengan senyum lebar di
bibirnya.
“Asiklah, bagus tuh. Lanjutkan.”
Ucap Dea tertawa.
_***_
U
|
jian Nasional pun
telah selesai. Bahagianya murid-murid SMA Harapan di hari ini. Perjuangan yang
mengharu biru, mulai dari bangun subuh sampai siang berkutat dengan soal-soal
ujian selama empat hari. Inilah hari terakhir, begitu bel berbunyi tanda
selesainya jam ujian terakhir, secara bersamaan semua pintu kelas langsung terbuka
lebar dan diserbu keluar oleh murid-murid, mereka bersorak ‘Alhamdulillah,
selesai juga!’ begitulah.
Semua murid saling bertemu
teman-temannya, mereka ribut bercerita bagaimana perjuangannya, di sana-sini
bising sekali. Tetapi kemana Tita? Ya, dia terlihat sedang jalan menuju kantor
secara diam-diam tanpa teman-temannya tahu.
“Eh, kirain ada di dalem.” Ucap
Tita yang terkejut melihat pak Rafi di depan pintu kantor.
“Udah selesai? Nanti malem kita
main yuk?” ucap pak Rafi tersenyum.
“Udah. Hah? Oh, boleh.” Ucap
Tita sedikit malu.
“Tita! Ngapain di sini?” tanya
Icha. Tita terkejut.
“Oh, gak ngapa-ngapain kok. Mau
pulang tah?” tanya Tita salting.
“Iyah, ayo!” jawab Icha.
Tita pun melirik
pak Rafi, dan pamit pulang dengan bahasa matanya. Sungguh konyol rasanya.
Mereka pun pulang dengan rasa lega karena berakhirnya penderitaan.
Ujian
Nasional telah selesai, haruskah Tita membeberkan semua rahasianya? Akhirnya
setelah lewat sebulan, Tita memberanikan diri bercerita pada Icha. Ternyata
reaksinya bagus, tak ada masalah, lalu lambat laun semua temannya tahu dengan
sendirinya tanpa Tita bercerita. Bagaimana dengan kak Rio? Ya, seperti biasa
dia selalu tahu lebih dulu meski Tita tak mau menceritakan padanya.
“Cepet cerita! Gimana ceritanya
sih kamu bisa sama dia? Kakak pingin tahu.” Ucap kak Rio memaksa di telfon.
“Iih, yah begitu. Jadi begini
ceritanya.....” panjang lebar Tita menjelaskan. Rasanya lega bercerita pada kak
Rio dengan anggapan seorang kakak. Tak ada masalah.
“Oh, coba kamu tanya pendapat
kakak dulu sebelum nerima dia! Dia tuh ga baik, banyak boongnya kali tuh
orang.” Ucap kak Rio. Entahlah itu sindiran atau sebuah nasihat untuk Tita.
“Tapi kak, dia tuh baik. Aku
udah tahu ibu sama adiknya, dan kerjaan dia jelas aku bisa liat. Apanya yag
salah?” tanya Tita bingung.
“Ish, kamu tuh percaya sama
kakak. Orang begitu udah keliatan kali. Udah putusin aja!” ucap kak Rio seperti
tak punya dosa, enteng sekali.
“Ih, kakak nih! Aku mau coba
percaya sama dia. Waktu aku terpuruk karena kakak yang ternyata malah jadian
sama cewek lain, dia dateng. Ya aku pikir itu bisa ngobatin aku. Jadi apa
salahnya? Jangan mikir yang negatif deh kak!” jelas Tita sedikit kesal. Rasanya
kenapa jadi dia yang bersalah.
“Iya-iya kakak tahu. Ya udah deh
terserah kamu, kakak cuma ingetin doank. Ya udah kakak kan udah denger
ceritanya, sekarang kakak mu pergi. Udah dulu ya.” Jawab kak Rio dengan suara
lembut. Membuat Tita jadi berhenti untuk merasa kesal.
“Tapi kak, baru juga sebentar.”
Ucap Tita.
“Ya udah nanti lagi ya.” Jawab kak
Rio. Pembicaraan pun berakhir. Masih sedikit terkenang tentang kak Rio, Tita
terdiam dan berusaha tidak memikirkannya lagi.
Tak
lama, hanya seminggu setelah kak Rio memperingati Tita. Terjadi juga hal yang
tak diinginkan Tita. Tepat pukul dua belas malam di tanggal tigabelas, dimana
itu sudah masuk hari ulangtahunnya kak Rio. Tita mendapat guncangan hebat. Pak
Rafi yang selama ini dia bela di depan teman-teman bahkan kak Rio, ternyata
mendua di belakang Tita. Seperti ada petir yang menyambar tubuh Tita bertubi-tubi.
“Apa ini? Kenapa begini? Gue
udah berusaha percaya sama lo! Meski hati ini belum sepenuhnya untuk lo, tapi
sakitnya kenapa berlipat?” ucap Tita pada dirinya sendiri.
Telfon berdering,
terlihat pak Rafi menghubungi. Tangan Tita gemetar, apa yang harus dia lakukan?
“Halo?” ucap Tita sedikit
gemetar.
“Ya, Ta. Udah tahu kan semuanya,
maafin aku. Akhirnya kamu tahu juga.” Ucap Rafi sedikit menyesal.
“Aku salah apa sama kamu? Apa
alesan kamu? Apa tujuan kamu? Hah!” ucap Tita berat menahan tangisnya.
“Aku gak ada maksud Ta, maaf. Ya
udah kita putus aja.” Ucap Rafi
“Okeh! Terserah kamu, aku gak
butuh! Pergilah sama cewek kamu itu!” telfon pun langsung dimatikan oleh Tita.
Betapa
kesalnya dia, betapa sakitnya dia. Tita kembali mengingat saat mereka jalan
berdua, duduk berdua di kantin sekolah, saat dia menjenguk Rafi ketika sakit di
rumahnya, saat Rafi memeluk Tita dengan sayang, saat Rafi tertidur lelah di
kursi tamunya Tita di rumah, senyumnya, bercandanya, kata-katanya.
“Apa maksud itu semua? Itu semua
bulshit! Gila, bisa ya gue ketemu orang begitu? Dosa apa gue ya Allah! Gue udah
berusaha baik sama samua orang, bahkan berpikir positif untuk dia, membela dia
di depan kak Rio. Dasar bego!” teriak Tita membanting hpnya sendiri ke lantai.
Bagaimana
tidak sakit, Rafi itu berwajah malaikat yang tanpa dosa, tapi ternyata di
dalamnya itu iblis yang mudah menutupi keburukannya. Rafi dan ceweknya sudah
lima bulan bersama tanpa Tita tahu. Tita pun tahu semua itu dari ceweknya yang
ia introgasi.
Tita
terus menangis, bukan karena kehilangan Rafi, tapi menangis untuk dirinya yang
begitu bodoh. Sakit, tak tahan, itu yang dirsakan Tita malam itu. Sepanjang
hidupnya belum pernah dia mendapat cerita seperti ini, tidak sebegini
menyakitkan. Tiga jam Tita terus menenangkan hati dan pikirannya. Tepat pukul
tiga subuh, Tita terpikir kak Rio. Tita hanya mengirim pesan singkat yang
berisiikan ucapan ulangtahun. Tak ingin mengecewakan kakaknya itu, meski sakit
dia tetap tersenyum untuk kak Rio. Tak lama, tepat pukul empat subuh dia tak
tahan juga, akhirnya mencoba menghubungi kak Rio.
“Halo,
kak?” ucap Tita sedikit melas.
“Iya
ada apa de kok subuh-subuh nelfon?” tanya kak Rio.
“Kak,
aku butuh kakak sekarang! Aku pingin kakak di sini sekarang!” ucap Tita sambil
sesunggukan menahan tangis.
“Kamu
kenapa? Tapi ini subuh dan lagi ujan tahu.” Jawab kak Rio sedikit khawatir.
“Engga
kak, Cuma gerimis. Ayolah kesini! Aku putus, dianya jahat kak. Sakit kak,
tolong sebentar aja ke sini. Aku tunggu kak.” Ucap Tita terus memaksa.
“Ya
udah kakak usahain. Kamu sabar yah.” Telfon pun di matikan. Dia hanya butuh kak
Rio sekarang, dia ingin merasa tenang melihatnya.
Di
sisi lain, kak Rio yang kebingungan. Apa yang harus dia lakukan sekarang, tidak
mungkin dia keluar hujan begini, mau menghubungi Tita rasanya tidak enak, Tita
sedang terpuruk. Akhirnya Rio melajukan motor merah kesayangannya menuju rumah
Tita yang tidak begitu jauh dari komplek rumahnya. Di jalanan yang sudah mulai
lalu lalang kendaraan, di tengah guyuran hujan, Rio tetap melaju dengan
terburu-buru. Dia tidak ingin membuat Tita menunggu, dan juga tak ingin terus
kehujanan di jalan.
“Kamana
sih kak Rio? Lama banget. Aduh, ternyata ujannya emang deras.” Ucap Tita
sendiri di depan rumahnya.
Komplek
rumahnya memang masih sepi subuh begini, Tita terus mondar mandir menunggu kak
Rio, hatinya yang sakit semakin tak tenang menunggu kakaknya itu. Tiba-tiba,,,
Prang!!
Suara piring pecah
dari tetangga depan rumah. Terdengar sang ibu yang berteriak memarahi anaknya,
dan membuat anaknya itu menangis, sungguh berisik.
“Huuft, bikin kaget aja. Ya
Allah, untung yang pecah piring orang. Aduh kemana kak Rio?” Tita menunggu dan
menunggu, tapi tak kunjung datang. Akhirnya ia masuk kedalam rumah menunggu
pagi.
Tepat pukul enam
pagi.
“Halo, ada apa sih kak?
Nagntuk.” Ucap Tita mengankat telfon dari kak Rio.
“Ini Tita? Saya temannya Rio.”
Jawab seorang cowok di sebrang sana.
“Hah? Oh, iya ada apa?” tanya
Tita yang langsung terbangun dari tidurnya.
“Ta, masih di atas kasur kan?
Dengernya tenang ya.” Ucap cowok itu.
“Kenapa sih?” tanya Tita semakin
tak enak perasaanya.
“Rio,, Rio,,,”
“Iya, kak Rio kenapa?”
“Rio udha meninggal.” Mendengar
kata itu Tita terdiam, air matanya menggenang, degup jantungnya semmakin cepat.
“Kakak, gak usah bercanda pamali
bilang orang meninggal.” Ucap Tita akhirnya.
“Serius, dia subuh minta saya
temenin ke rumah kamu, tapi di jalan dia tergelincir karena hujan, tak sengaja
menyenggol mobil yang ada di depannya, terus kepalanya terbentur trotoar. Tapi
dia gak bisa bertahan, jam setegah enam tadi dia pergi. Kalo kamu gak percaya
kamu dateng ajah ke rumah sakit Bakthi sekarang.” Jelas cowok itu.
Sungguh cobaan ini lebih berat
daripada semalam. Tubuh Tita gemetar, dia menjatuhkan hpnya, yang terlintas di
otaknya pertama kali adalah saat kak Rio berucap ‘Ya udah kakak usahain. Kamu
sbar yah.’
“Halo! Halo Ta! Kamu masih di
situ kan?” teriak cowok itu yang masih di telfon.
Tanpa basa-basi
Tita langsung melesat menuju rumah sakit, wajahnya masih kucel karena bangun
tidur, bajunya pun masih baju tidur lengkap. Dengan motornya dia melaju
kencang, hampir saja ia menabrak kendaraan lain berkali-kali. Setibanya di
rumah sakit, Tita mencari temannya itu.
“Tita! Tita bukan?” tanya
seorang cowok.
“Iyah, ini ruangan kak Rio
bukan?” Tita bertanya dengan gemetar.
“Iyah, saya yang tadi telfon
kamu. Ayo saya anter, tuh bibinya lagi di luar nenangin orang tua Rio.
Terlihat kain putih yang rapih
menutupi sebuah tubuh yang kaku. Perlahan Tita menghampiri, jelas, jelas sekali
itu wajahnya dengan luka memar akibat kecelakaan. Tita menangis sejadi-jadinya,
memeluk tubuh kak Rio yang sudah tak lagi bernyawa.
“Kakak! Maafin aku. Aku salah
gak dengerin kakak. Aku juga maksa kakak temuin aku, aku yang salah. Maaf! Jangan
pergi! Ayo bangun! Bukankah ini ulang tahun kakak!” Ucap Tita yang tak tahan
rasa sakitnya kehilangan orang yang pernah ia cintai. Rasa bersalah dan sayang
yang masih tersimpan, ternyata Tita harus benar-benar kehilangan semuanya.
_***_
Setiap minggu, Tita
terus berkunjung ke makam kak Rio ditemani teman-temannya. Menyebar bunga dan
air, membacakan doa agar dia selalu tenang di sana.
“Udah Ta, gak usah nangis terus.
Senyum lo ilang semenjak kak Rio pergi. Kita juga ngerasa kehilangan lo yang
dulu ceria.” Ucap Icha merangkul tubuh Tita.
“Maaf Cha, tapi gue masih sayang
kak Rio. Gue masih nyesel atas semua ini. Kak Rio bener dan gue malah nentang
dia.” Jawab Tita lagi-lagi meneteskan air matanya.
“Udah Ta, jangan nangis. Kak Rio
juga pasti gak mau liat lo begini terus. Kalo lo mau nebus kesalahan lo,
berusahalah hidup dengan baik dan tersenyum seperti dulu.” Ucap Icha lembut.
Dia sudah seperti ibu yang menasihati anaknya.
“Iya, meski berat mulai sekarang
gue bakal hidup lebih baik lagi untuk kak Rio. Makasih Cha.” Ucap Tita menahan
air matanya dan berusaha tersenyum.
Tersenyumlah kak di sana, untukku. Ucap Tita dalam hatinya, ia tersenyum menerawang langit biru di atas
kepalanya. Berharap melihat senyuman indah itu lagi.
Karya: Tantanet :)