Tik... tok... tik... tok...
Hmm, tali jamku sudah semakin rusak, harus kuperbaiki
setealah pulang sekolah.
Setiap pagi,
aku berangkat ke sekolah lebih pagi. Aku selalu berjalan menyusuri kota yang
masih sepi saat pagi hari seperti ini. Sungai dan hembusan angin nan damai di
pagi hari yang sepi. Itu semua aku nikmati, selain itu aku pun bertugas
mengurusi kebun di sekolahku, makanya aku datang sangat pagi. Tapi tak ada
siapapun yang mau membantuku mengurusi kebun, hanya detak jam tanganku yang
selalu menemaniku seolah berbicara.
Tsuki,
itulah namaku yang berarti bulan. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa aku
menyukai keheningan dan,,,, kesendirian. Entahlah.
“Hai, Mawar.
Kalian sudah mekar semua rupanya. Selamat ya, kalian jadi punya banyak teman di
kebun ini.” Ucapku sembari menyirami mawar-mawar indah itu yang ukurannya tidak
lebih dari satu meter. Bermacam-macam bunga hanya memiliki sedikitnya satu
meter setiap jenis. Dulu kebun ini tidak terurus, namun sekarang nampak seperti
taman bunga di dongeng-dongen.
“Hmm, aku
iri pada kalian. Mereka,, aku tidak pernah mengerti apa yang mereka cari dari
sebuah pertemanan. Tidak ada yang asli. Apa salahnya jika aku tidak mau
berbaur? Aku benci kepalsuan, tidak ada yang benar-benar bisa menghargai dan
tulus diantara mereka. Itu hanya menghabiskan waktu saja kan?” Keluhku pada
mawar-mawar itu.
“Baiklah,
semua tanaman sudah aku siram dan diberi pupuk. Pas sekali sudah jam delapan.
Masih ada satu jam untuk menikmati kelas yang sepi.”
Aku pun melangkah masuk menuju kelasku yang terdapat di
lantai dua. Sekolah ku hanya berlantaib tiga sebenarnya. Lantai satu untuk
kelas satu, lantai dua untuk kelas dua, dan lantai tiga tentub saja untuk para
senior kelas tiga. Tapi tak perduli kita berada di tingkat berapa, semua murid
membaur kemana-mana seolah ini rumah mereka sendiri. Aku malas dengan
keramaian. Aku benci kepalsuan mereka.
“Aaaah,,
nikmatnya kelas sepi dipagi hari ini. Lebih baik aku tidur sebentar.” Tak lama
aku terlelap dalam tidurku.
Hmm, seperti ada yang membelai rambutku. Lembut tapi sedikit
dingin seperti es. Hmm, meskipun dingin tetap terasa hangat, bagaimana ya, aku
tidak bisa menjelaskannya. Tunggu, ini mimpi, ya mimpi, sangat nikmat, tapi
kenapa aku sadar.
Perlahan kubuka kedua mataku, aku langsung bangkit dari
kursiku dan mencari-cari.
“Tidak ada
siapapun. Hmm, jadi itu benar Cuma mimpi. Haha, apa karena aku selalu datang
lebih pagi? Kenapa suasananya jadi menyeramkan gini?” ucapku meringis
memandangi sekitar kelas.
Tak lama kemudian murid-murid lain sudah pada datang dan
memasuki ruang kelas.
“Hai, Tsuki!
Seperti biasa ya kau selalu datang lebih awal. Kau memang rajin, tapi kenapa
kau tidak pernah bergabung bersama kami?” ucap salah seorang siswi yang baru
masuk bersama teman-temannya..
“Mm, yaa
aku,, tidak apa-apa.” Aku menjawab dengan ragu dan senyum yang dipaksakan.
“Hmm,
kapan-kapan kita harus makan siang bersama saat istirahat.” Ucapnya lagi.
“Ha? Kenapa?
Maksudku, aku sudah terbiasa makan sendiri.” Jawabku lagi-lagi acuh tak acuh.
“Kau ini,
setidaknya kau harus memiliki teman untuk acara rekreasi sekolah minggu depan.
Apa kau ingat? Tentu saja kita akan memiliki banyak acara saat itu.” Jelasnya
mulai melangkah mendekatiku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa, meski
nadanya sangat lembut tapi terbesit kesombongan.
“Ah, aku
lupa.” Jawabku singkat. Aku malas membuat pertemanan, aku tidak suka terikat.
“Ngomong-ngomong,
apa kau ingat nama kami?” tanyanya mendekatkan wajahnya pada wajahku. Jemarinya
yang cantik itu memainkan beberapa helai rambutku yang pendek dan bergelombang.
“Em.......”
aku diam menatapnya. Wajahnya cantik, rambutnya yang lurus dan rapih sangat
wangi, bibirnya pun sangat manis karena dipoles lipgloss. Jauh sekali denganku
yang tidak suka memperhatikan dandanan. Kenapa sih dia, terlalu dekat. Tidak
biasanya mereka mendekatiku sejauh ini. Aku pun langsung memalingkan wajahku.
“Hmm, sudah
kuduga. Yuuki! Itu namaku, ingatlah nama itu.” Ucapnya tegas dan bangkit
menjauhiku. Akhirnya dia dan teman-temannya kembali menuju tempat duduk mereka.
“Cih, lalu
untuk apa aku mengingatnya?! Dasar wanita.” Ucapku dalam hati.
_***_
Kelas akan
dimulai, memang sih kuakui ini terlalu membosankan karena kesendirian. Tapi
bagaimana lagi, tak ada yang membuatku nyaman.
Oh, guru
sudah memasuki kelas.
“Baiklah
anak-anak, sebelum kelas dimulai, kita kedatangan teman baru. Kaka, silahkan
masuk.” Ucap bu guru dengan ramah.
Tap tap,, langkah kakinya mulai terdengar. Semua murid
menunggu dengan penasaran.
“Yo, namaku
Kaka.” Ucapnya dengan tampang datar, mata tajam, tinggi, rambutnya di cat setengah
biru tua hampir tak terlihat jika tak ada cahaya.
........
“Oh begitu
sajakah?” tanya bu guru.
“Ya.”
Jawabnya singkat.
“Oh, baiklah
silahkan duduk di kursi yang kosong.”
Terlihat sekali para siswi mulai terpesona, dan kelas mulai
ribut. Ah aku malas jika sudah begini, kepalsuan apalagi yang mereka buat.
Tapi, pria itu duduk tepat di sampingku dan langsung melirikku.
Hah! Aku kaget sekali. Aku langsung
mengalihkan pandanganku membuka buku pelajaranku. Kenapa aku jadi tak nyaman
begini.
Krieet,, krieeet,,
Suara apa itu? Aku langsung melirik ke arahnya, dan tiba-tiba
mejanya sudah menempel dengan mejaku dan tangannya menggenggam tanganku.
“Hiaaaah!!
Apa yang kau lakukan?” teriakku membuat semua melihat ke arahku.
“Tsuki, ada
apa?” tanya bu guru.
“T,, Tidak bu.
Ini Kaka tiba-tiba mendekatiku.” Aku malu dan panik.
“Waaaaaaah..”
semua siswi memandang kami dengan kagum. Apa-apaan mereka?
“Haha, apa
boleh buat Tsuki, tidak apa-apa mungkin dia ingin meminjam bukumu, dia kan
belum mendapatkannya. Tolong jagalah dia ya.” Ucap bu guru tersenyum menggoda.
Hah?!
Aku kembali duduk dan dia masih memandangku.
“Kenapa kau
tersenyum?” tanyaku heran.
“Tidak apa-apa.
Jadi namamu Tsuki ya. Aku suka.” Jawabnya tersenyum tapi sungguh tidak manis,
itu lebih terlihat menyeramkan.
“Suka??”
selama ini belum pernah ada yang bilang suka padaku. Jantungku berdebar,
meskipun aku tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, ah aku tidak tahu apa
ini. Ini terlalu mendadak, kelas pun masih berlangsung. Lalu apa yang harus aku
katakan? Aku tidka mengerti, kebanyakan yang aku lihat dari siswi lain ketika
mereka dalam posisi seperti ini pasti mereka langsung menjawabnya dengan wajah
manis. Aku tidak bisa.
“Eh itu...”
aku berkata pelan dan menunduk, tapi dia langsung memotong ucapanku.
“Ya, aku
suka namamu. Bisakah kita belajar sekarang? Aku butuh bukumu.” Jawabnya kembali
dengan wajah yang datar.
Heee?? Jadi aku salah paham. Bodohnya aku. Euuuh. Tsuki, kau
sangat memalukan. Kenapa aku jadi begini sih!
“Eh tunggu
dulu!” ucapku sedikit memekik.
“Husssstt,
bisakah kau diam?” ucapnya jutek padaku.
Bukankah tadi dia tersenyum padaku? kenapa sekarang dia jadi
jutek? Oh kepalsuan yang sama ternyata. Mm, tadi tangannya sedingin es tapi ada
kehangatan di situ. Rasanya aku pernah merasakan sentuhan itu sebelumnya.
Entahlah, aku tidak mau memikirkan yang tidak penting. Mungkin aku akan kecewa
jika aku berusaha membiarkan mereka masuk dalam hidupku.
_***_
Seminggu
kemudian, hari rekreasi-pun tiba. Kami semua berkumpul di sekolah, kami akan
berlibur di pulau Umang milik kenalannya bu guru selama tiga hari.
“Bisakah kau tidak menggangguku
terus? Apa kau tidak lelah seminggu ini sudah ku abaikan?” ucapku pada Kaka
yang sedang menunggu sembari bersandar di tembok.
Tapi dia
diam tak menjawab.
“Kaka, kenapa kamu selalu bersamanya
sih? Dengan kami kan lebih asik, banyak teman juga. Nanti kau gabung saja
dengan kami.” Ucap Yuui.
Aku hanya
diam dan tak perduli, aku berdiri tak jauh dari mereka, aku tetap mendengar
percakapan mereka. Bagaimana ini? Ah iya pakai headset saja. Aku mulai mencari
headset ku di dalam tas.
“Kalian kan perempuan, ajak saja
dia.” Dia menjawabnya dengan datar dan melirik ke arahku. Untuk apa? Aku tak
butuh mereka.
“Aduh, dimana sih headset ku? Apa
tertinggal ya?” ucapku dalam hati.
“Hmm, Kaka dengar ya. Tsuki itu
sudah biasa menyendiri, dia itu sudah mandiri, aku bukannya tidak mau berteman
tapi aku tidak mau mengganggu kehidupannya.” Ucap Yuui sedikit ragu.
“Kalau begitu jangan ganggu hidupku
juga.” ucapnya dingin, dan tiba-tiba dia merangkulku.
“Eh, apa? Kenapa?” tanyaku terkejut.
“Ayo kita buat hidup kita sendiri.
Hanya kau dan aku, tanpa mereka.” Ucapannya tajam sekali dan menyindir mereka.
Lalu kami pergi meninggalkan mereka yang terdiam memandang kami tak percaya.
Ketika sudah
jauh, pas sekali bus yang akan membawa kami sudah tiba semua.
“Heh, lepaskan! Siapa juga yang mau
hidup hanya berdua denganmu!” ucapku mendorong Kaka dan menuju bus yang telah
ditentukan. Aku meninggalkannya begitu saja.
“Tempat dudukku nomor 10, hmm.
Kenapa harus di tengah-tengah? Aku lebih suka duduk paling depan atau belakang
sekalian. Oh ini dia.” Aku pun duduk di bangku pojok sesuai nomorku.
“Oh, Tsuki. Hmm, Aku sudah lama
memperhatikanmu, ternyata kita satu tempat duduk. Beruntungnya aku.” Salah
seorang siswa yang kelihatannya kutu buku dengan kacamatanya terlihat kikuk
saat mengajakku berbicara. Apaan dia, aku hanya diam tak merespon dan memandang
keluar jendela.
“Ano, ituu.. Kau terlihat cantik
meskipun dengan seragam sekolah, aku tak bisa membayangkan bagaimana
penampilanmu nanti ketika memakai baju bebas...” ucapnya lagi.
Aku tahu
kemana arah pembicaraannya, aku mulai terganggu.
“Oya, aku,, namaku Jiro. Mungkin kau
tidak ingat karena kau orang yang cuek, tapi aku suka itu. Kau semakin terlihat
cantik dengan ketidakpedulianmu. Kau
tahu? Aku juga orang yang pendiam spertimu, aku pun selalu diejek oleh
anak-anak, apa kau tahu itu? Kita sekelas. Kita sama kan, bukankah kita pasti
akan cocok? Dan ternyata tubuhmu bagus jika aku melihatmu dari dekat begini..”
Aku langsung
menoleh padanya.
“Apa maksudmu?! Jangan samakan aku
denganmu! Aku memiliki pikiran tertentu dengan menyendiri, tidak sepertimu yang
lemah!” balasku dengan kasar. Aku tidak suka dia, kalau pun aku berteriak pasti
tak akan ada yang perduli padaku.
“Minggir! Aku mau pindah tempat
duduk.” Ucapku mulai berdiri. Tapi dia tidak bergerak, seolah dia menghalangi
jalanku.
“Kyaa!” dia menarik lenganku
membuatku terduduk kembali dan memojokkanku ke dinding bus.
“Apa yang kau lakukan?!” aku mulai
panik, aku bisa saja menendangnya, tapi dalam posisi seperti ini dan ruang yang
sempit, aku tak bisa bergerak sama sekali.
“Tetaplah di sini, aku mohon. Aku
mengagumimu sejak lama, tak bisakah kita berteman? Jika sudah berteman mungkin
kau akan menyukaiku. Aku akan lakukan apapun, sungguh.” Ucapnya panjang lebar.
Tangannya mengenggamku sangat kencang membuatku sedikit meringis.
“Akh!” tiba-tiba ada yang menarik
kerah bajunya hingga dia tercekik dan dia terbanting ke bawah.
Bruk!!
“Jangan pernah menyentuh Tsuki
dengan nafsu anehmu itu! Pergilah kau lemah!” bentak Kaka seperti ingin
membunuh seseorang. Siswa tadipun langsung turun dari busnya dan meminta pindah
bus pada bu guru.
Aku
memandangnya dan yang lain ikut memandnag dengan penuh ngeri lalu langsung
berhamburan seolah tak melihat apapun. Aku terdiam masih dengan posisi
terjebak, aku hanya terkejut dan tak bisa melakukan apapun.
Kaka mulai
mendekatiku, dia duduk di sampingku. Aku perlahan mundur meskipun aku tahu
sudah tak bisa mundur.
“Kamu,,
umm...” nafasku memburu tak karuan. Dia
menciumku di hadapan murid-murid lain. Dan aku hanya mendengar mereka ber-‘wah’
saja.
“Aku tidak mau bibirmu direbut oleh
orang lain selain aku. Tadi itu hampir saja. Bisakah kau menjaga dirimu?” Katanya
setelah melepaskan ciuman mautnya.
Maut?
Entahlah, ini pertama kalinya untukku. Ciuman pertamaku, pertama kalinya aku
merasakannya jadi aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
“Iih! Kau sudah mengambil ciuman
pertamaku! Apa yang kau lakukan! Dasar bodoh! Pergi sana!” teriakku tidak
terima.
“Oh, baguslah.” Jawabnya datar
bahkan dia tidak melihatku.
“Apanya yang bagus? Cepat pergi, aku
lebih baik duduk sendiri daripada bersamamu.” Ucapku mulai berdiri tapi dia
tidak mau menyingkir.
“Dengan begitu kan kau jadi tidak
akan bisa melupakanku..” dia melirikku dan bibirnya tersenyum tipis. “...dan
aku tidak akan pergi dari sisimu.”
“Rrrrgh! Apa sih yang kau pikirkan!
Kenapa harus aku? Kan banyak wanita lain yang lebih baik daripada aku? Aku
malas berhubungan dengan siapapun, semuanya palsu.” Bentakku kembali duduk.
“Kau saja tahu kalau mereka semua
itu palsu, maka hanya kaulah yang lebih baik menurutku. Sudahlah, diam dan
nikmati perjalanan ini.” Ucapnya.
“Kau benar, tapi tiga hari bersama
mu? Tidaaaaaaaaak!!!!!” teriakku, dan bus pun mulai melaju.
_To Be Continued_
By: Tantan :)