W
|
aktu, adalah sesuatu yang tak
seorangpun mampu melampauinya. Sang waktu akan terus berjalan maju. Memohon
sekalipun tak ada guna untuk memintanya kembali. Yah, itu yang kurasakan selama
kurang lebih tujuh tahun lamanya. Satu tahun lalu adalah tahun terakhir aku
bisa terlepas oleh bayangnya.
Saat
itu, aku masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Entah apa yang
merasukiku, itu adalah tahun dimana aku pertama mengenal rasa suka pada seorang
cowok.
“Yu,
liat tuh kakak kelas yang ngeliatin aku. Ngeselin banget orangnya, ganggu.”
Ucap Ina, seorang teman kelasku menunjuk seorang cowok pendek yang terkekeh
melihat ke arah kami.
“Ouh,
iya. Terus kenapa na?” tanyaku sangat polos.
“Yah,
kamu urusin ya. Kamu kan berani sama siapa aja, bilangin jangan ganggu aku lagi
gitu.” Jelas Ina. Hanya dia satu-satunya cewek yang pikirannya sudah dewasa di
kelasku. Dia paling anti harus bermain kejar-kejaran seperti anak kecil.
“Oh,
oke.” Jawabku singkat dengan menyunggingkan senyum tipis.
Meski
aku masih duduk di bangku sekolah dasar, naluri licikku sudah berapi-api. Saat
itu aku memang sangat periang dan tak pernah takut pada siapapun termasuk kakak
kelas. Namun tetap saja diumurku yang masih 11 tahun, aku sudah memiliki rasa
hormat dan sopan santun tinggi. Begitulah aku, seorang Yuka yang biasa-biasa
saja.
Aku
langsung menghampiri kakak kelas itu, kelas kami memang bersebelahan. Aku
melangkah pelan namun pasti. Kulihat dia tersenyum dan terheran-heran, anehnya
dia menungguku menghampiri.
“Mau
apa kamu? Pasti disuruh Ina supaya aku gak ngejar dia lagi?” ucap kakak kelas
itu.
“Iya,
kenapa? Kamu jangan ganggu temen aku lagi deh. Dia gak tertarik sama kamu.”
Jawabku asal.
“Oke,
kamu gantinya ya. Sampe aku lulus kamu gak bakal bisa lolos dari aku.” Ucapnya
dengan rasa pede tingkat tinggi.
“Siapa
takut!” balasku.
“Nama
aku Dante.” Dia menawarkan tangan kanannya padaku.
“Yuka.”
Aku menyambut tangannya itu.
Seketika angin lembut
menyentuhku, seolah waktu berhenti. Jantungku berdebar saat meraih tangannya.
Bibirku yang sedari tadi tersungging ketus padanya, perlahan menurun dan mulai
mencerna apa yang sedang terjadi padaku. Angin lembut itu membuat beberapa
helai rambutku melambai-lambai. Dia masih tersenyum padaku. Dengan perlahan dia
melepaskan sambutan tanganku itu. Lalu waktupun kembali berputar. Sungguh aku
tak mengerti apa yang baru saja terjadi.
“Kenapa
kamu? Baru juga kenalan kamu udah suka ya sama aku?” dengan raut muka tanpa
dosa itu dia bertanya padaku.
“Ha?!
Sumpah, kamu terlalu pede. Aku gak akan suka sama orang kaya kamu. Pendek!”
ups, seketika kata-kata itu keluar dengan sendirinya.
“Aih,
berani ya? Dasar item!” balasnya.
Ah, sungguh itu sangat
menyakitkan. Sejak itu kami terus berkelahi, tapi jujur aku menikmatinya. Entah
mengapa isu pertengkaran kami sudah meluas sampai seantero sekolahku. Lebih
parahnya lagi, mereka mengecap pertengkaran kami itu romantis. What?!
_***_
H
|
ari kelulusan tiba, entah mengapa
aku merasakan kesedihan yang mendalam. Ada sesuatu yang membuatku merasa
hilang. Saat acara pelepasan murid kelas enam, aku melihatnya menangis. Aku
melihat Dante menangis, mungkin karena kami memang masih kecil. Lalu, air
mataku menetes dengan sendirinya. Kuusap pipiku yang sudah lembab karena air
mata.
“Tuhan,
mungkin dia menangis karena sedih berpisah dengan teman-temannya. Tapi aku?
Kenapa aku bersedih? Mungkinkah karena ini hari terakhir aku bisa melihatnya?”
ucapku dalam hati memandang cowok pendek itu dari kejauhan.
Aku
masih terlalu polos untuk mengenal cinta, aku tak tahu apa yang harus kulakukan
dengan perasaan yang seperti ini. Aku hanya terdiam ketika dia melewatiku
menuju pintu keluar aula. Dia tak menghiraukanku, seolah dia tak mengenaliku.
Dia berjalan dengan pandangan lurus menuju seorang cewek di haapannya yang akan
beranjak pergi. Aku lihat cewek itu pun tak menghirukannya. Aku makin merasa
sakit, sakit hati yang pertama kudapatkan.
Apa
keakraban kami harus berpisah dengan cara begini? Meskipun tak lama, tapi aku
sudah merasakan debaran itu sejak awal.
_***_
Dua tahun kemudian.
“Sena?
Kok kamu pindah ke SMP ini sih?” tanyaku saat upacara bendera telah berakhir.
“Iya,
pengen aja. Karena aku denger kamu sekolah di sini.” Jawab Sena santai.
“Lah?
Cuma karena aku?” tanyaku heran. Dia pun hanya mengangguk.
Aku berlalu menuju kelasku
sembari berpikir. Jika Sena ada di sini, di kota ini, mungkinkah Dante juga ada
di sini? Mungkinkah aku bisa bertemu dengannya lagi?
Ya,
Sena adalah adik kandung Dante yang ternyata menyukaiku sejak Dante lulus dari
sekolah dasar. Namun tanpa sadar hatiku terus menunggu kehadiran Dante setelah
dua tahun ini tak lagi bertemu.
Tak
lama saat aku duduk di bangku kelas dua SMP, Dante menghubungiku ketika aku
sedang santai di kamarku tercinta. Aku merasakan sesuatu yang mengembang dalam
hatiku. Mungkin sekarang aku sudah sedikit mengerti apa yang kurasakan selama
ini padanya. Aku menyukainya, aku menunggunya, aku mengharapnya. Bertahun-tahun
aku menyimpan perasaan ini hanya untuk Dante. Kini waktu itu telah tiba. Ketika
Dante menghubungiku, aku putuskan untuk menyatakan isi hatiku. Bukannya aku
cewek rendah yang dengan mudah menyatakan perasaan, tapi aku takut akan
kehilangan Dante lagi. Aku pikir dua tahun cukup untuk menantinya tanpa kabar
sama sekali. Terlebih, dia adalah cinta pertamaku.
Tak
disangka, Dante mengerti. Ya, akhirnya Dantelah yang memintaku untuk menjadi
kekasihnya. Aku merasa detik itu juga, di kamarku, aku ingin loncat-loncat
kegirangan di atas kasurku. Aku tersenyum lebar, aku bernyanyi, aku berteriak
seperti orang sinting.
“Terimakasih
Tuhan, penantian selama ini terbayarkan. Cinta pertamaku sudah kudapatkan. Aku
yakin dia pun akan menjadi yang terakhir.” Ucapku tersenyum lebar.
_***_
Empat tahun kemudian.
“Sebentar
lagi kelulusan. Duh aku deg-degan nih Yu.” Ucap Via tepat di depan ruang
matematika 1.
“Iya,
semoga aja kita semua lulus SMA ya. Seminggu lagi ini.” Balasku antusias.
Sebenarnya murid kelas tiga sudah
tak perlu belajar untuk datang ke sekolah. Namun karena kami begitu antusias
dengan kelulusan minggu depan, kami selalu pergi ke sekolah hanya untuk
berbincang dan merencanakan akan melanjutkan kemana.
Ya,
kini aku sudah duduk di bangku kelas tiga SMA dan aku masih mencintai Dante.
Aku masih menanti kehadiran cinta pertamaku itu kembali. Empat tahun lalu, dua
setengah bulan setelah aku memilikinya, kami berpisah. Hubungan itu terputus.
Aku sungguh menyesali perbuatanku yang melepasnya begitu saja hanya karena dia
tak kunjung mendatangiku. Dia yang waktu itu bersekolah di Jakarta. Aku
termakan oleh ke-egoisanku sendiri. Aku sangat terpukul atas kejadian itu. Dia
pun menghilang kembali tak ada kabar sampai detik ini.
“Yu,
kamu masih mikirin Dante? Masih belum ada kabar dari dia?” tanya Via yang duduk
di depan mejaku, di kantin skeolah, menatap khawatir temannya ini.
“Belum,
mungkin nanti. Aku percaya kok, suatu saat kalau aku terus bersabar menunggu,
dia akan kembali.” Jawabku tersenyum lemas.
_***_
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)