“Mau
kamu gimana Vey?” tanya Wahyu padaku, di seberang telfon genggam yang ku
pegang.
“Aku gak bisa terus begini! Aku
ga liat sama sekali pengorbanan kamu untuk aku!” Ucapku sedikit membentak.
Lorong sekolah yang hening membuat suaraku memantul di antaranya.
“Jadi kamu gak sanggup?!”
tanya Wahyu sekali lagi meyakinkan.
Aku tak tahu harus
menjawab apa, aku sayang dengan Wahyu, tapi tak yakin dia benar-benar
menyayangiku seperti halnya yang aku rasakan. Sekejap saja telfon genggam yang
tadinya menempel di kupingku, kini sudah berpindah tangan.
“Kalo lo gak serius sama Vey,
tinggalin dya!” bentaknya keras pada Wahyu. Tak lama dia berkata lagi ‘oke!’
secara keras dan menutup telfon genggamku. Aku tak percaya, yang ku lakukan
hanyalah bengong seperti sapi ompong.
“Apa yang lo omongin tadi? Parah
lo!” teriakku yang akhirnya sadar dari kebengonganku tadi.
“Udahlah Vey! Dia gak serius
sama lo! Gak usah di pertahanin lagi kenapa sih?!” bentaknya padaku, sehingga
mampu membuatku terdiam dan kesal.
“Atas dasar apa lo kayak gitu? Gue
jadi putus kan sama Wahyu! Gue sayang sama dia!” teriakku tak mau kalah. Tapi
dia hanya mengembalikan telfon genggamku dan langsung beranjak pergi.
“Heh, gue benci sama lo Reeey..!!”
teriakku sekuat tenaga agar dia yang sudah hampir jauh mendengar. Kalau bisa
semua orang harus tau betapa keselnya aku saat itu.
Yah, Reyza adalah sahabatku
semenjak masuk SMA, di sekolah ini ada dua jurusan, yaitu SMA dan STM. Entah
bagimana caranya aku yang SMA bisa sedekat ini dengannya yang di STM. Reyza itu
aneh, semenjak kelas dua ditahun kemarin, dia semakin perduli denganku. Mau
tahu saja semua urusanku. Tapi aku cukup senang dengannya yang perhatian dan
selalu membelaku saat aku diganggu teman-temannya. Bahkan ceweknya mungkin tak
seberuntung aku. Entahlah.
_***_
K
|
u lihat semua
foto-fotoku bersama Rey, begitu bahagia kami saat itu. Tapi ku temukan satu
foto yang terselip di balik bingkai itu. Setelah aku ingat, itu foto 3 bulan
lalu saat ada rekreasi sekolah seluruh anak kelas 3. Di foto itu aku sedang
menangis di bahu temanku, yah aku yakin itu karena Wahyu. Dia selalu membuatku
menangis.
“Tunggu dulu, kenapa ada Rey di
belakangku?” ku lihat jauh tapi aku yakin mataku masih normal bahwa Rey hampir
menangis memperhatikanku, atau itu hanya karena ia habis menguap. Aku tak
yakin. Ngomong-ngomong tentang Rey, aku merindukannya setelah 3 hari kami
bermusuhan sejak kejadian itu.
Tiiin...Tiiin...
Dukduk..Dukduk..
Pagi-pagi gini masa ada demo depan rumah aku? Berisik
banget sumpah! Omelku dalam hati yang masih mengantuk
dan tergolek lemah di ranjang kasurku yang nyaman.
“Woy! Bangun! Dasar tukang
tidur, jangan bikin gue ikutan telat!” teriak seorang cowok, sembari
manarik-narik selimutku dan tangaknku hingga aku terbangun. Ya ampun hampir
saja aku di peluknya, saking kuatnya dia menarik lenganku.
“Buset! Ngapain lo di kamar gue?”
teriak aku yang jelas saja kaget melihat Rey di depan mataku.
“Cepat mandi! Gue tunggu di
depan! 15 menit gak ke depan, gue tinggal!” ucap Rey meninggalkanku begitu
saja. Aku masih mencerna kata-katanya, aku pun langsung saja mandi dan cepat
bersiap-siap. Sudah 3 hari ini aku tidak di bonceng motor matiknya Rey lagi
karena pertengkaran itu.
Ya ampun aku telat 15 menit,
pasti ditinggal. Aku panik karena sudah terlambat, tanpa basa-basi langsung
saja aku nyelonong keluar pagar rumahku untuk mencari taksi. Tiba-tiba saja ada
yang menarik lenganku, cukup sakit hingga menyadarkan aku bahwa itu Rey. Malu
sekali aku, ternyata dia masih menunggu di samping rumahku meski aku terlambat.
Di jalan kami hanya saling diam, anehnya aku merasa jantungku berdegup kencang,
beda dengan biasanya. Padahal sudah beratus kali aku di bonceng olehnya.
Akhirnya sampai juga di sekolah,
ujung-ujungnya kami berdua tetap dijemur di lapangakn sampai bel istirahat
selesai. Nah, ini baru pertama kalinya aku merasa bahagia di jemur bersama Rey.
Aku senang semua orang mengetahui kedekatan kami, mereka mengakuinya termasuk
kekasih Rey.
“Elu sih, lama banget
dandannya!” ejek Rey memulai.
“Enak saja, kenapa lo nungguin
gue! Siapa pula yang nyuruh lo ke kamar gue?” jawab aku tak mau kalah lagi dan
lagi. Tapi belum sempat Rey membalas, Shinta memotongnya dengan sebuah kalimat
yang tak mengenakan.
“Apa? Kamu ngapain say ke kamar
dia? Mending juga ke kamar aku.” Ucapnya sok imut, sembari merangkul lengan Rey
yang sedikit berotot. Aku lihat Rey gugup, karena merasa tak enak di depanku. Sungguh,
entah kenapa hatiku panas. Pas sekali jam istirahat selesai, aku pun ingin
sekali cepat pergi dari sini.
“Vey! Kalian udah baikan kan?
Aku yang suruh Rey jemput kamu tadi supaya kalian bisa baikan lagi.” Ucapnya
tersenyum padaku sebelum ku beranjak dari tempat itu.
“Iyah, udah ko. Makasih Shin,
duluan ya.” Jawab ku dengan senyum garing dan berlalu.
Lima
meter sudah ku menjauh dari mereka, ku lihat mereka begitu dekat. Jadi Rey
datang bukan untukku melainkan karena Shinta. Aku kecewa, ada apa denganku? Aku
berjalan dengan penuh emosi, ku masuki kamar mandi wanita dan menatap wajahku
di cermin. Apa yang ku pikirkan? Kenapa
hatiku sakit? Padahal mereka sudah lama dalam hidupku, dan aku enjoy saja di
dekat Rey dan Shinta. Batinku bertanya-tanya.
Ku basuh mukaku dengan air,
berusaha menenangkan hati dan pikiran. Saat ku keluar Rey menghadangku di depan
pintu. Ku lihat Arman yang langsung pergi meninggalkan kami berdua, sialan
Arman! Dia tahu aku cemburu dan mengadu pada Rey.
“Lo cemburu?” tanya Rey tanpa
basa-basi membuatku panik.
“Terus lo peduli?” jawabku
sekenanya.
Bodoh,
sudah jelas terlihat aku cemburu jika jawabanku seperti itu. Aku pergi mengindarinya,
tapi lenganku ditariknya dan memepetkan tubuhku di tembok. Sial sekali sekolah
sepi karena ini jam belajar, tentu saja membuat Rey berani melakukan ini
padaku. Jarak antara wajahku dan wajahnya terlalu dekat untuk sekedar bicara.
“Mau apa lo?” tanyaku sedikit
takut jika dia merasakan debar jantungku yang keras.
Bukannya pergi, Rey
lebih mendekatkan wajahnya padaku. Lama-lama seluruh tubuhku mendidih jika
begini. Tak sanggup melepas tahanan Rey pada tubuhku, aku hanya mampu menutup
mataku. Dan sebuah kecupan lembut mendarat di dahiku. Maaf bukan seperti yang
kalian pikirkan lho.
“Kamu sakit? Dahi kamu panas. Aku antar pulang
ya?”ucap Rey padaku tiba-tiba.
“E....Enggak kok. Gue cuma
cape. Lo pulang bareng Shinta aja.” Jawabku segera meninggalkan Rey yang kebingungan.
Apa-apaan dia barusan? Bodoh! Mungkinkah ini cinta? Rey itu cakep, tinggi
ideal, rambutnya yang rapih seperti Fandy Christian. Tapi Rey adalah sahabat
terbaikku, diapun milik Shinta. Akan lebih menyakitkan bila ku biarkan hati ini
berkembang. Aku ingin diriku yang dahulu.
_***_
“Vey, gue diputusin Shinta.
Bantu gue, lo tau gue sayang banget sama dia.” Ucap Rey padaku di malam hari
yang sunyi di teras rumahku.
“Kenapa bisa putus?” tanyaku
sedikit sedih namun senang juga mendengarnya. Yah, hatiku tidak bisa kembali.
“Karena gue terlalu dekat sama
lo. Bantu gue Vey, please.” Pinta Rey dengan wajah yang begitu melas. Sungguh
hati ini sakit, namun aku tak ingin melihat Rey seperti ini. Akhirnya aku
menyetujui untuk membantunya, setelah 2 hari aku terus berjuang memohon pada
Shinta untuk kembali pada Rey, sampai aku minta maaf atas kesalahan Rey, Shinta
pun kembali membuka hatinya. Dari dia aku tahu Rey pernah memiliki perasaan
padaku yang membuat Shinta memutuskan Rey. Aku sungguh terkejut, tapi sialnya
aku sudah terlambat, Shinta sudah percaya usahaku lebih cepat dari perkiraanku.
“Makasih ya Vey, gue udah balikan
lagi sama Rey.” Ucap Shinta padaku keesokan harinya di sekolah. Dia tersenyum
bahagia.
“Iya Shin, gue ikut seneng,
karena gue juga gak mau ngeliat Rey menderita. Dia udah sayang banget sih sama
lo daripada gue.” Balasku tersenyum meledek dengan hati yang sakit. Shinta
hanya tertawa dan pergi.
Malam minggu aku sendiri di
teras rumahku, mengobati luka yang kuperbuat sendiri. Bodoh sekali aku, mencintai
sahabatku sendiri, dan disaat ada kesempatan malah membantunya kembali pada
Shinta. Seandainya dia tahu perasaanku membalas perasaannya saat itu. Ya
sudahlah aku terima risiko ini, memang rasa ini harus diakhiri.
“Vey, gue temenin sampai pagi
ya?” tiba-tiba saja Rey datang. Aku kaget dan lagi-lagi sedikit bahagia, karena
tahu malam ini dia lebih memilih menemaniku daripada Shinta.
“Makasih, udah buat Shinta balik
sama gue.” Ucap Rey sekali lagi mengelus rambutku.
Senyumku kini
berubah 180 drajat. Lagi-lagi karena Shinta. Cintanya pada Shinta lebih besar
dari pada cintanya padaku. Aku hanya mampu kembali tersenyum dalam hati yang
perih.
“Selow aja kali, gue seneng
banget punya sahabat yang nyebelin kaya lo.” Ucapku pada Rey.
Tak segan-segan ku
peluk tubuhnya yang tinggi, sama seperti dulu saat di mana kami selalu
berpelukan seperti ini dikala rindu, sedih, bahagia, dan sebaginya. Tak perduli
dia merasakan debar jantungku yang keras atau tidak. Yang jelas malam ini ku
ingin memeluknya sepuasku.
Karya: Tantanet :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)