Sudah
hampir setahun akhirnya aku kembali menghirup udara pedesaan Majalengka. Ya, di
sinilah tempatku lahir. Semua saudara pasti berkumpul di rumah nenek dan
kakekku ini. Rasanya senang, berasa beban hilang jika sudah di sini.
Kulihat semua tante dan saudaraku
sudah di depan rumah menyambut. Mataku langsung tertuju pada Cia, sepupu tertua
di antara aku dan Vey. Senyum ini tertahan, namun sepersekian detik bibir ini
mampu membuat senyum untuknya.
“Halo Cia, halo teh Vey!” ucapku
memberi salam pada kedua saudara tersayangku itu.
“Nina, nanti malem kita main ke
depan pos itu ya!” teh Vey mulai semangat.
“Iya teh, aku mau istirahat dulu ya,”
jawabku.
Sampai kamar, ku jatuhkan tubuhku di atas
kasur dengan pakaian lengkap. Aku sedikit terbayang tentang aku dan Cia dahulu,
lama-lama mataku terpejam karena lelah dengan senyum di bibirku. Aku sudah
tidak mempermasalahkan masa lalu, mengapa? Karena kami saudara, Cia
satu-satunya saudara yang ku sayangi sejak kecil.
Sebentar sekali aku tertidur. Sudah
magrib, aku pun bangkit dari kasur untuk mandi dan shalat.
“Nina! Udah jam tujuh, ayo ikut ke
pos depan!” teriak Vey dari depan pintu rumah.
“Ngapain sih teh? Gelap,” jawabku
sedikit malas.
“Kita ngobrol lagi kaya biasa, ada Cia juga ko. Rany dan Zaky juga ada,”
“Iya deh,”
Bermain kembang api dan petasan di
pinggir jalan, menyenangkan sekali. Ingin rasanya terus berada di sini. Jika di
pikir-pikir, semua saudara kumpul, hanya Aa tertuaku A Erdy yang tak datang
karena dinas malam di rumah sakit. Bagaimana dengan dia? Salah satu sepupu
laki-lakiku yang ku panggil A Deny, sayang dia jarang sekali bertemu denganku.
“Bintangnya banyak ya?” entah aku
bicara pada siapa.
_***_
Tiga
tahun yang lalu.
Umurku
baru beranjak 16 tahun, saat hari lebaran seperti biasa semua saudara berkumpul
di rumah nenek dan kakekku. Kami bersalam-salaman, ada juga yang memberi salam tempel
alias angpau.
Saat hampir sepi, baru saja aku
duduk mataku tertuju pada satu orang yang berjalan memasuki lorong rumah
nenekku. Tanpa sadar kurapihkan sedikit rambutku yang sudah lepek seharian
bertemu saudara-saudara.
“Bu, itu A Deny kan?” tanyaku
berbisik.
“Iyah, ayo bangun!” jawab ibu
singkat.
Ya ampun, semakin dekat, jantungku
semakin cepat berdetak. Aku sudah berusaha biasa saja, namun kupingku panas
begitu aku bersalaman dengannya. Kulihat wajahnya sebentar sekali, aneh. Ya,
akhirnya penyesalan yang datang. Dia pulang, padahal ingin sedikit saja
mengobrol.
Ini
setahun kemudian.
“Pah, ayo berangkat. Pengen ketemu A
Erdy yang mau nikah besok,” ucapku semangat memasukan tas-tas ke dalam mobil.
“Iya, ayo. Udah semua kan? Nanti malem
kita tidur di Garut tempat Aa, biar langsung ke acaranya,” jelas Papah.
Sesampainya di sana, udaranya begitu
dingin. Semua orang sibuk untuk acara besok. Aku juga melihat Zaky dan Cia, aku
sudah biasa saja melihat mereka. Tak ku bayangkan, sudah pukul 12 malam aku
belum bisa tidur.
“Papah! Nyamuuuuuk! Kenapa kita
tidur di mobil?” tanyaku dengan melas.
“Ya rumah Aa-nya kan penuh sama
barang-barang. Semua orang juga ga pada tidur,” jawab papah.
“Terus, besok pagi mandinya gimana?
Acaranya mulai kapan?” tanyaku lagi.
“Ya, di dalam saja gentian. Acaranya
jam 10 pagi, udah tidur sana nanti ga bisa bangun besok pagi!” jelas papah
lagi, enteng sekali ucapannya.
Aku berpikir harus bangun pagi-pagi
sekali. Malu bagaimana jika aku yang baru mandi dan belum dandan sama sekali
acara sudah di mulai. Oh, tidak.
Akhirnya pukul lima subuh aku
bangun, mataku berat, sungguh. Setelah semua orang siap, tepat pukul 10 acara
di mulai, sedikit siang para tamu undangan bertambah. Aku duduk di samping Cia,
lalu mencari makanan. Melihat A Erdy dan istrinya yang sudah sah rasanya ingin
membayangkan suatu hari saat aku yang berada di atas pelaminan, apakah ada
cowok baik untukku? Lagi-lagi aku senyum-senyum sendiri saat berjalan kembali.
Begitu aku kembali duduk di samping Cia, tubuhku kaku sekali.
“Eh ada A Deny,” sapaku tersenyum
padanya yang duduk tak jauh di sampingku.
“Iya,” balasnya dengan senyum.
Pelan-pelan aku memalingkan wajahku, tapi aku
tak bisa menahan senyumku, pipiku sudah sakit menahannya. Aku bingung, ingin
ngobrol tapi malu. Tiba-tiba saja sms masuk ke hp-ku, waktu yang tepat.
Aku jadi bisa senyum sepuasku,
padahal sms-nya tidak lucu sumpah. Aku juga sedikit mengobrol dengan Cia, dan
memberanikan diri bicara dengan A Deny. Sudah dua kali perasaanku begini jika
bertemu dengannya. Apa mungkin suka? Ingin sekali aku bertanya pada Cia, namun
masih ada sedikit trauma karena masalaluku dengannya. Aku hanya bisa diam
memendam rasa yang membingungkan ini.
_***_
A
|
ku
tersadar dari lamunanku di masalalu itu, sudah hampir tiga tahun. Mungkin
sekarang waktunya aku bertanya tentang keraguanku pada Cia. Dia pasti mengerti
masalah cinta saudara ini. Tapi, Cia sedang asik ngobrol dengan Zaky.
“Nina, pulang yuk!” ajak Vey menarik
lenganku.
“Cia gimana?” tanyaku. Vey masih
diam sampai di depan pintu rumah.
“Aku ada masalah saja tadi dengan
Cia,” jelasnya pelan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku masih gak enak rasanya, harusnya dia
ngerti ada Nina di situ, tapi kenapa dia enak banget ngobrol dengan Zaky!”
ucapnya sedikit membentak.
“Udahlah teh, kan udah berlalu. Aku juga udah
gak masalah kok,” jawabku datar.
“Oke deh, sekarang udah gak apa-apa ko,” ucap
Vey sembari berjalan memasuki ruang tv. Aku terus mengikutinya dan
mendengarkan.
Aku
terkejut, di ruang tv ada A Deny yang sedang duduk sendiri. Aduh, kali ini apa?
“Nina, teh Vey salim dulu tuh sama
Aa baru datang,” ucap Ibuku.
Oke, tangan dan kakiku terasa dingin. Aku
hanya duduk di hadapannya, menonton acara tv yang tak kusukai sama sekali.
Tanpa sadar aku terus bertahan untuk tidak beranjak dari dudukku meski mata
sudah berat ingin tidur.
“Senangnya bisa liatin dia terus, sudah lama sekali
tidak bertemu. Sekarang beda, aku malah tambah suka. Ups, apa boleh?” ucapku
dalam hati. Di luar aku menahan senyumku, tapi di dalam aku terus berpikir
seperti itu.
Terlepas
dari pikiranku sendiri, ada peluang muncul. Tanteku bertanya pada A Deny.
“A, kenapa itu kakinya?” Tanya tante.
“Ouh, ini jatuh dari pohon,” jawabnya.
“Kenapa A?” tanyaku, suaranya sangat pelan
hampir tak terdengar olehku.
“Jatuh dari pohon, tapi gak apa-apa kok,”
jawabnya dengan senyum.
“Ouuuh,,” uh ingin sekali memberinya perhatian
lebih tapi ada rasa malu jika sudah menyukai seseorang sekalipun itu sepupu
sendiri.
Sebenarnya aku tak begitu memperhatikan
jawabannya, mataku terus menatapnya. Ini pertama kalinya mata kita bertemu,
lama sekali. Aku baru sadar bahwa selama ini senyum dan matanya yang mampu
membuatku ingin memilikinya.
“Aduh, kenapa dia gak buang muka
sih? Kenapa juga mataku nempel terus liatin dia,” ucapku dalam hati.
Aku terus tersenyum padanya, lama-lama
kupingku panas, nyerah deh. Aku palingkan mukaku ke tv, sedetik kemudian
kulihat lagi, dia masih melihat dan langsung memalingkan mukanya ke tv. Aku pun
menutup mulutku dengan bantal, senyumku lebar.
_***_
Hampir pukul sembilan dia pamit pulang,
langsung saja ku adakan pertemuan saudara seperti biasa di ruang tamu.
“Cia, A Deny itu kaya Zaky enggak?
Maksudnya, apa kita boleh pacaran sama dia?” tanyaku langsung.
“Hmm,, masih boleh kok. Teteh suka
ya sama Aa?” jawab Cia meledek.
“Ih, huusst! Jangan bilang-bilang,
untung teh Vey lagi ke dapur. Boleh gak sih aku suka dia Ci? Dari dulu tau,”
tanyaku penasaran.
“Hehe, boleh kok teh. Wah, nanti ada
yang ngasih pajak jadian nih,” ledeknya lagi.
“Lah, kaya dianya suka aja sama aku
Ci. Kan cuma aku doang yang suka,”
“Ngomongin apa sih? Aku denger loh,
cie Nina!” ucap Vey yang tiba-tiba muncul membawa minum.
Aku
langsung saja diam, semoga tak ada yang mendengar lagi.
_***_
S
|
eminggu
berlalu, Cia berkata padaku bahwa dia sedang smsan dengan A deny. Terasa ada
goncangan sedikit di hatiku, apa yang dulu akan terulang lagi? Baru saja A deny
meminta nomorku. Apa Aa bukan untukku lagi? Sudahlah aku menyerah, hanya mampu
meminta Cia untuk tidak mengulanginya seperti dulu sekalipun A Deny memang
bukan untukku.
Tapi aku masih ingin berusaha, saat
smsan dengan A deny aku ingin dia tahu aku suka meskipun tak ku katakan, tapi
takut untuk tahu reaksinya.
A deny bicara tentang menyukai sepupu apa
boleh atau tidak. Perasaanku tak enak, mungkinkah selama ini dia menyukai Cia? Awalnya
aku biasa saja menanggapi. Kemudian Dia membawa-bawa nama Cia. Rasanya ingin
menyudahi saja obrolan itu, aku tak ingin mendengar yang tak ingin ku dengar.
Ingin menangis.
Anehnya A Deny terus mancing-mancing aku untuk
menjawab siapa sepupu yang kusukai jika memang itu dibolehkan. Sekarang aku tak
ingin Dia tahu, tapi tebakan Dia selalu benar, dan itu memang menjurus ke Dia.
Sudah, aku tak ingin membalasnya.
Tak lama satu pesan masuk darinya, berisi
tentang perasaan A Deny sesungguhnya adalah aku yang disukainya bukan Cia. Sungguh,
tubuhku gemetar tak percaya. Tapi akhirnya memang begitulah kenyataannya. Tepat
tengah malam senyumku mengembang, rasa lega seperti baru terhindar dari badai.
Jauh saat pernikahan A Erdy dilaksanakan, getaran itu muncul secara alami.
Begitulah takdir kita dipersatukan.
A Deny milikku, bukan Cia. Mungkin sudah
takdirnya Zaky milik Cia. Agar keajaiban
itu datang, ku temukan yang sesungguhnya milikku sekali pun itu terlarang!
“Sssssstt.. Hanya aku, kamu, dia, dan dirinya
yang tahu.” :)
Karya: Tantanet :)
kisah nyata kamu yah dhe :')
BalasHapusmmm, ga juga ko ka.. :P
BalasHapusknp gitu?