Ya Tuhan! Cakeep! Aduh, gak boleh terpengaruh Lin.
“Apaan sih?
Suka-suka aku lah! Eh maksudnya gue!” jawabku salting.
“Cie masih aku
kamu ngomongnya. Jangan pergi dulu dong, di sini dulu aku kangen.” Ucapnya
tersenyum.
“Apa? Kangen? Yakin?” tanyaku
meremehkan.
Dia mengambil tanganku, menggenggamnya
erat, dan kepalanya tertunduk di meja seperti yang awal ia lakukan tadi. tapi
karena tangan satunya menggenggamku, aku bisa melihat dia tersenyum.
“Em, udah kan mas.
Ini uangnya.” Ucapku dengan cepat melepaskan tanganku darinya. Lalu kepalanya
terangkat.
“Udah bayar
setengahnya aja. Untuk kamu apa sih yang engga, oke mas?” ucap Fandy
mengedipkan satu matanya.
“Ha? Oke. Ini
setengah aja kan. Makasih ya Fandy. Daah!” lumayan dapet diskon. Evil laugh.
Aku langsung kabur keluar.
“Ih, gila! Ayo
cepet pulang!”
“Kenapa Lin?”
tanya Vey.
“Ih, nanti aja gue
certain di jalan.”
Tiba-tiba pintu warnet terbuka.
“Hati-hati ya
Lin.” Ucap Fandy tersenyum.
“Ooooh, gue
ngerti.” Ucap Vey dan Icha bersamaan, mereka tersenyum-senyum geli.
“Ih, iya deh.
Makasih!” jawabku jutek. Fandy pun tersenyum dan kembali masuk.
Kami langsung pergi, hanya 200m kami berdiri di depan warnet untuk
menyebrang. Kendaraan sedang penuh rupanya. Lalu ada yang memanggilku.
“Chaelin!” jangan
bilang itu Fandy lagi. Aku menoleh perlahan.
“Eh, Sendy?
Apaan?!” teriak ku karena jarak kita yang lumayan jauh. Dia melambai menyuruhku
menghampiri.
“Mmm, eh
temen-temen tungguin gue ya. Sendy manggil gue.” Pintaku dengan senyum nyengir
memohon. Ini pertama kalinya dia ingin bicara padaku semenjak kejadian itu.
“Iye, cepet sana.”
Jawab Icha.
Aku pun langsung kembali menghampiri Sendy yang sedang duduk di depan
rental playstation tak jauh dari warnet.
“Apaan?” tanyaku
yang berdiri di hadapannya.
“Duduk dulu sini.”
Kata Sendy
“Engga ah, aku
buru-buru di tunggu temen tuh.”
“Ya udah pulang
gih.”
“Lah tadi kenapa
manggil?”
“Gak apa-apa cuma
pengen kamu ke sini.” Dia tersenyum polos dan menawarkan punggung tangannya
padaku.
“Yeee, kirain
penting. Nah, ini apaan?”
“Salim dulu dong
kalo mau pulang. Cepet!” sedikit bingun aku meraihnya dan mencium tangannya.
“Ya udah hati-hati
ya.” Ucapnya kembali tersenyum.
“Iya.” Jawabku
manja dan hanya karena itu dapat membuatku melayang.
Aku pun beranjak pergi. Ya Tuhan, tiba-tiba Sendy kembali seperti dulu
begitu aku seneeeng banget.
_***_
Akhirnya hari kelulusan telah tiba.
Kami semua lulus! Kami berfoto-foto,
mencorat-coret baju dengan semua tanda tangan para murid dan guru. Setelah aku
bersenang-senang dengan teman sekelas dan anak SMA lainnya, aku mencari
anak-anak STM temanku.
“Woy, gue cari
teman-temen STM gue dulu ya di lapangan.” Aku pun pergi.
“Farid! Minta
tanda tangan dong! Gue ngefans berat nih sama lo!” ucapku tertawa.
“Jiah! Sini-sini
tanda tangan gue mah mahal.”
“Pede sangat sih
lu! Sinih, gentian lu juga ngefans kan sama gue dari dulu, ngaku dah!”
“Tau aja lo nih,
yang gede Lin!”
“Eh, Lin. Itu
Iqbal, yang dulu suka sama lo, dia sempet putus kan sama ceweknya karena lo.
Elo gak minta tanda tangannya?” ucap Farid menunjuk cowok hitam manis dan
seperti berandal yang sedang tertawa-tawa bersama teman sekelasnya. Tak jauh dariku.
“Mm, enggak ah.
Dia juga gak liat gue. Lagian ya, dia putus kan karena ceweknya aja masih SMP,
gampang cemburuan. Gue kan gak ngapa-ngapain, gue sama Iqbal kan sama aja kayak
gue ke elu, temen.”
“Masaaa? Tapi lu
juga pernah naksir kan?” Farid terus saja menggodaku.
“Apa deh lu! Kaga
laah! Belum pernah makan sepatu gue ya?” balasku protes.
“Lin, gue belum
dapet tanda tangan lo nih.” Tiba-tiba Putra yang sekelasku waktu MOS yang aku
dambakan diam-diam ada di belakangku.
“Wah, iya. Sini-sini.”
Ucapku senang. Kami memang sudah berteman dekat sekali, bersama Jay. Kami
sekelas MOS dulu. Ngomong-ngomong tentang Jay,,,
“Oya, ini
seragamnya Jay. Dia minta tanda-tangan lo juga Lin sama anak-anak yang lain.”
Ucap Putra tersenyum.
“Iya, semalem dia
juga sms. Gue sedih dia gak ada di acara kebahagiaan ini. dia malah di rawat di
rumah sakit. Padahal dia yang selalu nasihatin gue kalo lagi ada masalah.”
Jawabku sedih.
“Ya udah, kita kan
nanti bisa nengokin dia.” Ucap Putra menghibur.
Kami pun foto-foto. Sayang banget aku gak punya kenangan saat berharga
ini sama Gigi, kita udah lost kontek semenjak kejadian itu. Sakit setiap inget
dia.
Pada akhirnya aku
mengecewakan semua orang yang ku cintai. Bukan karena kemauan ku tapi keegoisan
yang belum mampu aku taklukkan. Intinya, aku benar-benar kehilangan Gigi, tapi Sendy,
Fandy, Icha, Vey, Farid, Jay, Putra, dan semua temanku, aku tidak kehilangan
mereka. Karena ternyata kami lebih dewasa dari Gigi.
_***_
Keesokan paginya aku langsung menyalakan televisi tanpa mandi. Tak
apalah, ini hari libur pertamaku sebagai seorang calon mahasiswi. Yea meski
masih empat bulan lagi aku baru mulai perkuliahan.
“Permisi!” teriak
seseorang di depan rumahku.
Aku mengintip di jendela, siapa pagi-pagi begini? Aku pede saja dan tak
ada firasat apapun, aku membuka pintu dengan masih mengenakan piama dan celana
pendek.
“Iya?” OMG! Pintu
terbuka dan aku terbengong melihat siapa yang ada di hadapanku sekarang.
“Hey, Lin. Baru
bangun ya?” ucap Sendy tersenyum.
Rambutnya yang halus dengan model Justin Bieber, melambai-lambai
tertiup angin pagi yang sejuk dan sinar matahari pagi menyinari wajahnya.
Betapa cakepnya, manisnya, polosnya sang kakak kelasku ini.
“Kok, bisa ke
sini? Oya, masuk dulu. Aduh aku belum mandi.” Ucapku panik mempersilahkannya
masuk ke dalam.
“Gak apa-apa kok,
aku cuma pengen mampir aja. Soalnya aku ada janji sama anak-anak di GOR depan
komplek kamu itu.” Jelasnya sembari duduk.
Aku hanya ber-oh saja dan tersenyum, lalu ayahku keluar menuju ruang
tamu dan melihat kami.
“Eh, om.” Ucap
Sendy meraih tangan ayah dan menciumnya. Ya ampun sopan banget dia, kan belum
aku suruh.
“Iya, temennya
Chaelin ya? Satu sekolah atau gimana?” tanya ayah sedikit tersenyum kaku.
Maklum ayah itu pemalu sehingga orang
yang belum mengenalnya akan berpikir bahwa ayah itu galak. Dari sekian cowok
yang ku kenal baru Gigi, dan Jay yang datang ke rumahku dan enggan memberanikan
diri member salam seperti Sendy dengan sendirinya seperti itu. Sungguh baru
Sendy seorang cowok yang berani, tak terlihat sedikitpun rasa takut di
wajahnya. Benar-benar polos.
“Iya om, saya kakak kelasnya di
sekolah.” Jawab Sendy tersenyum.
“Ouh, sekarang kuliah atau
kerja?” tanya ayah lagi.
“Kuliah om, di Universitas Negri
yang deket aja.” Jelas Sendy.
“Oh, yaudah ngobrol aja sama
Chaelin. Om mau keluar.”
“Iyah om silahkan.”
Ayah pun pergi,
aku seperti patung bodoh yang hanya mampu terpukau dengan apa yang dilakukan
Sendy pada ayahku. Ayah tidak cuek menghadapinya, aku lihat ayah senang.
“Kenapa Lin? Sanah mandi. Aku
tunggu, nanti aku ajak kamu nongkrong sama temen-temenku di GOR.” Ucap Sendy
lembut dan tersenyum. Aku pun tersenyum mengerti, dan ini adalah pagi yang
sangat cerah.
Cinta itu tidak sempurna, tapi karena
banyak cinta dari sahabat, mantan, teman, bahkan keluarga itu bisa
menyempurnakan sedikit demi sedikit. Jika terus di pertahankan, kesempurnaan
itu akan terlihat. Sekalipun keegoisan menguasai, tapi sebuah realistis dan
kedewasaan tidak akan memisahkan.
The End ^^
By: Tantanet :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)