A
|
khirnya, kuliah kami berakhir
pukul tiga sore. Rasanya aku tak ingin pulang, jika aku pulang pasti aku akan
menangis kembali. Apa ini takdirmu ya Tuhan? Kau membiarkanku melupakan binder
yang seharusnya aku bawa, sehingga aku harus kembali dan mengulur waktu. Sampai
pada akhirnya aku harus bertemu dengan Adit secara tak disengaja itu?
Sebenarnya apa rencanaMu?
“Nay,
udah sejam loh kita di depan sini. Lo gamau pulang? Jangan sedih terus.” Ucap
Aida yang duduk di sampingku. Ya, kami sedang duduk di bawah pohon rindang
depan gerbang depan kampusku. Cuacanya sangat mendukung, begitu mendung.
“Oh,
sorry Da. Yaudah lo pulang duluan aja gak apa-apa.” Jawabku tersenyum(maksa).
“Yakin?
Gue tungguin sebentar lagi deh ya sampe lo tenang.” Ucap Aida.
“Naya!”
panggil seorang cowok dari sebelah kiriku. Dari arah mobil gold yang terparkir
tak jauh dari tempatku duduk. Dia menghampiri kami.
“Adit?”
gumamku dalam hati.
“Nay,
gue pulang deh ya?” ucap Aida tersenyum penuh arti.
“Iya,
makasih ya Da. Hati-hati di jalan.” Balasku penuh senyum, ya ini senyumku tidak
memaksa.
Aku
dan Adit pun duduk berdua di bawah pohon itu. Aku tak pernah berpikir kita akan
duduk berdua sedekat itu. Aku bisa memandang wajahnya lebih dekat, tidak jauh lagi seperti dulu, bahkan sekarang aku
menyadari betapa lembutnya pandangan mata Adit. Tidak setajam yang aku lihat
dulu.
“Kamu
belum pulang?” tanya Adit memulai percakapan.
“Belum,
kan kosan aku deket tinggal jalan ke belakang kampus. Kamunya?”
“Aku
males pulang.” Dia menggeleng dengan senyum di bibirnya.
“Oya,
aku mau tanya soal yang kemarin,,,” aku belum sempat meneruskannya.
“Gak
ada kabar? Maaf ya, kemarin itu aku sibuk dan ada masalah dengan keluargaku.
Jadi yang megang hp-ku itu temenku. Mungkin yang ngebalesin kamu bukan Adit
lagi.”
“Oh
gitu, bukan karena masalah lain? Jangan ada yang ditutupin Dit, gak apa-apa
kok. Mungkin kamu udah punya pacar disana?” ucapku dengan nada sok asik.
“Engga,
pasti dari status sama DP aku ya? Itu cuma kenalanku di sana, aku dikenalin
sama temen. Jadi temen juga yang masuk-masukin kaya begitu.”
“Iya
deh kalo gitu.” Aku tersenyum, ini senyum yang menyakitkan. Kami terdiam
beberapa saat. Dia sedang ada masalah jadi wajahnya begitu menyakitkan di
mataku, dan aku sendiri sedang menahan sesak di dadaku. Hey, seorang cewek
sangat peka terhadap kebohongan.
“Yah
lowbet.” Ucapku ketika mengeluarkan hp-ku.
“Itu
hp kamu? Coba liat.” Dia langsung merebutnya dariku, tanpa ada jawaban ‘ya’
dariku.
“Tapi
udah lowbet, tuh layarnya aja udah gelap.” Aku memperhatikannya mengutak atik
hp-ku. Ya ampun dia membuka galeri fotoku.
“Jangan!
Jangan buka galeri di situ ada foto kamu!” dengan cepat aku merebutnya dari
tangan Adit. Oups! Apa tadi aku keceplosan? Gawat!
“Ih,
coba lihat!” dia merebutnya kembali. Tidaaaak! Batinku dalam hati. Akhirnya
kami saling berebut, suasana sudah sepi jadi terasa begitu ramai hanya dengan
suara kami yang berebutan gak jelas. Sampai tangan kami tak sengaja saling
bersentuhan. Hangat.
“Gak
apa-apa aku cuma pengen liat Naaay.” Ucapnya tertawa kecil.
“Gak
usah diliat ah, maap gak seharusnya aku simpen foto kamu. Balikin deh!” jawabku
masih berusaha mengambil hp-ku dari tangannya.
Tiba-tiba saja, sriiing....
Itu nada bahwa hp-ku sudah mati
sendiri saking lowbetnya. Kami terdiam saling melirik melihat hp-ku yang mati
begitu saja.
“Ahahaha,
tuh kan mati. Udah sini!” ucapku tertawa garing. Dia pun mengembalikannya.
“Alhamduliah
yah pasti kamu. Hehe.” Balas Adit. Aku hanya bisa nyengir seperti kuda. Fiuh.
Untung saja hp-ku mati.
Lalu kamipun diam lagi sejenak,
tadi begitu gembiranya aku dan dia. Tadi begitu lepasnya tawa kita, tadi begitu
leganya hatiku.
“Aku,,
aku pertengahan tahun ini mau ikut tes masuk kampus lagi.” Ucapnya tiba-tiba.
Angin sejuk itu menyapaku lagi di dalam kampus yang sudah semakin sepi ini
karena sudah semakin sore.
“Kenapa?”
“Aku
mau kuliah di Medan. Tempat asalku.”
“Jadi
kamu pindah? Gak di kampus ini lagi, di kota ini?”
“Iya,
aku kesini cuma karena keinginan orangtuaku.”
“Jadi
kamu di sini hanya 3-4 bulan lagi?”
“Iya,
itupun kalau aku keterima tesnya.” Dia melihatku tersenyum pedih. Aku terdiam
melihatnya, mataku mulai berair. Aku membuang pandanganku ke arah berlawanan.
“Kenapa?”
tanya Adit. Aku segera menarik nafas dalam-dalam.
“Engga
apa-apa.” Aku tersenyum, basi! Ini senyum palsuku.
“Oh,
iya aku gak suka tinggal disini. Aku lebih suka di sana, ingin sekali aja orang
tuaku mengerti pilihan yang aku ambil. Aku tak ingin ada di jalan mereka
terus.” Kepalanya menengadah menerawang daun-daun pohon yang lebat di atasnya.
Lalu merenggangkan tubuhnya.
“Yaudah,
aku doain semoga kamu bisa keterima tesnya, kalau itu memang buat kamu seneng.
Daripada disini tapi kepaksa.” Ucapku. Dia hanya tersenyum dengan ucapanku.
“Besok
kosong ga? Ada kuliah gitu?” tanyanya.
“Engga,
libur. Kenapa?”
“Besok
kita jalan yuk, kita nonton. Lagi ada film seru di bioskop.”
“Oh,
boleh aja.” Jawabku simple. Tidak, aku tidak merasa senang sedikitpun.
“Tapi
kalau jadi ya. Anak kelas aku juga ngajakin ke Bogor besok.”
“Iya
gak apa-apa terserah kamu aja.” Balasku tersenyum lebar(bohong!)
Kami pun pulang karena waktu
sudah menunjukan pukul lima lebih lima belas menit. Dia kembali menuju
mobilnya, dan aku berbalik menuju pintu belakang kampus.
“Aku
tahu kamu sedang berakting tadi. Bahkan sangat baik, seharusnya aku yang
melakukan akting terbaik itu. Aku tahu, kamu sudah memiliki cewek itu ketika
berlibur di kotamu. Asal kau tahu, cewek sangat mampu mencium kebohongan. Tapi,
aku diam dan tersenyum tadi bukan berarti aku bodoh. Aku pun hanya berakting,
supaya kamu tidak malu atas aktingmu yang sebenarnya jelek itu.” Ucapku pada
diriku sendiri, dan tersenyum penuh arti pada langit-langit mendung.
_***_
Kenapa
hari ini begitu mendung ya? Dari tadi siang, apa karena hatiku juga sedang
mendung? Sesaat tadi aku merasa kehangatan bersamanya, sedetik tadi saat kami
bercanda tawa, ada rasa senang menjalari tubuhku. Bahkan aku pun bisa
melihatnya di wajah Adit.
Kenapa? Kenapa
begini? Ini tidak adil. Dalam pikiranku berkecamuk bermacam asumsi. Mungkinkah
dia ingin kembali ke Medan karena wanita itu? Dan bisa saja semua alasan dia
tadi hanyalah omong kosong yang telah dia persiapkan, karena dia tahu aku pasti
akan menanyakan itu. Lalu, sikap dia berbeda sekarang, bahkan dia tidak berniat
mengirimiku pesan lagi. Aku merasa bahwa aku sudah diacuhkan,aku memang
bukanlah siapa-siapa baginya. Tapi ini semua terlalu tidak adil bagiku.
Bukankah
cinta itu dicari, bukannya hanya menunggu? Bukankah aku sudah berusaha
menemukan cintaku? Aku sebagai perempuan, memang harusnya diam menunggu. Tapi
tentu saja tidak sekedar menunggu tapi juga harus mencari yang mana yang
terbaik. Aku hanya berusaha mencintai seseorang dengan tulus, jika akhirnya dia
bukan jodohku lalu mengapa kami dipertemukan?
Kalau
saja aku tidak melihatnya mungkin aku tidak akan merasa ingin tahu. Kalau saja
sejak awal aku tidak diberi kesempatan untuk memiliki rasa suka sedikit saja
padanya. Semua akan baik-baik saja. Mungkinkah mencintai itu dosa? Apakah
memiliki perasaan suka pada seseorang itu dosa? Aku tidak berbuat macam-macam,
hanya memiliki rasa, apa itu dosa? Sampai semua itu bukannya menyenangkanku
malah menyakitiku sedalam-dalamnya.
Kupandangi
awan yang gelap karena mendung, angin dingin mulai merasuki tubuhku. Betapa
menusuknya hingga hatiku terasa begitu remuk. Padahal aku tersenyum memandang
awan gelap itu, tapi air mataku tetap tumpah mengalir dipipiku. Kini aku sudah
benar-benar terbangun dari mimpi panjangku.
_***_
Aku terdiam,
Aku memendam,
Aku menghilang.
Naff “Dosa Apa”
A
|
pril – Entahlah, aku merasa
hampa. Sebulan sudah Adit tak pernah lagi menghubungiku. Sebulan mondar-mandir
masuk kampus, sebulan ini aku lalui tanpa sehembus udara pun darinya. Aku tahu,
kami berada di satu kampus yang sama, gedung yang sama, hanya berbeda beberapa
lantai. Aku tak lagi merasakan kehadirannya sejak kejadian itu. Dia lenyap. Aku
mengerti di titik inilah aku harus kembali ke langkah awalku, langkah dimana aku
belum pernah melihatnya sama sekali.
“Nai,
dia kemana?” tanya Aida membuyarkan lamunanku.
“Oh,
mana gue tahu. Udah pindah mungkin” aku hanya melirik Aida sekilas.
“Kata
siapa lo? Sejak kejadian itu kalian udah gak ada komunikasi kan?”
“Iya.
Mobilnya pun udah gak pernah ada di parkiran.” jawabku singkat tanpa menoleh
sedikitpun dari awan mendung yang sejak tadi kupandangi.
“Hmm,
udahlah Nai. Kenapa masih lemes gini? Dia nyakitin lo yang berarti dia gak baik
buat lo. Udah yuk, balik udah sore nih.”
“Oh,
udah sore yah. Ayo! Sorry ya Da, mulai sekarang gue bakal reset ulang pikiran
dan hati gue kembali ke saat sebelum gue liat dia.” Ucapku tersenyum lebar.
“Nah
gitu dong!”
_***_
“Wah, udah
akhir tahun aja. Pada malam tahun baruan nih.” Ucapku melihat kalender di atas
meja.
“Dan ini malam
yang damai, ya setidaknya begitu kelihatannya. Bintang-bintang berkumpul, bulan
yang hampir bulat.” Kupandangi langit malam itu dari jendela kamarku.
Yah, berapa
lama aku terlamun? Kejadian itu sudah lama aku lupakan. Bahkan sekarang aku
lupa mengapa aku bisa menyukainya. Air mata tadi adalah tetes terakhir untuk
mengenang betapa unik dirinya. Karena hanya dia satu-satunya lelaki yang 80%
memiliki pikiran sejalan apapun itu denganku. Untuk pertama kalinya, hanya dia
seorang. Itulah uniknya.
Aku
berjanji pada diriku sendiri untuk menyimpan kenangan itu tapi tidak rasa itu.
karena akulah yang memilihnya saat itu, dan aku yakini dialah sosok impianku
sejak dulu. Kelak kenangan itu pasti menjadi suatu hal yang indah dan lucu.
Rrrrr...Rrrrr
Satu pesan baru masuk ke hp-ku.
Randy
Nai, udah siap? Sebentar lagi aku nyampe
rumah kamu.
Naia
Oke, sebentar lagi aku siap.
Setelah aku
memoles sedikit lipgloss pada bibirku, aku kembali berkaca. Betapa bahagianya
aku saat ini, dan aku berlari menuju pintu depan ketika mendengar suara bel
dibunyikan.
“Hai, sayang. Yuk, jalan.”
Ucapku menyambut hangat lengan Randy yang terlihat tampan malam itu.
“Ayo. Kenapa kamu senyam-senyum
gitu? Kayanya lagi seneng ya?”
“Iya, seneng bisa milikin kamu.”
-Tamat- ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)