M
|
aret – Sudah seminggu Adit tidak
membalas BM-ku. Aku hanya mampu berpikir positif bahwa dia sedang sibuk. Tapi
status-statusnya menyebutkan nama cewek, bahakan fotonya. Entahlah, aku tak
mengerti mengapa dada ini begitu sesak.
Aku hanya ingin mencintai, lalu kenapa mencintai begitu menyakitkan seakan
mencintai adalah dosa besar?
Ini
terlalu mendadak bagiku, kami yang tadinya sangat baik-baik saja lalu keesokan
harinya dia sudah menghilang tanpa alasan apapun. Seandainya aku tidak memilih
untuk mencintainya, aku tak akan sesakit ini meski dia bukan siapa-siapa aku.
Seandainya dia tidak sesempurna khayalku, aku tidak akan begitu
membanggakannya.
“Kamu
bilang, kamu mau menemaniku jalan karena kita sama-sama selalu berjalan sendiri.
Lalu kapan itu akan terwujud bila kamu menghilang begitu saja?”
“Kamu
bilang, kamu mau mengajakku menonton anime bersama karena kita menyukai satu
hobi yang sama itu. Lalu, apakah suatu saat akan terlaksana bila kamu
menghilang begitu saja?”
“Kamu
bilang, sifat kita sama maka kemungkinan kita berjodoh. Lalu, apa yang kamu
lakukan sekarang padaku? Bila kamu menghilang begitu saja, jodoh apa yang kamu
maksud?”
“Kamu
bilang, kamu akan baik terhadap orang yang baik padamu. Lalu, aku bagaimana?
Apa salahku sampai kamu pergi menghilang tanpa alasan dan membuatku menangis?”
“Kamu
bilang, kamu senang dengan sifatku yang selalu care padamu karena kamu rasa itu
sulit menemukan seseorang yang peduli padamu. Lalu, bagaimana kelanjutannya?
Aku sakit, sedih, menangis tapi kamu menghilang begitu saja.”
“Kamu
bilang, tidak ingin memikirkan pacaran. Lalu apa maksud statusmu, foto DP-mu,
dan BM-ku yang hanya kamu read seminggu ini?”
Aku menangis mengingat itu semua,
membaca semua percakapan kita sebelumnya. Semua terasa begitu tak berarti,
begitu terasa seperti angin lalu.
Apa
salahku ya Tuhan? Aku sudah sejauh ini mengenalnya, lalu mengapa kau biarkan
dia pergi begitu saja menyakitiku? Ingin sekali aku melepasnya seperti yang
dikatakan teman-temanku. Tapi jika aku teringat akan perjuanganku mengenalnya,
itu begitu sulit dan berat.
Sejak
dia melihatku, lalu aku mulai tertarik untuk mengenalnya, dan kuberanikan diri
mencari tahu siapa dia, sampai akhirnya aku bisa mengobrol dengannya hanya
melalui dunia maya. Untuk apa semua itu jika akhirnya dia akan menyakitiku
begitu dalam? Aku sudah terlanjur berharap padanya, aku tahu itu memang
salahku. Tapi aku, bahkan semua orang tak mengharapkan sakit yang sesakit ini
bukan?
Sungguh
hati ini sakit sekali, aku sudah menangis sepuasnya. Tapi setiap mengingatnya
air mata ini tak pernah habis. Aku lelah.
_***_
Seminggu sudah aku kembali masuk
kuliah dari libur, tapi aku tau Adit baru akan masuk Senin ini. Aku ketahui
dari percakapan kita sebelum dia menghilang.
“Aku
harus melakukan peran terbaikku hari ini. Aku akan berpura-pura tak mengenalnya
jika aku berpapasan dengannya atau bagaimanapun itu.” Ucapku dalam hati.
Pukul 08.45 aku berjalan keluar
kosanku yang berada di belakang kampus. Tak jauh, hanya sekitar 100 meter. Perlahan
namun pasti. Jadwal kelasku sebenarnya pukul setengah sepuluh, tapi aku sengaja
datang lebih awal supaya aku tak bertemu dengannya. Aku tahu jadwal dia pagi
tadi, dia akan keluar kelas pertama pada pukul setengah sepuluh kurang biasanya.
Aku
masuk melalui pintu belakang kampus. Saat di kampus, aku masih merasa tegang,
aku takut tak melakukan peran terbaikku. Aku melihat sekitar, tak kutemui mobil
berwarna gold yang biasa ia bawa. Aku merasa sedikit lega. Kemudian entah
mengapa kaki ini menuntunku menuju jalan gerbang kampus depan.
Di
sana pun terdapat parkiran, dan itu dia. Mataku tertuju pada sebuah mobil yang
terparkir manis diantara lainnya. Mobil gold, satu-satunya warna mobil yang
terparkir di tempat itu.
Degh,
Kenapa? Sakit, kenapa kakiku melangkah
ke tempat ini? Seharusnya aku langsung menuju gedung kampus. Aku tak tahan, air
mataku sudah menggenang seperti awan mendung yang akan menumpahkan seluruh
isinya.
Aku
berlari menuju toilet parkir yang berada di dekat situ. Untung saja tak ada
orang sama sekali. Aku menumpahkan seluruh tangisku.
“Sudahlah
Nay, berhenti! Aku mohon berhentilah menangis. Lihatlah dirimu di kaca, betapa
bodohnya dirimu menangis untuk orang yang menyakitimu!” aku bicara pada diriku
sendiri berusaha menguatkan hatiku yang rapuh ini.
_***_
Aku kembali menuju gedung yang
seharusnya aku tuju. Waktu menunjukan pukul sembilan tepat.
“Ya
ampun! Binderku tertinggal di kosan!” aku terkejut, langsung saja aku berlari
kembali menuju belakang kampus, dan menuju kosanku. Untung masih pukul
sembilan. Jika saja binder itu tidak penting aku malas kembali. Tapi dalam
binder itu terdapat tugas-tugasku hari ini. Jika aku tak mengumpulkannya, jelas
aku tidak akan mendapat nilai.
“Hey
Nay! Kenapa lo ngosh-ngoshan gitu? Kaya abis maraton.” Tanya Aida. Kami
berpapasan di depan gedung satu ketika aku sudah kembali, membutuhkan waktu
lima belas menit.
“Iya,
gue abis maraton tadi ngambil binder gue yang ketinggalan. Sial emang.” Jawab
ku sembari mengatur nafas.
Wuush...
Saat kami akan masuk gedung satu,
tiba-tiba semilir angin sejuk melewatiku. Langkahku berhenti, mataku terpaku
pada satu orang di depanku. Kembali, waktu seakan kembali berjalan lambat.
“Eh,
Nay!” ucapnya tersenyum padaku. Aku hanya mampu membuat garis senyum dibibirku
perlahan. Aku masih shock dengan apa yang aku lihat ini. Kemudian dia pergi
melewatiku begitu saja bersama seorang temannya.
“Nay!”
panggil Aida menyadarkanku.
“Kenapa?
Kenapa gue harus ketemu dia?” ucapku pelan, datar, dan masih berdiri terdiam.
“Udahlah
Nay, harusnya lo seneng dia ngenalin lo, dia nyadarin keberadaan lo, bahkan dia
senyum sama lo. Berarti mungkin dia punya alasan kemarin kenapa nganggurin lo.
Udah yuk kita naik, sebentar lagi dosennya masuk.” Ucap Aida. Aku hanya mampu
diam.
Selama pelajaran berlangsung aku
terus diam, sesekali air mataku hampir menetes, kemudian aku usap secepat
mungkin. Tidak lucu kan aku menangis saat dosen sedang berkicau?
To be continued... ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)