Setahun sudah
berlalu begitu saja tanpa aku bisa akrab dengannya. Selalu saja tak dapat
mengobrol lebih lama, aku hanya mampu menyapanya dan bicara padanya jika dia
menanyakan sesuatu padaku atau sebaliknya. Satu tahun di kampus yang sama, di
kelas yang sama. Akhirnya di tahun kedua kami kuliah, kami kembali bertemu
dalam kelas yang sama. Setelah ini tidak aka nada lagi pertukaran siswa/siswi,
mulai sekarang hingga lulus kami akan terus dalam kelas yang sama.
|
Meski aku dan dia hampir tidak
pernah saling bicara, tapi entah mengapa kami selalu mendapat panggilan ke
depan kelas setiap mata kuliah. Entah itu untuk menuliskan sesuatu materi atau
menjelaskan sesuatu materi. Begitu saja aku sudah merasa senang, aku tidak
meminta lebih darinya untuk bisa menjadi kekasihku. Aku sudah memilih untuk
hanya mengaguminya saja.
“Dana, kita udah tingkat dual
oh!” ucap Yuna mengagetkan lamunanku.
“Oh, iya. Terus?” tanyaku tanpa
ekspresi.
“Yaa, kapan lo mau coba lebih
deket sama Riyu?” jawab Yuna.
“Gue gak tau. Gue akan tetep
seperti dulu aja, duduk di belakang memandangnya tanpa dia tau perasaan gue.
Begitu juga gue ngerasa lebih tenang.” Jelas ku dengan nada lemas namun yakin.
“Hmm, iya udah kalau itu pilihan
lo. Berarti perasaan lo harus tetep di tempat atau lo kurangin supaya lebih
aman.” Ucap Yuna sok bijak.
“Hahaha, apa sih lo? Iya udah
gue batesin ko biar ga keluar. Haha..” jawabku sedikit bercanda. Kami pun hanya
tertawa-tawa tak jelas.
Sekarang kelasku berubah, ada
yang berpindah ke kelas lain dan ada yang dari kelas lain masuk ke kelasku.
Semua itu karena hasil nilai IPK kami. Aku bersyukur tetap di kelas yang sama,
kelas pertama, dan tentu aku juga bersyukur bisa sekelas lagi dengan Riyu.
_***_
Dua bulan sudah
kami belajar di tingkat dua ini. Aku heran, mengapa aku begitu santai dalam
kuliah. Entah karena jurusanku Perfilman yang tak begitu sulit atau karena aku
yang menyepelekan. Sudahlah, yang penting aku akan terus semangat pergi kuliah.
Pagi ini, mata kuliah pertama.
Aku menyadari ada seseorang yang lain yang berusaha mendekati Riyu. Aku
perhatikan perempuan itu adalah Lisa, saat tingkat satu dia berada di kelas
ke-3. Benar saja, mereka begitu dekat dan akrab. Aku merasa sedikit kesal
melihatnya. Aku merasa semua tidak adil, aku yang sudah menyukai Riyu dari
tingkat satu tapi mengapa Lisa yang baru kenal bisa langsung seakrab itu?
Mungkin aku kesal pada diriku sendiri lebih tepatnya.
“Yuna! lo suka merhatiin Lisa
sama Riyu gak sih? Kenapa mereka bisa sedeket itu? Emangnya mereka temenan
waktu tingkat satu?” tanyaku bertubi-tubi.
“Aduh, iya gue merhatiin kok.
Sabar ya Dan, tapi gue gak tau mereka itu dulunya temenan atau enggak.” Jawab
Yuna.
“Ya udahlah, gak apa-apa.”
Balasku.
“Gue bilang juga apa. Harusnya
dari dulu lo deketin Riyu, anggep aja dia temen biasa kaya yang lainnya.” Jelas
Yuna.
“Gak bisa Yun, kalau ada
perasaan ya pasti gak bisa biasa aja. Lo juga begitu kan sama Rama, nyapa aja
gak berani lo. Mending gue kemana-mana masih bisa nyapa dia.” Jawabku tak mau
kalah.
“Ih, lo mah ngebalesnya begitu!
Iya deh iya.” Jawab Yuna kesal.
Aku selalu
memperhatikan Riyu dan Lisa begitu akrab, sampai aku mengambil kesimpulan
sendiri bahwa Lisa menyukai Riyu. Tapi Riyu cowok yang baik, dia bergaul dengan
siapa saja itu wajar. Hingga suatu ketika di mana perasaanku itu semakin naik
dan turun bukannya berkurang.
Saat kelompokku akan melakukan
presentasi di depan kelas, aku menyadari Riyu yang biasanya selalu duduk dengan
teman-temannya di belakang kini ada di bangku paling depan. Aku melihatnya
dengan dalam karena ruangan sedikit gelap yang akan digunakan untuk menggunakan
sejenis Infokus. Aku tersadar bahwa dia ternyata menatapiku juga, aku langsung
membuang muka kea rah lain. Kenapa? Kenapa hatiku berdegup kencang? Aku akan
melakukan presentasi jadi tidak boleh gugup. Sampai presentasiku dan kelompokku
selesai dia tak beranjak dari bangkunya, meskipun sesekali aku meliriknya saat
dia terkantuk-kantuk. Aku tertawa sedikit melihatnya, apa yang dia lakukan?
Kalau tau dirinya tengah mengantuk lalu kenapa dia duduk di bangku paling
depan? Seharusnya di belakang dan semua siswa pasti tau strategi itu.
Minggu berikutnya kelompok lain
yang presentasi, aku mencari-cari Riyu. Ternyata dia duduk di bangku belakang,
padahal yang presentasi itu adalah salah satu temannya. Pertama aku merasa itu
hanya kebetulan. Lalu minggu berikutnya lagi pun dia tetap duduk di bangku
belakang, kemudian kelompok dialah yang berikutnya presentasi.
Saat itu, aku benar-benar tidak
tahu bahwa kelompok dialah yang maju berikutnya. Aku sedang duduk di bangku
paling depan dan berbincang sebentar dengan Yuna. tiba-tiba saja Riyu duduk
tepat di depanku, karena di situlah letak Infokus berada. Tapi, saat aku
menoleh padanya, dengan cepat dia membalikan badannya untuk melihatku, dia
tersenyum sangat-sangat lebar seolah seketika itu dia dapat membaca perasaanku
yang sudah ada sejak tahun lalu. Aku begitu terkejut, senyumku kaku
membalasnya, entahlah mungkin aku tampak terlihat bodoh saat itu.
“Kenapa Riyu? Kok senyam
senyum?” tanyaku akhirnya dengan nada sedikit parau. Semoga saja dia tidak
mendengar detak jantungku yang bergemuruh.
“Enggak ko. Gak apa-apa cuma
pengen senyum aja.” Jawab Riyu yang masih tersenyum padaku.
Aku hanya mampu menjawab ‘Oh’
saja. Begitulah, aku ingin sekali banyak bicara dengannya namun aku merasa ada
sesuatu yang menahanku. Sesungguhnya aku tidak tahan untuk tersenyum lebar jika
Riyu yang melakukan itu padaku. Aku langsung membalikkan badan. Kututupi mukaku
dengan binder untuk bisa tersenyum lebar tanpa diketahui Riyu.
Yah, begitulah hari-hariku
selama setahun belakangan hingga saat ini. semua senyum itu, perasaan itu,
debar jantung itu aku anggap hanya kesenangan pribadi saja di kampus. Aku
terlalu takut untuk berjalan lebih jauh padanya.
_***_
“Dana, gue punya Hot News!” ucap
Jeje melalui handphone. Ya, dia slah satu teman baikku yang dulu satu kelas
namun kini dia masuk kelas Sarjana Magister di kampus yang sama namun beda
wilayah.
“Apaan Je?” aku sungguh
penasaran jika ada Hot News.
“Gue denger dari temennya Riyu
yang satu kelas gue.” Ucapnya.
“Terus?” tanyaku.
“Hmm, menurut lo siapa yang suka
sama Riyu?” Jeje balik bertanya padaku.
“Lisa. Soalnya mereka deket
banget, akrab banget deh. Kenapa? Jangan-jangan Lisa bener suka sama Riyu?”
tanyaku semakin penasaran, hatiku berdegup.
“Bukan! Tapi Nissa. Dia itu dulu
mantan gue. Nyangka gak lo?” jawab Jeje santai.
“WHAT?? Nissa? Tapi dia gak
begitu deket. Iya gue gak nyangka lah. Oh, gue baru tau dia itu mantan lo.”
“Iya, mana ada sih cewek yang terang-terangan
berani ngedeketin orang yang disukain begitu. Justru Lisa itu malah sukanya
sama Rama.”
“Apa? Rama? Ya ampun, semua ini
gak kebayang sama gue sama sekali. Tapi tetep nyambung sih, ya ampun kenapa
pada cinlok gitu sih?”
“Yah gak tau gue juga, gue cuman
denger segitu doang. Udah ya Cuma pengen infoin itu aja kok. Haha.” Ucap Jeje
tertawa.
“Ah elu, seneng banget sih. Gue
merana ini, kenapa mereka bisa deket sedangkan gue yang udah setahun mendem
rasa gak bisa.” Jawabku kesal.
“Makanya, berani dong ngobrol
doang apa susahnya sih? Tapi jangan sampe lo yang nembak duluan.” Jelas Jeje.
“Ya iyalah, mana mungkin gue
yang nembak duluan!” jawabku tak terima.
“Eh, tapi lebih baik lo udahan
aja deh. Temenan aja biasa jangan suka. Lo tau kan kenapa?”
“Iya gue tau, karena dia beda
keyakinan kan sama gue? Gue juga udah ngebatesin dari awal Cuma sekedar
mengagumi.”
“Iya. Sabar ya, udah cari aja
yang lain!”
“Enak banget sih lo ngomongnya!
Ini perasaan woy! Haha, parah lo mah. Gue lagi berusaha ngebuang rasa ini
pelan-pelan.”
“Yaudah, inget jangan sampe lo
ngedeketin dia lebih jauh lagi!”
“Iye! Semoga aja gue bisa.”
Telfon pun
terputus setelah saling mengucapkan salam.
Aku bingung. Apa yang harus aku
lakukan setelah ini? hati ini rasanya sakit, tapi air matapun tak sanggup
keluar.
_***_
Sebentar lagi bulan terakhir di tahun ini. aku tak ingin terus
merasa penasaran. Aku putuskan untuk berani bertanya pada Eri, teman dekat Riyu
yang satu kelas juga denganku. Saat mata kuliah pertama berakhir, aku mencoba
bicara pada Eri.
“Eri. Gue boleh nanya gak sama
lo? Sebentar aja kok, jangan keluar dulu.” Ucapku menahan Eri yang akan segera
keluar kelas.
“Oh, boleh kok. Nanya apa Dan?”
jawab Eri lembut.
“Mmm, Riyu. Apa dia masih
ngarepin mantannya yang dulu atau mungkin dia sekarang lagi punya cewek?”
awalnya aku hanya ingin berbasa-basi, tapi aku tak tahan.
“Oh, enggak kok. Dia udah gak
mikirin mantannya itu lagi kok. Tapi yang deket sih ada.”
“Siapa? Di kelas ini ada gitu?”
“Enggak, di sekolah agamanya.
Mereka udah saling nyatain rasa sebenernya tapi ceweknya itu udah punya cowok
jadi mereka lagi bingung. Tapi mereka masih suka kontekan kok.”
“Ouh, gitu. Cewek itu satu
keyakinan sama Riyu?”
“Iya. Tapi gue pernah tanya ke
dia. Gimana kalau ada cewek yang suka
sama dia tapi beda keyakinan, apa dia mau? Katanya mau aja kalau si Riyunya
juga suka. Kalau udah jodoh ya gak apa-apa katanya.”
“Oh, gitu. Oke deh makasih ya Eri.”
“Iya sama-sama. Lo suka ya sama
Riyu?”
“Ah, enggak. Cuma tanya aja
kok.” Aku panik.
“Gak apa-apa kok. Gue juga tau
kok, kalau gak salah inget waktu di tingkat satu lo juga pernah kan tanyain
tentang dia?”
“Mmm, iya ya. Gue lupa. Haha..
tapi tolong jangan bilang Riyu ya.”
“Oke! Gue keluar duluan ya Dan.”
“Oh, iya. Bye!”
Aku terdiam sejenak.
Aku rasa sedetikpun Riyu tidak akan pernah menyadariku. Aku tidak masalah
dengan itu tapi ada sedikit rasa sedih di hatiku.
“Udah Dan, sabar ya. Kembali ke
keputusan lo aja, anggap ini semua Cuma hiburan selama di kampus.” Ucap Yuna
menghiburku.
“Iya. Gue putusin, akan kembali
mundur. Gue hampir aja melewati garis batas gue senidri.” Jawabku pasrah.
Ya, aku akan kembali duduk di
bangku belakang untuk melihat senyumnya tanpa dia ketahui seperti dulu. Aku
tidak akan melewati garis batasku sendiri.
_***_
Sejak akhir bulan
kemarin, aku sudah tidak pernah memperhatikan Riyu lagi. Tapi Riyu terkadang
mendekatiku dan berusaha bercanda denganku. Baiklah aku terima itu semua, aku
ikuti permainannya, tapi tidak untuk menumbuhkan rasa itu lagi. Riyu lebih sering
tersenyum padaku daripada sebelumnya. Tapi aku biarkan saja semua itu mengalir
tanpa membuat rasa ku kembali melangkah maju.
|
Pertengahan bulan ini kami
sekelas berencana pergi bermain ke Pulau Seribu di Jakarta. Kelasku tidak
semuanya ikut pergi, jadi dari kelas lain pun ikut pergi bersama. Kami semua
berkumpul kembali.
Kami berangkat dengan
menggunakan kereka, disambung dengan busway, lalu menaiki kapal menuju pulau
tersebut. Tak ada kejadian yang menarik antara aku dan Riyu saat itu, karena
Nissa terus saja mendekati Riyu, mencari perhatiannya. Kemana-mana selalu
bersama Riyu, bagaimana aku punya kesempatan? Aku merasa sedih, sedikit saja
aku juga ingin bisa dekat dengan Riyu.
Akhirnya ketika bermain di pulau
itu, aku selalu menghindari Riyu. Saat dia duduk di sampingku, aku berusaha tak
memperdulikannya, saat kita tak sengaja berjalan berdampingan, aku menghindar
sedikit menjauh. Aku hanya ingin tahu, apakah ini yang diinginkan Riyu? Aku
akan menjauh darinya.
“Dana, tuh Riyu. Samperin sana!
Mumpung lagi sendiri duduk di pinggir pantai.” Ucap Yuna menunjuk Riyu yang
baru saja duduk di atas pasir putih halus menghadap laut.
“Enggak ah, gue malu. Gue harus
ngomong apa nanti?” jawabku dengan hati yang sedikit berdegup.
“Yaudah, coba aja dulu jalan ke
sana. Siapa tau dia ngajak lo ngobrol atau duduk bareng.” Ucap Yuna menggoda.
“Hmm, oke. Gue coba, hehe.
Deg-degan gue.” Aku pun beranjak perlahan menghampiri Riyu dari belakang.
Tapi,,,
Langkahku terhenti beberapa
meter darinya. Sosok perempuan dengan celana pendek, rambut bergelombang
menghampirinya. Ya, itu Nissa. Aku lihat dia masih berdiri di samping Riyu yang
sedang duduk. Nissa sepertinya menanyakan sesuatu, aku tak dapat mendengarnya
karena angin laut. Lalau Riyu mengangguk dan tersenyum berkata sesuatu. Nissa
pun duduk di sampingnya, mereka terlihat mengobrol dan tertawa bersama.
Aku masih berdiri di tempat yang
sama, ku sentuh dadaku yang terasa sesak. Semakin sesak, air mataku menetes
perlahan membasahi pipiku. Aku terjongkok semakin lama melihat mereka, sakit
sekali. Sungguh aku ingin yang di samping Riyu itu adalah aku bukan Nissa.
Mengapa aku tidak pernah diberi kesempatan? Apa mungkin akulah yang salah. Ya,
akulah yang salah.
“Dana, ayo berdiri. Yuk kita
kembali aja ke cottage.” Ajak Yuna yang sedari tadi memperhatikan semuanya dan
menghampiriku untuk membantuku berdiri dan menenangkan hatiku.
_***_
“Gimana? Udah gak apa-apa?”
tanya Yuna dan Chelin bersamaan saat air mataku berhenti.
“Iya, udah gak apa-apa kok.
Makasih ya.” Jawabku tersenyum.
“Udah lah, lo gak bisa nyalahin
Riyu atau pun Nissa kan? Lo sendiri gak berusaha apapun untuk dekat dengan
Riyu. Bukannya lo udah memilih untuk hanya duduk diam?” ucap Chelin mulai
menasihati. Memang dialah yang lebih dewasa di antara aku, dan Yuna.
“Iya, lo bener. Gue gak berhak
apapun, tapi gue pikir Riyu sudah tahu bahwa aku menaruh rasa padanya. Yah,
entahlah mungkin aku yang terlalu pede.” Jawabku pelan.
“Sssst, yang diomongin datang
tuh.” Ucap Yuna menunjuk arah pintu depan.
Kami semua diam, sekilas aku melirik Riyu dan Nissa yang masuk
berbarengan. Aku tahu Nissa cewek yang lebih berani mendekatkan diri dengan
orang yang disukainya. Lalu, tak sengaja mataku dan Riyu bertemu. Dengan cepat
aku membuang pandanganku ke arah televisi di belakangku. Riyu pun berlalu
menuju ruang makan menghampiri teman-temannya.
“Dan!” ucap Riyu yang tiba-tiba
saja duduk di sampingku, sungguh aku terkejut.
“Ada apa?” aneh, tiba-tiba dia
bertanya seperti itu padaku.
“Mmm, gak apa-apa. Kenapa?”
jawabku sedikit lemas.
“Kok tiba-tiba lesu? Kenapa
hayoo!” Riyu menyenggol lenganku, mungkin berusaha menghibur.
“Gak apa-apa Riyu! Tuh Nissa
pengen ngobrol lagi kali sama lo.” Ucapku sedikit kesal, bodoh sekali. Riyu
menoleh mencari-cari Nissa.
“Mana gak ada Nissanya?” jawab
Riyu bercanda.
“Oh, ya carilah!” jawabku
semakin kesal. Aku pun bangkit dari duduk. Aku pergi meninggalkannya yang
terheran-heran melihatku. Aku pergi ke kamarku untuk beres-beres karena hari
sudah hampir senja, waktunya kami pulang.
_***_
“Ayo! Semuanya kumpul di dekat
kapal yang tadi!” teriak Rama sebagai ketua kelas yang bertanggung jawab
mengurus semua anggotanya.
“Ma, udah komplit nih
anak-anaknya. Langsung jalan aja.” Ucap Riyu.
“Oke! Ayo semuanya duluan, gue
di belakang supaya gak ada yang tertinggal.” Ucap Rama mengarahkan
teman-temannya.
“Cieee, pasti semakin suka deh.
Rama bertanggung jawab banget kan?” bisikku pada Yuna.
“Apaan sih Dan? Iya sih, gue
gitu loh yang suka.” Balas Yuna semakin terbang perasaanya.
“Haha, iya sih. Sedangkan gue
salah menyukai orang.” Balasku jadi lemas
“Udah deh, jangan lemes gitu.
Suka itu boleh kok sama siapa aja, sekalipun berbeda keyakinan. Asalkan jangan
melebihi.”
“Tumben lo bener? Haha”
Akhirnya kami
semua sampai di depan kapal yang akan kami naiki untuk pulang. Tapi berhubung
hari semakin senja, semakin terlihat matahari akan terbenam di ujung laut. Rama
memutuskan untuk mengundur waktu sebentar untuk melihat matahari terbenam
sebelum kembali pulang.
Kami pun kembali berhamburan
mencari tempat yang enak untuk melihatnya. Ada yang duduk di pasir ada yang
menyender phon kelapa, ada yang duduk di atas kap kapal, ada pula yang berdiri.
Aku dan teman-temanku lebih memilih berdiri.
Aku merasa damai melihatnya,
indah sekali. Sekitar lima menit lagi matahari benar-benar akan terbenam. Lalu
aku sadar ini begitu sepi dan sunyi, aku lihat ke sebelah kiriku, teman-temanku
sudah berada di belakang. Aku pun menoleh kea rah kanan.
“Ya ampun! Kenapa lo ngagetin
gue Riyu?” ucapku terkejut melihatnya sudah ada di sampingku.
“Emang gue hantu. Ga segitunya
kali lo kaget.” Jawab Riyu masih melihat matahari terbenam itu.
“Terus lo ngapain disini?” tanyaku
sembari menoleh sana-sini. Anak-naka lain masih di tempatnya seolah terhanyut
dengan matahri terbenam, dan teman-temanku tentu mereka senyum-senyum
melihatku. Tak ada yang tahu aku sedang berdiri berdampingan dengan Riyu
kecuali teman-temanku.
“Emang kenapa? Gak boleh ya gue
berdiri disini? Di samping lo?” jawab Riyu kemudian membalikkan badannya ke
arahku dengan senyum.
“Ya, boleh. Tapi gue rasa
Nissa lebih seneng.” Jawabku cuek.
“Kenapa harus Nissa kalau gue
lebih nyaman di samping lo?” tanya Riyu. Pancaran sunset ini membuat mata dan
wajah Riyu bercahaya.
“Gue gak ngerti.” Jawabku heran.
Lalu Riyu menggenggam kedua tanganku.
“Gue tau kok tentang perasaan
lo, gak perlu lo tutupin lagi. Cuma dengan tatapan lo, senyum lo, cara ngomong
lo ke gue itu udah beda.” Jelas Riyu.
“Kok lo pede banget sih?”
tanyaku tanpa memikirkan perasaannya, apa yang kau lakukan Dana?!
“Haha,, gue gak akan sepede ini
kalau gue gak yakin sama lo Dana. Meskipun ternyata gue salah, yaudah gue yang
bakal berusaha untuk membenarkannya.” Jawab Riyu sedikit malu.
“Mmmm…. Tapi, gue gak minta
apa-apa dari lo Yu sungguh. Maaf kalau lo gak nyaman. Gue udah berusaha untuk
tetap duduk di belakang lo.” Jawabku.
“Gue seneng ko, seneng banget
begitu sadar kalau lo punya rasa yang beda untuk gue. Kalau gue gak kepedean
begini gue gak akan pernah tau itu semua benar atau hanya gue yang kepedean.”
“Oh, ngeselin banget lo. Jadi
sekarang lo cuma pengen tau? Ah, lupain deh semuanya!” aku kesal dan malu. Kutarik
kedua tanganku darinya, tapi dia menahannya.
Aku tak sadar dia sudah memelukku erat, begitu cepat saat dia
menarik kedua lenganku tadi. Aku terdiam tak tahu harus melakukan apa.
Pelukannya sungguh hangat, berlangsung perlahan dengan hilangnya matahari dari
pandangan.
Riyu melepaskan pelukannya dan
tersenyum memintaku untuk tetap di sisinya, aku merasa kupingku salah dengar.
“Apa? Apa?” aku benar-benar tak
percaya.
“Dana, lo emang gak pernah tau
gue selalu merhatiin lo diam-diam sama halnya lo mandang gue diam-diam dari
balik layar. Ternyata cara lo itu benar, dengan gue mengikuti cara lo, gue bisa
ngeliat uniknya diri lo yang bisa buat gue senyum-senyum sendiri.” Jelas Riyu.
“Jadi, gak cuma gue yang
berjuang dan menahan semua ini?” tanyaku memastikan bahwa cintaku, usahaku
tidaklah bertepuk sebelah tangan.
“Iya, lo hebat udah nyadarin gue
tanpa lo ngedeketin gue kaya Nissa. Lo itu sesuatu banget. Haha...” Ucap Riyu
tertawa dan mengelus kepalaku lembut.
“Woy, semuanya udahan sunsetnya
nih. Ayo balik, semua ngantri ya satu-satu naik kapal!” teriakkan Rama membuat
kami semua tersadar. Semua pun mulai mengantri, aku lihat Nissa memandangi aku
dan Riyu dengan kesal.
“Jadi?” tanya Riyu sebelum kami
beranjak.
“Gak perlu lo tanya kali Yu. Iya
gue mau.” Jawabku singkat, padat, dan jelas.
Aku lega, rasa
yang terpendam selama setahun ini berbuah sangat-sangat manis. Apa yang ku
bayangkan sudah bisa terjadi. Kami tertawa bersama, kami bergandeng tangan
bersama, kami tersenyum bersama, dan kami selalu bersama. Dia memang tak dapat
ditebak jalan pikiran dan hatinya, tiba-tiba saja sudah menjdai miliku.
Satu lagi, selama di kapal Nissa
terus saja mendekatkan diri dengan Riyu. Tapi Riyu terus saja mendekatkan diri
denganku. Sampai di saat aku berada di luar untuk melihat pemandangan, Nissa
menghampiriku dan menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan Riyu. Tentu saja
aku tak menjawab, lalu Riyu menghampiriku. Dia meraih tanganku, dan berkata,,,
“Sayaaang, ayo ke dalem!
Nanti kamu masuk angin.” Ucap Riyu manja.
“Loh, Riyu! Maksudnya?” tanya
Nissa terheran-heran.
“Sorry Nis, jangan ganggu gue
mulu ya. Gue tuh gerah!” jawab Riyu beranjak pergi dengan menarik tanganku meninggalkan
Nissa sendiri.
Yup, aku lihat
mukanya yang kesal dan tak karuan. Hihi, maaf ya Nissa. Gue yang lebih dulu
menyukai Riyu, wajar kan kalau gue yang ngedapetin dia juga? Semua cewek yang
selama ini dekat dengan Riyu mungkin hanyalah saingan yang hanya lewat saja
kok. Karena Riyu untukku, harus untukku. J
By: Tantan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)