“Uwaaah! Aku terlambat! Jam berapa ini?” teriak Merry yang
masih terduduk di atas kasurnya. Dengan cekatan dia melihat jam di atas meja
sebelah tempat tidurnya, terkejut bahwa jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh
lewat lima belas menit.
“Tidak,
tidak, tidak. Aku ada rapat jam delapan pagi. Rapat pertamaku. Aku harus
cepat!” ucapnya sembari lompat dari atas kasurnya berlari kesana kemari mencari
handuk dan meluncur masuk kamar mandi yang berada dalam kamarnya. Berhubung dia
memang tinggal sendiri di kontrakan yang tak begitu luas.
10 menit kemudian….
“Oke oke,
jangan terburu-buru Merry. Hufft, mandi secepat ini membuatku tak pede
sebenarnya. Tak apalah orang kan tak tahu, toh aku sedang terburu-buru.” Ucap
Merry pada dirinya sendiri di dalam cermin.
Dengan kecepatan penuh dia berusaha berpakaian, dandan, dan
mengunyah roti tawar tanpa isi secara berbarengan. Akhirnya dia hanya
menggulung rambutnya yang panjang hanya sebahu itu menjadi konde ala-ala wanita
jepang yang ditusuk-tusuk dengan sumpit. Lebih tepatnya tusuk konde.
“Oh tidak
sudah setengah delapan lebih lima menit!” teriaknya melirik jam di tangannya
yang mungil itu. Semua sudah rapih, kemeja putih yang dilapisi blazer hitam dan
rok se-lutut yang juga berwarna hitam telah rapih seperti orang kantoran. Tak
lupa tambahan celana olahraga gombrang hitam miliknya saat di SMA dulu
dipakainya sebagai dalaman rok pendeknya. Bertujuan untuk mempermudah
mengendarai motor mungilnya. Tinggal memakai sepatu angkle-boots hitam yang
sedikit berhak tercinta miliknya.
Dengan sigap dia menyambar kunci motor yang menggantung di
sebelah pintunya. Kemudian mengunci pintu dan siap mengeluarkan motor matik
mungilnya dari depan kamar kontrakannya.
“Akh! Ayolah
nak nyalaaaaa!!!” sayangnya berkali-kali distarter, motor mungilnya tak jua
menyala. Terlihat meteran bensinnya sudah diambang sekarat.
“Oh bagus!
Semalam habis keliling bersama teman-teman kantor lupa mengisi bensin.” Ucap
Merry menepuk jidatnya. Dia berpikir dan berpikir. Waktu pun terus berjalan.
Lari… Merry memutuskan untuk berlari menuju halte busway
terdekat dari kontrakannya. Sekitar seratus meter jauhnya.
“Bagus! Aku
harus berlari pagi ini dengan hak lima centimeter-ku dan membawa semua
berkas-berkas rapat. Rapat pertamaku sejak aku masuk kantor. Hal sial apalagi
yang harus aku dapatkan setelah ini?” gerutu Merry sembari mengatur nafasnya
yang terengah-engah sesampainya di halte busway.
Jam
menunjukkan pukul delapan kurang 20 menit. Merry merasa khawatir, raut wajahnya
mengkerut dan sedikit berkeringat. Memang menggunakan angkutan umum ini hanya
membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh menit untuk sampai ke kantornya.
Seandainya motornya tidak bermasalah dia masih bisa mengendarainnya dengan
santai, tapi butuh waktu sekitar 30 menit belum lagi harus menghadapi macet.
Terlihat bus
yang akan dinaikinya akan sampai dari kejauhan, bus ini ada dua pintu.
Setibanya bus itu langsung diserbu oleh orang-orang yang antri di belakang
Merry. Dia pun terdorong-dorong masuk ke dalam. Semakin kesal hatinya. Dia pun
terjebak di tengah, dan mendapati masih ada satu kursi kosong di hadapannya.
Dengan segera dia berusaha menempatinya.
“Aw!” pekik
Merry karena tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang juga ingin menempati
kursi itu.
“Sorry,
silahkan duduk aja.” Ucapnya mempersilahkan Merry dengan lembut. Merry hanya
membalasnya dengan senyuman.
“Ah,
akhirnya dapat tempat duduk. Lumayan, kasihan kakikku sedari tadi berlari.”
Ucap Merry dalam hatinya. Lima menit berlalu, rasa kantuk mulai menyerang
karena dia terbangun tiba-tiba dan kelelahan. Lambat laun kesadarannya hilang
dan hanya tinggal gelap. Merry pun tertidur.
Seorang pria
yang tadi ada di hadapannya hanya memperhatikkan Merry yang tertidur, terkadang
dia membuat senyum di bibirnya. Terkadang dia memperhatikan jalan dari balik
jendela yang ada di balik kursi Merry. Terkadang dia mendengarkan dengan
seksama announcer bicara, berharap
tujuannya tidak terlewat.
Halte Bundaran
Senayan!
Terdengan announcer kembali
mengingatkan halte yang sebentar lagi akan disinggahi.
“Ah, sudah
sampai. Aku haru siap-siap turun.” Ucap pria tadi. Tapi sebelum melangkah dia
berhenti sejenak melirik Merry yang masih tertidur.
Pintu akan tertutup,
mohon berhati-hati.
Pria itu
akhirnya hanya tersenyum, entah apa yang dia lakukan. Dia pun duduk di samping
Merry, berhubung sudah banyak penumpang yang turun di halte sebelumnya.
Baru saja
duduk, kepala Merry terjatuh. Pas sekali jatuh di atas pundaknya. Dia pun
bernafas lega, dia takut kepala Merry akan terbentur. Secara tak sadar tangannya
menggenggam tangan Merry perlahan. Sebenarnya dia berusaha membangunkan Merry
karena takut tujuannya terlewat. Tapi, ada gerakan dari Merry, pria itu
langsung melepaskan genggamannya dan berpura-pura tak melihat apapun, tak
melakukan apapun. Uratnya tegang, tangannya dingin, dan air keringat sedikit
mengucur dari dahinya.
“Hmm.. ada
apa mas?” Tanya Merry sedikit bingung.
“Oh, engga
ada apa-apa. Kenapa? Apa sudah mau turun?” jawab pria itu seolah tak terjadi
apa-apa.
“Hah? Ini
udha sampai mana ya? Jam berapa ini? Dimana ini? Dimanaaa?” Tanya Merry
bertubi-tubi pada pria itu, sembari tengok sana-sini dan mencari jam tangannya
yang masih menempel di tangan mungilnya itu.
“Ini baru
mau masuk halte Masjid Agung. Emang kamu turun dimana? Kelewatan ya?” ucap pria
itu sedikit khawatir.
“Oh, untung
saja. Belum sih, saya turun di halte blok M. kantor saya di dekat situ. Ya
ampun, delapan menit lagi! Apa masih sempat ya?” ucap Merry khawatir.
“Tenang
saja, dari sini ke blok M itu Cuma lima menit. Kan haltenya deketan.” Ucap pria
itu berusaha menenangkan. Merry hanya memandangnya dan langsung menunduk.
“Ini cowok
bukan tipe gue sih tapi cakep. Ngomongnya pelan lagi. Tadi juga dia megang
tangan gue ya? Iyakah? Masa? Ah gak mungkin. Tapi masih berasa ko dinginnya.
Akh! Ini semua gara-gara gue ketiduran!” batin Merry berusaha menenangkan
dirinya.
Pria itu tidak manis hanya cakep, gak ganteng juga hanya
cakep. Kulitnya putih, matanya bersinar, rambutnya hitam sedikit pirang,
tubuhnya paslah tak begitu tinggi, tapi tangannya terlihat kokoh. Ditambah,
senyumnya manis, ya hanya senyumnya.
“Kenapa?
Pusing ya tadi kebangun tiba-tiba?” Tanya pria tadi.
“Ah, engga
ko. Hehe..” ya, sayangnya Merry tak bisa menutupi rasa senangnya. Senyum yang
ditahan itu membuat pria tadi tertawa.
“Kenapa
ketawa?” Tanya Merry merasa malu.
Halte Blok M…
Sebelum pria tadi sempat menjawab, Merry sudah berdiri siap
untuk berlari setelah keluar dari bus ini. Berharap bisa sampai kantornya tepat
waktu. Pria tadi ikut berdiri, dan berusaha mengejar Merry yang ingin keluar.
“Hei!”
teriak pria tadi dari dalam bus memanggil Merry yang sudah jauh di luar. Merry
berhenti dan menengok ke sumber suara.
“Jangan lupa
celananya!” teriak pria itu lagi sebelum pintu bus tertutup.
Merry langsung melihat ke bawah, dan didapatinya masih
menggunakan celana olahraga.
“Ah, ya aku
lupa melepasnya. Duh, pantas saja daritadi orang-orang aneh melihatku.” Dia pun
kembali berlari menuju kantornya, dan sesampainya disana dia melepas celana
olahraganya.
Jam menunjukkan pukul delapan pas, dia merapihkan pakaian dan
rambutnya sembari masuk ke runagan rapat.
_***_
Merry melihat jam di tangannya. Sudah pukul lima sore.
Jalanan begitu padat, banyak suara klakson kendaraan dimana-mana.
“Hhhhhh….”
Merry hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang. Rambutnya yang sudah tergerai,
berkas-berkas sisa rapat di tangan kanannya, celana olahraga di tangan kirinya.
Mukanya pun sudah lusuh seperti habis berperang mati-matian.
“Merry,
jangan gitu ah! Muka lu harus senyum dikit. Kan rapat pertama lu berhasil lulus
dengan lancar. Sini-sini gue segerin.” Ucap Yeni menghadapkan muka Merry untuk
melihatnya.
Pussshhh…. Pussshh…
“Ih, apaan
itu? Lu nyemprot gue?” Tanya Merry seolah baru bangun dari tidur panjangnya.
“Haha..
Bukan! Ini tuh spray untuk wajah, jadi aman. Ini bisa bikin wajah lu segeran
lagi.” Jelas Yeni.
“Ooh, oke.
Makasih Yen. Hehe” balas Merry merasa segaran.
“Yaudah, gue
duluan ya! Byee..” teriak Merry dari dalam bus melambai pada Yeni.
Merry kembali menaiki bus dari halte busway untuk pulang,
sedangkan Yeni hanya mengantar saja.
Bus trans ini sepi kalau sudah pukul setengah enam, mungkin
hanya kebetulan. Merry dengan santainya terkapar di atas kursi. Seolah tak
pernah duduk berapa hari.
“Yah,
lupakan hari yang menyebalkan ini. Eh tidak, ada sesuatu yang manis mengisinya
jadi gak sebel-sebel amat sih gue.” Batin Merry.
“Ngomong-ngomong,
orang tadi siapa ya, darimana, mau kemana?” Tanya Merry dalam hatinya. Dia
masih merasakan genggaman orang tadi. Dia terus memperhatikan kedua telapak
tangannya.
Tiba-tiba ada tangan yang menghampirinya, menggenggamnya
lagi. Merry terkejut dan mendongak ke atas kepalanya berusaha menemukan siapa
pemilik tangan ini.
“Hai!” ucap
pria itu tersenyum pada Merry.
“Kamu?”
Merry masih bingung.
“Namaku
Rendy.” Ucapnya pelan sembari duduk di samping Merry.
“Merry.”
Jawab Merry yang masih terpana dengan kejadian ini.
“Salam kenal
Merry. Sejak pertama bertemu tadi aku belum menyukaimu,-“
“Apa?” Merry seolah tersadar.
“Tapi, sejak menggenggam tanganmu
tadi pagi aku telah menyukaimu.” Lanjut Rendy.
“Apa?” Tanya Merry lagi.
“Dan sekarang aku telah mencintaimu.”
“Ha?”
Rendy pun hanya tersenyum dan mereka terus mengobrol, entah
apa yang diobrolkan. Terkadang membuat Merry ingin selalu tertawa, tapi juga membuat
hati Merry berdegup kencang. Matanya terpana, Merry ingin mengenalnya lebih
jauh.
“Merry,
jangan ketiduran lagi ya. Kalo gak ada aku nanti kamu diculik orang loh!” ucap
Rendy mengejek.
“Ih, jangan
dong! Yaa gimana, aku emang suka tidur dimana aja selama tempat itu nyaman.
Haha..” jawab Merry polos.
“Kamu nyaman
ada aku?” Tanya Rendy.
“Eh?” Merry
bingung harus menjawab apa. Tapi Rendy tahu jawabannya, dia pun menarik lengan
Merry erat.
“Udah sampe,
ayo turun.” Ajak Rendy pada Merry yang mulai menarik bibirnya untuk membuat
senyuman.
_Tamat_
By: Tantan :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)