Kamis, 24 Mei 2012

Pulau Kecil(13)


T
erlihat dua pemuda dan satu perempuan, terseret ombak menuju tepi pantai. Mereka pingsan di hadapan pulau kecil yang tak berpenghuni. Matahari sudah mulai terbenam, seolah meninggalkan mereka begitu saja. Pakaian yang basah dan sedikit robek di kanan kiri, karena benturan ombak dan karang.
Satu di antaranya telah sadar dan mulai mengerjapkan matanya. Dengan kepala yang sakit dan badan yang terasa berat, ia mencoba bangun dan duduk. Ia melihat kedua temannya masih tertidur. Dia masih bingung apa yang terjadi, dia bangun dan membalikan badan ke arah pulau. Terlihat pohon-pohon yang sangat lebat dengan suara kicauan burung hutan. Tiba-tiba seorang perempuan, salah satu dari mereka sudah bangun.
“Di mana ini Fan?” tanya perempuan itu dengan memegang kepalanya yang pusing. Fandy, pemuda yang bangun pertama kaget dan sadar apa yang terjadi.
“Kita terdampar.” Satu kalimat yang membuat mereka tercengang. Seorang pemuda yang terakhir bangun pun kaget, dan berkata.
“Di pulau tak berpenghuni ini?” Deny, dengan jalan sedikit lemas.
“Dan ini sudah malam.” Tambah Vika. Satu-atunya perempuan di anatara dua pemuda itu.
Semilir angin pantai yang dingin telah menyambut mereka di pulau itu. membuat mereka semakin panik dan khawatir. Mereka terdampar di pulau itu, karena badai yang menenggelamkan kapal mereka saat sedang asik memancing bersama. Fandy, pemuda tangguh, cakep, dan dewasa. Deny, pemuda kurus, tinggi, manis, dan tenang. Vika, perempuan berambut cowok yang  tomboy, manis, cakep, dan pantang menyerah. Mereka adalah sahabat dari kecil, hingga kuliah seperti sekarang ini.
_***_

M
ereka masuk ke dalam hutan itu perlahan. Hanya dengan lampu HP masing-masing. Akhirnya mereka menemukan sebuah gua. Setelah mencari kehidupan di dalamnya, mereka membuat api unggun dan tidur beralas rumput-rumput yang ditumpuk. Mereka jaga malam bergantian, udara begitu dingin. Vika begitu kedinginan, Fandy menyelimuti Vika dengan kemeja panjangnya. Dilapisi jaket tebal milik Deny.
Awalnya mereka mau bertahan tanpa makan dan minum selayaknya, mereka berusaha tenang dan berharap esok pagi menemukan kapal penolong. Fandy berusaha mencari sinyal keluar gua. Sedangkan Deny menjaga Vika dengan tenang, ia asik bernyanyi merdu supaya Vika tidur nyenyak.
“Sial! Ga ada sinyal Den, di sini.” Bentak Fandy hampir membanting Hpnya.
                “Terus? Ya kita tunggu saja besok pagi.” Jawab Deny tenang. Fandy menarik nafas, berusaha sabar dengan keadaan. Benar yang dikatakan Deny.
                Sudah lima hari mereka di pulau tak berpenghuni itu. Mereka bertahan dengan minum dari air kelapa dan dagingnya yang putih manis pun dimakan. Mereka pun banyak menemukan jamur dan dibakar di atas api unggun. Deny yang ahli menangkap bururung di atas pohon hanya dengan karet, bisa makan daging burung setiap sore bersama-sama. Vika pun membantu dengan menangkap ikan kecil di pinggir pantai.
                Namun itu hanya bertahan selama tiga hari. Hp mati dihari ke-dua, mereka lelah dihari ke-tiga, mereka mulai mengeluh dan Vika menangis tak sanggup dihari ke-empat. Hari ini mereka sudah di puncak kemarahan dan keputus asaan.
                “Gue laper! Gue pengen mandi air bersih!” teriak Vika yang sudah lusuh dan menahan perih di perutnya.
                “Gue juga laper! Kalo saja kita tidak memancing di laut.” Ucap Deny sedikit emosi.
                “Jadi lo nyalahin gue? Gue yang ngajak kalian. Untuk apa lo ikut kalo lo Cuma bisa nyalahin gue!” bentak Fandy yang sudah tak tahan dengan ini semua.
                “Gue ga nyalahin elu! Harusnya kita cepet pulang, tapi elu malah asik berenang dulu sama Vika!” balas Deny tak mau kalah berteriak.
                Mereka pun adu mulut, bahkan Fandy mulai memanas. Fandy mengambil batu yang berukuran sedang, dan mencoba memukul Deny dengan batu itu.
                “STOP!! Kalian ini apa-apan?!” Vika dengan cepat melindungi Deny.
                “Vika?” ucap Deny sangat kaget. Fandy menjatuhkan batu yang berlumur darah itu perlahan dan seolah tak percaya, ia melukai kepala Vika.
“Gue,, di sini lebih menderita, tubuh gue ga sekuat kalian para cowok! Tapi gue,, mampu mikir jernih! Sekarang,, ga ada gunanya begini,, kita harus pasang tanda,, di mana-mana. Dan menunggu di tepi.” Ucap Vika mengatur nafasnya berusaha tak merasakan darah yang mengucur di kepalanya.
Pandangan mata Vika semakin buram, dan jatuh pingsan di pangkuan Deny. Kedua pemuda itu panik, dan sangat khawatir. Deny menggoncang-goncangkan tubuh Vika, berharap ia sadar. Fandy masih berdiri di tempatnya, ia meneteskan air matanya melihat apa yang sudah dilakukannya pada Vika. Dia mundur dan berlari menjauh.
“Fandy!!” teriak Deny yang kebingungan.
“Vika, bangun Vik!” ucap Deny mulai panik. Dia merobek kaosnya dan membalut kepala Vika yang terluka.

“Oh, Vika, bangun! Bertahanlah! Sayang ayo buka matamu.” Ucap Deny yang terus mengelap darah Vika di mukanya.
“Aaaaaaaaaarghhhhh!!!!!” teriak Deny menangis memeluk Vika sekuat-kuatnya. Perempuan yang dari dulu sangat ia sayang dan cinta melebihi sahabat, kini tak sadarkan diri dan berlumur darah di pangkuannya.
_***_

                “Ini, gue nemu tanaman obat. Tempelkan pada kepalanya yang terluka.” Ucap Fandy yang tiba-tiba kembali dengan nafas terengah-engah.
                Deny memandang Vika yang terkapar di atas dedaunan dengan penuh emosi. Dia berdiri dan sejurus kemudian melayangkan tinju ke muka Fandy. Membuat Fandy terjatuh, namun ia tak membalas. Ia berdiri dengan kuat.
                “Pukul lagi! Gue emang pantes nerimanya. Ayo Den, pukul gue sampai mati!” Ucap Fandy menahan air matanya. Deny berhenti dan duduk kembali di samping Vika.
                “Gue cowok yang paling tangguh di antara kalian, tapi gue ga bisa menjaga kalian. Maafin gue.” Ucap Fandy yang mulai duduk di samping Deny.
                Suasana terasa hening sangat lama, hanya terdengar suara deburan ombak dan burung-burung kecil yang bercuit-cuit mengitari pulau. Deny sungguh emosi, namun ia berusaha tenang dengan memikirkan keadaan Vika.
                “Den! Gue...” ucap Fandy sekali lagi.
                “Udahlah, itu ga penting. Vika sahabat kita, ayo cepat kita pasang tanda seperti katanya.” Ucap Deny meninggalkan Fandy dan Vika. Fandy pun mulai berdiri perlahan memperhatikan wajah Vika yang terbaring dan langsung berjalan mengikuti Deny.
Akhirnya mereka duduk di samping kanan dan kiri tubuh Vika yang terkapar di tepi pantai, saat itu sore hari. Merka takut tak akan selamat. Jika sampai malam tak ada kapal, mungkin Vika bisa mati lebih dulu. Karena ini adalah pulau terpencil yang tak berpenghuni. Mana ada yang mau lewat? Batin mereka khawatir. Tapi mereka yakin, masih ada kehidupan di depan. Ayo bangun Vika. Gue ga mau kehilangan lo. Ucap kedua pemuda itu bersamaan di dalam batinnya. Memandangi wajah Vika dengan sedih, yang selama ini menjadi penengah di antara mereka. Mereka menggenggam tangan Vika yang dingin dengan erat.
Tiba-Tiba,
Duwooooong.... Duwooooong....
Fandy dan Deny sama-sama melihat ke arah laut. Mereka melihat sebuah kapal very kecil menuju ke pulau itu. Mereka senang bukan main, seolah hidup mereka kembali full penuh semangat. Meski hanya sebuah kapal very kecil, mereka pikir itu adalah kapal yang dikirim Tuhan.
                “Di sini! Heey! Cepat kemari!” teriak mereka berdua melambai-lambaikan tangan.
“Vika, lihat! Kapal, kita pulang.” Ucap Fandy mencoba menyadarkan Vika.
                Vika masih belum sadar, tapi jarinya sudah mulai bergerak. Alam bawah sadarnya memaksa untuk cepat bangun.

Fandy menggendong Vika di punggungnya dan cepat-cepat menghamipri kapal yang sudah mulai menepi dengan senang. Ya, kapal itu melihat tanda yang mereka buat. Bukan, tapi tanda yang Deny buat. Deny yang mengikut dari belakang, melihat Vika yang membuka perlahan matanya dan tersenyum. Ia tersenyum pada Deny berbisik kata terimakasih. Deny pun tersenyum. Untung saja, tanpa kalian tahu, gue pasang sisa baju gue di atas pohon tertinggi di pulau ini. Dan guelah yang menjaga lo saat lo terluka. Apa lo tau pengorbanan gue itu Vik? dengan kata terimakasih. Gumam Deny menutupi luka di pinggangnya akibat terjatuh dari pohon yang tinggi untuk memasang tanda. Akhirnya masih ada kehidupan untuk mereka. Juga hidup untuk Vika. Meski pada akhirnya Deny pun kehabisan banyak darah.

Karya: Tantanet :)

2 komentar:

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)