Jumat, 07 November 2014

You Are My Medicine (32) Part.2 End

 
“Uwah, sudah pukul sepuluh malam. Nori, berikan telfonmu padaku.” Ucap Ryouta setelah kami keluar dari bioskop.
    “Untuk apa?” tanyaku terkejut.
    “Aku harus mengabari ayahmu kalau kita akan pulang larut malam. Aku tak ingin membuatnya khawatir.” Ucapnya meyakinkan.

Gelegar!! Duar! Duar!
Sepertinya otak terkecilku mengalami badai peitr. Apa yang terjadi pada Ryouta ya Tuhan. Seumur hidup aku mengenalnya sedikitpun dia tak ingin  menyentuh kehidupanku bahkan keluargaku. Ingat kan, dahulu mendekati rumahku pun tak mau.

    “Kau serius? Apa yang akan kau katakan?”
    “Sudah berikan saja.” Aku pun sedikit ragu memeberikan telfon genggamku itu padanya.

Selang beberapa menit, dia menutup telfonnya. Sungguh, aku tertegun lama sekali dengan mulut menganga melihat Ryouta benar-benar berbicara pada ayahku. Tak ada seorangpun yang melakukan itu di sepanjang hidupku dan untukku. Apakah dia sedang gegar otak?

    “Ini. Katanya tidak apa-apa asal kau kembali dengan selamat.” Dia berkata dengan tawa kecilnya.
    “Baiklah. Sungguh kau hebat oppa. Daebak!” ucapku mengacungkan kedua jempolku.
    “Ayo!” dia menarik lenganku, kami berjalan menuju parkiran. Dia masih terus menjagaku sepanjang jalan. Berjalan di sisiku supaya aku tetap pada pandangnnya.

Gawat, hatiku berdebar lagi. Aku mohon jangan sampai perasaan itu muncul kembali. Oh Tuhan, apa yang dia lakukan padaku? Tenang Ino, ini belum seberapa.

    “Aduh, kan tangga turunnya di sebelah depan tadi. Ko kita jalan ke belakang ya?” ucap Ryouta.
    “Memang kenapa? Bukankah lebih dekat ke sini?”
    “Iya, tapi apa kamu bisa turunnya? Nanti gak nyampe.”
    “Heeee! Enak saja, aku tidak sekecil itu oppa! Aku bisa turun sendiri, itu tidak tinggi ko.” Menyebalkan, aku kan tidak kecil tapi hanya imut. :D

Dia yang turun duluan, aku tahu dia akan membantuku turun. Ternyata memang sedikit tinggi, tapi jika aku loncat pasti bisa.
    “Ayo sini.” Ucap Ryouta yang sudah berada di bawah, menawarkan kedua tangannya menghampiri tubuhku.
    “Kya! Tunggu Ryou~kun!” dia menggendongku. Hello, dia menggendongku seperti ingin menggendong anak kecil.

Apakah tadi aku melayang? Atau aku loncat? Atau dia benar-benar menggendongku? Gawat, ini seperti kejadian yang selalu ada dalam manga-manga yang aku baca. Apa aku bermimpi?

    “Kamu kecil banget sih, jadi gampang digendong.” Ucapnya saat menurunkanku.
    “Eh, emmm. Aku tidak kecil, tenang saja besok aku akan lebih tinggi.” Ucapku sedikit bergetar dan secepat kilat berjalan mendahuluinya.
    “Kapan?” tanyanya mengejarku.
    “Besok, cerewet sekali sih! Aku tidak kecil.” Jawabku sedikit berteriak dan tetap berjalan lurus ke depan. Ya, aku tidak sanggup menatapnya saat itu.

Kusentuh dadaku, berdegup sangat kencang. Apa yang kau lakukan Ryouta, seumur hidupku yang pernah menggendongku seperti tadi hanya ayah dan ibuku, itu pun ketika aku kecil. Ini seperti di manga yang aku baca, aku selalu berdebar saat melihat adegan itu, aku selalu berkhayal aku lah pemeran utama di manga itu. Tapi, aku tetap saja terkejut jika semua ini menjadi kenyataan.

    “Akh, tidaaaak!” teriakku seperti orang gila. Dia hanya menganggapku anak kecil tak lebih, di matanya aku bukanlah wanita tapi anak kecil. Ya, anak kecil. Sekali lagi Aku hanyalah anak kecil baginya, seorang adik, gadis kecil yang dia ingin jaga seprti dahulu. Itu saja! Oh pergi sajalah!
    “Heh, Nori~chan. Apa yang kau lakukan? Teriak-teriak gak jelas di tempat umum. Ada apa denganmu?” tanya Ryouta yang langsung menuntunku menuju motornya. Selalu saja nadanya cuek padaku tapi tersenyum, aneh.

    “Ah, tidak apa-apa sungguh. Ahaha.” Aku hanya mampu tertawa garing menutupi kegugupanku ini. Ryouta~kun bakka! Bodoh! Kalu begini, aku akan teringat semua tentang Ryouta lagi. Aku jadi tidak bisa melupaknnya secara utuh. Aku pun akan merasakan sakit lagi. Dia selalu saja membuatku teringat disaat akan lupa. Bagaimana dia tahu aku akan melupaknnya? Aneh. Bahkan semua ini tak ada artinya.

    “Sudah benar kan helmnya? Sakit gak?” tanyanya padaku setelah memakaikanku helm.
    “Tidak, sudah pas.” Ucapku tersenyum. Heh! Aku bukanlah anak kecil!
    “Kita makan dulu ya, kamu harus makan nasi supaya gak sakit. Ini sudah telat sekali sebenarnya. Ayo naik!” ucapnya lagi. Dari dulu ucapannya selalu menyuruh seenak jidat. Huh.

    “Iya oppa.” Memang hanya Ryouta~kun saja yang selalu perduli padaku sedalam ini. Hanya dia yang mampu membuatku selalu tertawa lebar, dan hanya dia yang tahu bagaimana memperlakukanku supaya senang. Dia pun tahu bagaimana membuatku senang saat dia menyakitiku. Tapi mengapa ya Tuhan, dia selalu datang seperti ini setahun sekali? Memangnya aniversary yang selalu hadir setiap tahun? Sangat disayangkan, orang yang betul-betul mengerti aku hanyalah seorang yang tak lebih seperti angin lalu di hidupku. Tak pernah bisa kumiliki. Aku bingung.
                                                    _***_

      Akhirnya kami hanya makan nasi sepiring berdua, dengan dua lauk yang berbeda. Kami memang sama-sama tak suka banyak makan. Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Kami saling mencicipi minuman yang sama-sama membuat lidah kita aneh karena yang satu terlalu asam, yang satu terlalu manis. Semua hal ini, di hari ini, tak pernah kami lakukan sebelumnya. Tapi, sejak dulu kami selalu cocok melakukan apapun bersama. Aku pikir dia hanya membuka kenangan lama, ternyata malah menambahkan kenangan baru. Ouh, bakka! Tapi aku bahagia, aku nyaman, kita seperti sahabat kecil.

    “Duh, manis banget nih punyamu minumnya.” Ucap Ryouta.
    “Haha, makanya minumnya jangan sambil lihat aku, ya iyalah jadi manis banget.” balasku ngawur. Dia hanya tertawa dan mengelus kepalaku. Kami pun tertawa lagi dan lagi, karena semua pembicaran kita yang tak pernah habisnya untuk ditertawakan. :D

Pada akhirnya waktu sudah menunjukan pukul setengah duabelas malam. Ryouta mengajakku ke sebuah perayaan kembang api. Di sini ramai sekali, banyak perempuan memakain yukata dan kimono.
    “Waah, aku lupa kalau beberapa menit lagi tahun baru. Kenapa tak bilang sebelumnya? Aku kan ingin mengenakan yukata juga.” Ucapku.
    “Maaf, kan aku ingin berikan kejutan. Tak perlu pakai yukata pun kau sudah terlihat manis ko Ino.” Jawab Ryouta.
    “Apa? Benar aku manis? Ahaha.” Ucapku sedikit terkejut. Ada apa dengannya ya?
    “Kita duduk di bawah pohon sakura yang itu yuk, karena belum berbunga jadi kita bisa melihat kembang api dari bawah sini.” Dia kembali menarik lenganku.

Hitung mundur. 5, 4, 3, 2, 1 Duaaar! Duaaar!
Kembang api sudah diluncurkan menandakan ini sudah tepat pukul duabelas malam.
    “Yeeii! Tahun baru! Wah, sugoi!” ucapku terpana melihat indahnya warna warni kembang api itu. Lalu, aku tersadar sepertinya Ryouta sedang memandangi wajahku.
    “Ada apa oppa?” tanyaku. Itu membuat Ryouta terkejut dan salah tingkah.
    “Oh, gak ada apa-apa.” Dia tersenyum penuh arti dan mengelus kepalaku.
    “Oppa, boleh aku pinjam bahumu sebentar?”
    “Boleh, sini.” Dia terus tersenyum. Tak segan-segan aku langsung merangkul lengannya dan kusandarkan kepalaku di bahunya.

    “Aku memikirkan wanita tadi. Jika dia kekasihmu atau mungkin kau sedang berjuang mendapatkannya, aku setuju. Dia sempurna untukmu. Aku kenal kau sudah lama, kita sudah lama bersama seperti ini, aku tahu wanita seperti apa yang kau inginkan. Yah, seperti dia. Cantik, manis, sabar, dan dewasa. Aku tidak apa-apa. Maksudku, aku tahu kau pun tahu bahwa aku pernah menyukaimu. Tapi ingat, itu dulu, tenang saja aku senang kau menjadi temanku, kakakku, sahabatku.” Ucapku panjang lebar. Apa ini? Air mataku menetes membasahi baju Ryouta.

    “Ah, gawat! Maaf Ryou~kun bajumu jadi basah. Sepertinya mataku kelilipan sesuatu jadi perih. Haha.” Ucapku panik dan pura-pura tertawa.
    “Inori, aku, bukan begitu. Kenapa kau menangis? Kau baik-baik saja?” wajah Ryouta begitu khawatir, dan memanggil namaku lengkap ‘Inori’. Entahlah, mungkin karena genangan air mataku membuat tak jelas melihat. Dia kan hanya khawatir pada kekasihnya itu.

    “Ah, tidak apa-apa Ryouta~kun. Aku hanya bahagia, terlalu bahagia. Makasih untuk hari ini. Aku seneng. Apa ada yang mau oppa omongin ke aku?” tanyaku setelah menghapus air mataku yang sebenarnya masih ingin turun.
    “Iyah, tapi tawamu itu jelek kalau terpaksa. Hm, aku juga seneng bisa jalan sama kamu. Ketawa-ketawa gak jelas. Mmm, aku minta maaf tentang yang tadi, dan membuatmu menangis. Aku tahu kau menangis Ino. Sebenarnya akuu,,,,,”

Duuuaaarr! Duuuaarr!
Kembang api masih terus diluncurkan dengan indahnya.
Apa? Apa yang dikatakan Ryouta? Aku tak mendengarnya, suasanapun tak begitu terang, aku tak bisa membaca pergerakan bibirnya.

    “Ryou~kun, apa yang kau katakan barusan? Aku tak mendengarnya karena suara kembang api.” Tanyaku menatap lekat matanya.
    “Bagus deh kalau tak dengar, hehe.” Balasnya tersenyum meledek tapi ada sebuah kelegaan.
    “Ha! Jangan gitu, katakan padaku apa yang tadi kau ucapkan Ryoutaaaa!” sungguh aku penasaran, aku meminta seperti anak kecil. Aku sungguh ingin tahu, aku ingin perasaanku lega.

Apakah dia berkata “Aku mencintaimu, aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku kelak. Wanita itu hanya saudaraku atau kakakku yang terpisah lama” atau “Aku senang kau menjadi temanku sekaligus adik untukku, jadi tetaplah seperti itu. Yuilah yang aku cintai selama ini, aku ingin bersamanya, dan aku yakin sebentar lagi kita bisa bersama” apa yang dikatakannya?

    “Sudahlah, ini sudah tengah malam tak baik perempuan pulang terlalu larut. Ayo jalan, kita pulang ke rumahmu.” Ucap Ryouta berdiri dan jalan meninggalkanku.

    “Apa? Dia meninggalkanku? Apa jangan-jangan yang tadi diucapkannya adalah perkiraanku yang kedua?” ucapku pada diri sendiri. Tidak, aku tak mau berakhir begini, aku ingin kembali dengan Ryouta yang tetap menggenggam lenganku. Aku tertunduk, rasanya ingin menangis saja. Hatiku sakit, memang ini lebih baik. Ya, aku lebih baik tak mendengar ucapannya tadi. Aku lega sekaligus sedih.

    “Hey, Ino. Kenapa tidak mengikuti? Nanti kau hilang bagaimana?” Ryouta meraih lenganku.
    “Ryouta?” dia kembali, dia meraih lenganku.
    “Iya, ayo pulang.” Ucapnya, aku pun tersenyum manis padanya.
                                         _***_

    “Maaf Pak, kami telat pulangnya. Tadi habis melihat perayaan kembang api.” Ucap Ryouta pada ayahku di depan rumah.
    “Oh, iya gak apa-apa. Yang penting kalian selamat. Hati-hati ya pulangnya.” Jawab ayah yang langsung masuk ke dalam setelah bersalaman dengan Ryouta.
    “Hebat, belum ada loh yang berani bawa aku pulang malem dan bertanggung jawab pada ayah kaya kamu.” Ucapku menggodanya.
    “Haha, bisa aja kamu. Yaudah, aku pulang ya. Oyasumi Inori~chan.” Ucap Ryouta sembari melambai dengan penuh senyuman di bibirnya.
    “Iya, oyasumi Ryouta~kun.” balasku.

      Dan, diapun pergi menghilang dari pandanganku. Ah sungguh hari yang indah kan? Ucapku dalam hati menatap rembulan yang seolah tersenyum padaku. Bahkan walaupun aku tak pernah tahu apa yang dikatakan Ryouta saat itu. Bahkan aku tak tahu apa tak lama lagi aku akan segara menerima sepucuk undangan pernikahan darinya. Sampai jumpa tahun depan Ryouta. Itu pun kalau kau akan kembali lagi. Aku rasa kenangan cukuplah kenangan, entah esok akan bertambah atau hanya akan kembali atau bahkan hilang selamanya.

-END-

By : Tantan:) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)