Senin, 25 April 2016

Yang Terdalam (37)

      Mendung, hujan, badai. Padahal ini bulan pertama dari musim kemarau. Mengapa langit begitu gelap seolah tak ingin menampakkan sinarnya yang begitu bersemangat. Layaknya hatiku, mataku, diriku. Semuanya gelap dan hampa, tapi sekali-kali badai kembali datang memporak porandakan apa yang sudah hancur sebelumnya. Begitulah yang kulihat dari pantulan diriku di cermin meja tidurku.
 
    “Apa? Apa yang ingin kau lakukan sekarang Nai?” ucapku tanpa ekspresi pada pantulanku sendiri di cermin.
    “Tidak tahu. Aku hanya tak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Aku adalah yang terbodoh dari semua manusia.” Balasku.
    “Bodoh? Ya kau memang bodoh! Sikapmu itu yang telah membuatmu menjadi bodoh! Sadarlah dan jangan seperti ini terus!” bentakku lagi pada cermin itu.
     “........” aku hanya terdiam dan air mataku mulai menggenang. Kulihat mataku sudah sangat buruk, sembab, bengkak tak karuan.
    “Tak usah menangis! Dasar cengeng! Lemah! Bodoh! Tak usah membuat dirimu menjadi pecundang seperti ini!” teriakku pada cermin itu dengan amat kesal.
    “Lalu apa yang harus aku lakukan?! Aku mencintainya! Menyayanginya! Bagaimana bisa aku biasa saja ketika dia meninggalkanku?! Bagaimana bisa dia membuang segalanya! Kebahagiaanku, semuanya!” tangisku pecah. Aku meraung-raung tak jelas.
    “Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang memiliki segalanya yang aku cari?!”
 
Aku sangat benci diri ini!
                                                           _***_

Dua tahun lalu.
    “Kamu serius mau terima aku?” tanya Koko padaku dengan nada tak percaya.
    “Iya, hehe.. Kenapa kamu seneng banget?” tanyaku malu-malu.
    “Ya abisnya aku gak percaya kamu beneran mau sama aku.”
    “Hmm, soalnya kamu aneh tiap tahun nembakin mulu. Ini yang ketiga kalinya, lama-lama aku bisa mati. Hahaha.”
    “Hehe,, iya ya. Ga sadar aku. Tapi makasih yaa.”
 
Koko begitu senang ketika cintanya aku terima. Awalnya aku tak pernah berpikir untuk menerimanya. Meskipun selama berteman aku merasa nyaman dengannya, tapi jaraklah satu-satunya alasan aku ragu untuk menerimanya. Tapi, aku pilih untuk mengambil  resiko ini karena Koko pernah meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja jika dijalankan.
                                                            _***_

Setengah tahun berlalu, aku semakin menyukainya. Aku mencintainya lebih dan lebih. Aku merasa tiada yang kurang darinya. Kita memiliki banyak kesamaan, aku bahagia sekali. Tapi terkadang dia cuek seolah tak mau tahu apa yang sudah kulalui setiap harinya. Tak sering dia bertanya bagaimana hari-hariku. Pernah ketika aku ingin membagi kebahagiaan dan dukaku dalam hidup, aku tak merasa nyaman. Aku merasa dia hanya sekedar mendengar tanpa menyimak.
 
    “Hai, kamu ga suka ya sama ceritaku? Bosan ya?” tanyaku melalui pesan singkat.
    “Enggak ko, kan aku mendengarkan. Jadi cerita kamu Cuma gitu aja kan? Yaudah udah emang aku harus nanggepin gimana? Aku gabisa peluk kamu kan jauh jadi yaudah.” jawabnya.
    “Hmm, iya sih. Yasudah makasih udah mau dengar ceritaku.”
    “Iyaa siip.” Singkat, padat, jelas.

Terkadang aku tak pernah mengerti kenapa dia seperti itu. Saat dia bahagia dia datang padaku untuk bercerita, betapa bahagianya aku mendengarnya. Seolah itu adalah kebahagiaanku pula. Aku menanggapi dengan antusias. Dan ketika dia kesal dengan kerjaannya, aku cemas dan mendengar keluhannya, berusaha menyemangatinya meskipun itu tidka berguna.
                                                              _***_

Kemudian setahun berlalu, akhirnya kami bisa bertemu. Betapa bahagianya aku saat itu. Perasaan tegang, deg-degan, senang, dan cemas bercampur menjadi satu.

Tok tok tok...
    “Ah itu pasti Koko! Duh gimana nih, udah rapih kah? Aduh deg-degan! Muleesss! Gimana nih. Hufft! Tarik napas, dan keluarkan. Harus terlihat wajar.” Ucapku pada pantulan diriku di cermin.
Betapa tidak cemasnya, ini pertemuan pertama kamu sejak kami berpacaran. Aku hanya takut terlihat aneh saat dia melihatku. Kemudian aku segera ke depan rumah untuk membuka pintu.

Aku melihatnya, dia di depanku. Tinggi, kulitnya hitam manis, wajahnya juga kenapa terlihat sangat manis membutaku tak tahan ingin tersenyum lebar. Kami hanya mampu bertatap beberapa detik dan tersenyum.
    “H..Hai! Mmm,, ayo masuk.” Ucapku berusaha tenang.
    “Mmm,, aneh ya rasanya kaya baru kenal padahal kita udah temenan sejak dulu.” Aku memulai percakapan.
    “Iya, hehe. Hmm, ayo jalan sekarang aja biar gak kemaleman.” Balasnya.
    “Oh iya, ayo. Hehe.” Bodoh, tertawa saja terus. Hufft, aku bingung sekali saking senangnya.
                                                               _***_

    “Nai, kesitu yuk liat komik-komik baru.” Ucap Koko menarik tanganku erat. Wah, tangan Koko. Pertama kalinya aku memegang tangan ini, rasanya lebih besar dan hangat.
    “Hoi! Kenapa Nai?” tanyanya tiba-tiba.
    “Ah, enggak ko. Itu, aku Cuma sedikit seneng. Maaf. Hehe.” Ucapku dengan polosnya.
    “Aih, aku juga seneng ko Nai.” Balasnya tersenyum padaku. Wah manisnya.

Beberapa jam kami terus keliling mall di kota, bahagianya seperti penantian setahun ini karena LDR telah terbayarkan semua. Kalau seperti ini terus aku pasti bisa bertahan, aku pasti bisa melalui hari-hari LDR kami dengan mudah. Jakarta - Singapura, tak akan ada masalah lah.
    “Udah malem nih, pulang yuk.” Ajaknya.
    “Oh iya, yah cepet banget siiih. Kuraaaaang!” ucapku manja.
    “Yaa besok lagi ya sayang. Besok kamu aku jemput deh main di rumah ya? Terus makan malem di luar.” Balasnya menggenggam erat kedua tanganku.
    “Wah, asiiik. Bisa ketemu lagi. Oke oke!” aku begitu senang, hampir saja aku memluknya. Aku urungkan niatku karena kita masoh berada di tengah keramaian.

Menit demi menit kunikmati perjalanan pulang ini, aku tak ingin menyisakan sedetikpun. Karena bagiku waktu sangat berharga untuk kami. Aku memandang tubuhnya dari bangku penumpang di motornya, dan mengingat setiap inci wajahnya ketika dia tersenyum, terdiam, serius, dan semuanya.
  
   “Udah sampe nih.”
    “Aih cepet banget?” aku kaget karena lamunanku belum selesai.
    “Hehe, begitulah kalau lagi berdua sama pacar. Pasti kerasa cepat.” Ucapnya.

Aku pun turun dari motornya dan membuka mulut untuk mengucapkan selamat malam, tapi Koko keburu berbicara.
    “Aku gak dicium?” sungguh aku terkejut bukan main.
    “A..apa? Ci...cium? Oh iya ya kita kan pacaran, cium pipi ya? Oke sini.” Betapa polosnya aku berpikir bahwa yang dia harapkan adalah itu.

Tuk!!
    “Aw, helm! Maaf maaf, helmnya lupa dilepas jadi nabrak deh. Ehehehe..” Memalukan, sunguh sangat malu rasanya.

     Secepatnya aku melepas helmku, dan sedikit berjinjit untuk mencium pipinya karena dia masih duduk di motornya. Entah kenapa aku sedikit memejamkan mata, apa yang kulakukan? Hmm..
Tapi tiba-tiba aku merasakan ada yang aneh, sepersekian detik kurasakan bibirku menyentuh yang lain, sudah pasti bukan pipinya. Ini berbeda, aneh. Buru-buru kubuka kedua mataku.
 
    “Akh!” aku langsung menghindar dan entahlah, antara kaget dan malu.
    “Apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu nengok! Itu bukan pipimu, itu apa?” ucapku sedikit berteriak.
    “Bibirkulah. Hehe.” Balasnya dengan santai dan tersenyum. Aku terdiam seperti es balok.
    “Bibirnya, oke. Oke. Oke.” Ucapku dalam hati dengan diamku yang masih seperti es balok tadi.
    “Iya udah aku pulang ya. Makasih ciumannya.” Ucapnya tersenyum.
    “Heeeeee!! Itu gak  sengaja ya! Ingat itu gak sengaja! Bukan aku yang menciummu, tapi kamu!” sungguh aku tak terima dia menjailiku.
    “Iya iya, aku kok yang sengaja. Itu cuma sebuah kecupan Nai, tak lebih. Yasudah ya, byeee..” balasnya tersenyum lagi dan berlalu begitu saja. Dasar menyebalkan. Tapi kenapa aku tersenyum-senyum?
                                                                 _***_

Satu tahun setengah berlalu.
      Kami selalu bertengkar, akhir-akhir ini dia selalu terlihat meladeni cewek lain. Bahkan mantannya pun masih dia ladeni, ade-adeannya pun begitu. Tapi dia selalu bilang bahwa mereka hanya teman dan bersilaturahmi tidak lebih. Ya aku tahu itu. Tapi semakin sering juga dia tak ada waktu untukku. Ya aku tahu dia sibuk bekerja dan kuliah.
 
        Aku berusaha menunggu hingga malam tiba, dimana dia sudah tak sibuk lagi dengan kerjaan dan kampusnya. Tapi tetap saja hanya tak sesering dahulu kami mengobrol. Obrolan kami semakin sedikit, tapi terkadang dia kembali seperti dulu yang bahagia mengobrol denganku, tapi kemudian dia menjauh lagi. Sungguh aku tak mengerti.
 
     “Kamu tuh kenapa sih selalu aja curiga! Bahkan sama cewek gak dikenalpun kamu curigain! Aku tuh malu!” bentak Koko padaku di sebrang telfon genggamku.
    “Aku Cuma takut mereka bakal buat kamu lebih nyaman dari aku dan kamu pergi. Bukankah dahulu kita juga teman? Dan kamu masih berhubungan dengan mantan dan ade-adeanmu. Cewek mana yang gak tenang?” balasku tak mau kalah.
    “Ya enggalah! Kamu tuh percaya dong sama aku. Aku aja gak pernah curiga sama kamu karen aku percaya. Kamu jangan bikin malu aku di depan temen-temen cewekku. Mereka sampai laporan ini itu tentang kamu yang nanya-nanya gak penting ke mereka.” Jelasnya kesal.
    “Loh, untuk apa mereka laporan? Memangnya mereka siapanya kamu? Jadi kamu malu punya aku? Kamu lebih milih teman-teman cewekmu itu dan malu ngakuin aku?” tanyaku.
    “Bukan gitu. Ah udahlah aku capek! Kita putus aja! Kamu carilah cowok yang bisa selalu ada untuk kamu dan gak punya banyak teman!” ucapnya dengan keras.
 
     “Tapi aku cuma takut, aku takut karena aku gamau kehilangan kamu. Oke mungkin aku yang salah, aku bukan cewek yang baik untukmu seperti mantnamu itu. Tapi setidaknya kamu menghargai aku! Aku yang udah kamu pilih, aku yang udah sengaja menerimamu dulu. Setidaknya buat aku berubah jadi lebih baik. Kenapa kamu nyerah dan pergi?” tanyaku, air mataku duah menggenang tak tertahankan.
 
     “Aku udah gabisa. Aku capek, aku mau sendiri aja dulu sementara ini. Aku gak mau ada yang ganggu aku minta-minta waktuku dan ada yang mencurigaiku terus. Maaf. Tapi kita masih bisa berteman, gak ada yang tahu siapa jodoh kita kan? Kita pisah dengan baik-baik ya? Semoga kamu nemuin yang lebih baik dari aku. Tapi kalau suatu saat kamu butuh aku, dateng aja, sebagai teman aku akan bantu.” Ucapnya untuk terakhir kalinya.
 
     “Lalu apa janjimu? Yang katanya semua akan baik-baik saja. Aku hanya pecemburu, tak ingin miliku disentuh oleh yang lain. Tapi kau menganggapnya itu sebuah keburukan yang amat sangat hingga membuatmu malu. Lalu apakah aku harus tak peduli padamu? Dan pergi dengan yang lain? Itu maumu? Kita sudah memiliki semuanya, mengapa semudah itu Ko?” tanyaku bertubi-tubi.
 
     “Selamat tinggal Ko. Terimakasih untuk semuanya. Terimakasih sudah menyadarkanku akan titik kesalahanku selama ini. Terimakasih juga sudah memilih untuk pergi.” Secepatnya kututup telfon itu dan kubuang ke lantai sebelum aku jatuh dan menangis menahan luka di hatiku.
                                                                 _***_

Aku kembali menatap diriku di cermin dengan muka tanpa ekspresi.
   “Begitulah, tak ada yang mau bertahan bersamaku. Tak ada yang mau menuntunku untuk menjadi lebih baik. Mereka semua pergi, mungkin tak mau buang-buang waktu bersamaku.” Tangisanku sedikit meredam.
      “.....” suara itu telah hilang. Diriku yang lain pun tak sanggup berkata apa-apa.

Aku terus memandnag diriku di cermin, mata yang bengkak, air mata dimana-mana, wajah yang kusut, dan tubuh yang kurus. Sungguh sangat jelek sekali. Kemana diriku yang ceria dan cantik itu? Aku terus bertanya, dan terlintas kenangan bersama Koko lagi. Seketika tangisku kembali pecah seolah air mataku tak pernah mengering.
   
       “Dua tahun yang sia-sia!!” aku meraung-raung tak jelas, memukul-mukul meja di bawah cermin itu. Aku tak peduli sesakit apa, semua tak sebanding dengan sakit di hatiku, meja itu hampir retak, kupukul dan pukul lagi berharap semua sakit ini hilang.
 
Tiba-tiba ayah masuk karena mendengar suara ribut dari kamarku.
   “Naia! Kenapa kamu? Sudah hentikan!” ucap ayah segera memelukku cemas.
    “Aku tak bisa Yah, aku tak bisa!” ucapku terus meraung dalam pelukan ayah.
    “Tak bisa apa? Apa yang terjadi katakan pada ayah. Kenapa? Kamu ada masalah dengan Koko?” tanya Ayah melepas pelukannya dan menatap wajahku yang lusuh.

    “Koko meninggalkanku karena sikapku yang buruk! Dia tak ingin membantuku memperbaiki sikapku lagi, dia sudah tak tahan. Dia pergi, tak ada yang mau bertahan bersamaku yah. Kenapa? Kenapa harus aku? Selalu ditinggalkan. Apa salahku? Aku hanya ingin disayang dan dicintai. Jika aku salah sadarkan aku seperti ayah memarahiku ketika aku menghamburkan uang sehingga aku sadar dan akan selalu menabung. Kenapa mereka tak begitu? Kenapa?” jelasku panjang lebar dengan terengah-engah menahan tangisku.

    “Sudahlah Nai sudah. Tak pantas kamu menangisi dan menyesali mereka yang tak menginginkanmu,--“ ayah kembali memelukku dengan sayang.

   “Tapi kenapa? Aku hanya ingin tahu kenapa mereka tak tulus padaku? Tak ada yang mau memperbaikiku. Apa semua itu hanya buang-buang waktu? Mungkin tak penting. Tapi dia sudah memilihku, kenapa dia juga yang meninggalkanku. Apa dia tahu bahwa aku seburuk ini makanya dia menyesal? Kalau begitu untuk apa kebahagiaan yang lalu itu?” Ucapku memotong perkataan ayah.

     “Tidak sayang! Kamu tidak buruk. Mereka saja yang tidak berusaha untuk melihat lebih dalam bahwa kamu indah. Ingatlah jodoh kamu itu pastilah orang yang baik, yang menginginkanmu, yang tak akan meninggalkanmu. Sesibuk apapun dia, pastilah dia selalu menghubungimu jika dia benar menginginkanmu, dia tak akan membuatmu cemas. Dia pun pasti akan selalu ada disisimu untuk membuatmu menjadi yang lebih baik, tak akan meninggalkanmu sayang. Sudah sudah, ornag seperti itu layaknya kau buang dan tak usah kau pungut lagi.” Jelas ayah.

Aku pun mulai tenang, mendengar kata-kata ayah aku sangat merasakan kedamaian. Masih ada ayah yang menyayngiku, yang selalu disisi untuk menyadarkanku, yang tak pernah meninggalkanku jika aku bersalah dan benci padanya.
  
  “Ayah, aku ingin memiliki seorang suami yang seperti ayah. Yang tidak meninggalkanku, yang menginginkanku, yang bijaksana, yang peduli, yang penyayang dan penyabar hanya pada kerluarganya yang tidak pernah mencoba berhubungan dengan wanita lain. Ayah, kau begitu sempurna.” Ucapku tersenyum memeluk ayah.
   
     “Iya sayang, amin. Ayah dan ibu selalu mendoakanmu disetiap sujud kami hanya untuk anak-anak kami bahagia dunia dan akhirat. Amin. Jadi bahagialah lagi, cerialah seperti Naia anak ayah yang dulu.”

Wahai jiwa yang hancur, bersabarlah. Menyatulah kembali sembari memantaskan lagi dirimu untuk seseorang yang pantas kau miliki kelak, meskipun itu butuh waktu yang lama. Berjuanglah Nai! 

Maju dan maju, jangan kau ratapi terlalu lama, itu tak pantas untuk seorang wanita yang memiliki derajat lebih tinggi dari kaum pria. Janganlah kau mencintai seorang manusia melebihi cintamu pada Allah. Cintailah Tuhanmu maka kau akan bahagia. Amin.

                                                                 _Tamat_

By: Tantan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)