Selasa, 22 April 2014

Hitamnya Keajaiban(30) part.2




M
aret – Sudah seminggu Adit tidak membalas BM-ku. Aku hanya mampu berpikir positif bahwa dia sedang sibuk. Tapi status-statusnya menyebutkan nama cewek, bahakan fotonya. Entahlah, aku tak mengerti  mengapa dada ini begitu sesak. Aku hanya ingin mencintai, lalu kenapa mencintai begitu menyakitkan seakan mencintai adalah dosa besar?
                Ini terlalu mendadak bagiku, kami yang tadinya sangat baik-baik saja lalu keesokan harinya dia sudah menghilang tanpa alasan apapun. Seandainya aku tidak memilih untuk mencintainya, aku tak akan sesakit ini meski dia bukan siapa-siapa aku. Seandainya dia tidak sesempurna khayalku, aku tidak akan begitu membanggakannya.
                “Kamu bilang, kamu mau menemaniku jalan karena kita sama-sama selalu berjalan sendiri. Lalu kapan itu akan terwujud bila kamu menghilang begitu saja?”
                “Kamu bilang, kamu mau mengajakku menonton anime bersama karena kita menyukai satu hobi yang sama itu. Lalu, apakah suatu saat akan terlaksana bila kamu menghilang begitu saja?”
                “Kamu bilang, sifat kita sama maka kemungkinan kita berjodoh. Lalu, apa yang kamu lakukan sekarang padaku? Bila kamu menghilang begitu saja, jodoh apa yang kamu maksud?”
                “Kamu bilang, kamu akan baik terhadap orang yang baik padamu. Lalu, aku bagaimana? Apa salahku sampai kamu pergi menghilang tanpa alasan dan membuatku menangis?”
                “Kamu bilang, kamu senang dengan sifatku yang selalu care padamu karena kamu rasa itu sulit menemukan seseorang yang peduli padamu. Lalu, bagaimana kelanjutannya? Aku sakit, sedih, menangis tapi kamu menghilang begitu saja.”
                “Kamu bilang, tidak ingin memikirkan pacaran. Lalu apa maksud statusmu, foto DP-mu, dan BM-ku yang hanya kamu read seminggu ini?”
Aku menangis mengingat itu semua, membaca semua percakapan kita sebelumnya. Semua terasa begitu tak berarti, begitu terasa seperti angin lalu.
                Apa salahku ya Tuhan? Aku sudah sejauh ini mengenalnya, lalu mengapa kau biarkan dia pergi begitu saja menyakitiku? Ingin sekali aku melepasnya seperti yang dikatakan teman-temanku. Tapi jika aku teringat akan perjuanganku mengenalnya, itu begitu sulit dan berat.
                Sejak dia melihatku, lalu aku mulai tertarik untuk mengenalnya, dan kuberanikan diri mencari tahu siapa dia, sampai akhirnya aku bisa mengobrol dengannya hanya melalui dunia maya. Untuk apa semua itu jika akhirnya dia akan menyakitiku begitu dalam? Aku sudah terlanjur berharap padanya, aku tahu itu memang salahku. Tapi aku, bahkan semua orang tak mengharapkan sakit yang sesakit ini bukan?
                Sungguh hati ini sakit sekali, aku sudah menangis sepuasnya. Tapi setiap mengingatnya air mata ini tak pernah habis. Aku lelah.
_***_

Seminggu sudah aku kembali masuk kuliah dari libur, tapi aku tau Adit baru akan masuk Senin ini. Aku ketahui dari percakapan kita sebelum dia menghilang.
                “Aku harus melakukan peran terbaikku hari ini. Aku akan berpura-pura tak mengenalnya jika aku berpapasan dengannya atau bagaimanapun itu.” Ucapku dalam hati.
Pukul 08.45 aku berjalan keluar kosanku yang berada di belakang kampus. Tak jauh, hanya sekitar 100 meter. Perlahan namun pasti. Jadwal kelasku sebenarnya pukul setengah sepuluh, tapi aku sengaja datang lebih awal supaya aku tak bertemu dengannya. Aku tahu jadwal dia pagi tadi, dia akan keluar kelas pertama pada pukul setengah sepuluh kurang biasanya.
                Aku masuk melalui pintu belakang kampus. Saat di kampus, aku masih merasa tegang, aku takut tak melakukan peran terbaikku. Aku melihat sekitar, tak kutemui mobil berwarna gold yang biasa ia bawa. Aku merasa sedikit lega. Kemudian entah mengapa kaki ini menuntunku menuju jalan gerbang kampus depan.
                Di sana pun terdapat parkiran, dan itu dia. Mataku tertuju pada sebuah mobil yang terparkir manis diantara lainnya. Mobil gold, satu-satunya warna mobil yang terparkir di tempat itu.
Degh,
Kenapa? Sakit, kenapa kakiku melangkah ke tempat ini? Seharusnya aku langsung menuju gedung kampus. Aku tak tahan, air mataku sudah menggenang seperti awan mendung yang akan menumpahkan seluruh isinya.
                Aku berlari menuju toilet parkir yang berada di dekat situ. Untung saja tak ada orang sama sekali. Aku menumpahkan seluruh tangisku.
                “Sudahlah Nay, berhenti! Aku mohon berhentilah menangis. Lihatlah dirimu di kaca, betapa bodohnya dirimu menangis untuk orang yang menyakitimu!” aku bicara pada diriku sendiri berusaha menguatkan hatiku yang rapuh ini.
_***_

Aku kembali menuju gedung yang seharusnya aku tuju. Waktu menunjukan pukul sembilan tepat.
                “Ya ampun! Binderku tertinggal di kosan!” aku terkejut, langsung saja aku berlari kembali menuju belakang kampus, dan menuju kosanku. Untung masih pukul sembilan. Jika saja binder itu tidak penting aku malas kembali. Tapi dalam binder itu terdapat tugas-tugasku hari ini. Jika aku tak mengumpulkannya, jelas aku tidak akan mendapat nilai.
                “Hey Nay! Kenapa lo ngosh-ngoshan gitu? Kaya abis maraton.” Tanya Aida. Kami berpapasan di depan gedung satu ketika aku sudah kembali, membutuhkan waktu lima belas menit.
                “Iya, gue abis maraton tadi ngambil binder gue yang ketinggalan. Sial emang.” Jawab ku sembari mengatur nafas.
Wuush...
Saat kami akan masuk gedung satu, tiba-tiba semilir angin sejuk melewatiku. Langkahku berhenti, mataku terpaku pada satu orang di depanku. Kembali, waktu seakan kembali berjalan lambat.
                “Eh, Nay!” ucapnya tersenyum padaku. Aku hanya mampu membuat garis senyum dibibirku perlahan. Aku masih shock dengan apa yang aku lihat ini. Kemudian dia pergi melewatiku begitu saja bersama seorang temannya.
                “Nay!” panggil Aida menyadarkanku.
                “Kenapa? Kenapa gue harus ketemu dia?” ucapku pelan, datar, dan masih berdiri terdiam.
                “Udahlah Nay, harusnya lo seneng dia ngenalin lo, dia nyadarin keberadaan lo, bahkan dia senyum sama lo. Berarti mungkin dia punya alasan kemarin kenapa nganggurin lo. Udah yuk kita naik, sebentar lagi dosennya masuk.” Ucap Aida. Aku hanya mampu diam.
Selama pelajaran berlangsung aku terus diam, sesekali air mataku hampir menetes, kemudian aku usap secepat mungkin. Tidak lucu kan aku menangis saat dosen sedang berkicau?

To be continued... ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)