Sabtu, 05 April 2014

Hitamnya Keajaiban(30) part.1



Dosa apa yang telah kulakukan,

hingga kini aku engkau acuhkan.

Dosa apa yang telah aku lakukan,

hingga kini aku engkau abaikan.

                                Naff “Dosa Apa”



Kubasuh wajahku yang lebam karena airmata, dan kupandangi cermin di hadapanku. Apa yang kau cari Nay? Air matamu? Aku tak bisa membedakannya dengan air yang membasahi wajahku ini. Hanya saja aku masih bisa melihat kedua mataku yang menyiratkan kepedihan. Cukup lama aku terpaku manatapi wajahku yang lusuh itu. Akhirnya aku basuh kembali wajahku dan ku keringkan dengan handuk yang tergantung di balik pintu kamar mandiku.

                Aku langsung menuju tempat tidur untuk menggambil hp-ku yang tergeletak tak berkutik. Sepi, tak ada satupun sms masuk. Hp-ku sejenis touchscreen, lalu aku men-scroll layar hp-ku itu ke bawah. Aku berhenti sejenak dengan apa yang kulihat. Terpampang foto Adit di kotak galeri hp-ku. Memang tampilan home di hp-ku itu terdapat banyak aplikasi, dan kotak galery itu selalu berganti-ganti tampilan foto apa saja yang ada di dalamnya. Aku coba mengkliknya meski berat.

                Foto itu menunjukan Adit yang sedang duduk di depan kelasnya membaca komik, dia tidak tahu bahwa diam-diam aku mengambil fotonya dari jauh. Itu adalah saat dimana aku sama sekali belum mengenalnya. Aku hanya tahu bahwa kelas kami selalu bersebelahan setiap hari senin dan rabu. Ya, kami di kampus yang sama hanya berbeda jurusan. Juga tingkatan, dia adalah adik tingkatku.

                Kenapa? Air mata ini menetes lagi. Kutekan tombol delete pada foto itu, lalu kututup galeriku dan kuletakan kembali hp-ku di atas meja laptopku. Ya, itu kejadian beberapa bulan yang lalu.



_***_



N

Ovember - Dandan yang cantik dulu sebelum berangkat ngampus. Seperti biasa aku selalu berdandan yang cantik, pakaian yang manis layaknya cewek (terus selama ini aku apa?) yah cewek, cuma sedikit gak feminim. Biasa ajalah intinya daripada ribet. Lagipula pagi ini kelas ku di lantai bawah, jadi tidak akan berkeringat banyak yang dapat melunturkan make-upku.

                Akhirnya aku sudah berada di kampus ku yang tidak tercinta ini(kidding-takut didepak dari kampus). Begitu aku masuk gedung, kulihat beberapa teman kelasku yang baru datang masih duduk-duduk di depan kelas. Yup, seperti biasa kelas debelumnya terlambat keluar jadi kami harus menunggu.

                “Naya! Sini-sini!” teriak Aida dari urutuan terujung teman-teman yang duduk berjejer itu.

                “Apaan? Kangen ya? Udah lama nunggu gue? Hehe.” Ucapku iseng.

                “Yee, males deh gue.” Balasnya ngelewein aku.

                “Terus?” tanyaku lagi.

                “Anter ke toilet yuk!”

                “Hiih, kebiasaan banget sih langganan lo gada yang lain selain toilet?”

                “Ya elah Nay, ayuk! Kebelet nih.”

             “Lah terus kenapa gak daritadi? Kenapa harus nunggu gue dulu? Ciee, bilang aja lo beneran kangen. Pake ngeles temenin ke toilet. Haha.”

                “Ih Naya! Hello, kepedean banget sih! Tadi masih sepi dan gue belum terlalu kebelet.”

                “Iya deh hayuk!”

Kami harus melewati lorong kelas-kelas sebelum keluar menuju toilet di belakang kampus. Terlihat banyak mahasiswa yang duduk di depan kelasnya masing-masing. Ada pula yang merokok, paling anak-anak Maba alias mahasiswa baru, belagu banget baru masuk udah berani ngerokok di dalem kampus.

                “Aaakh! Naya jangan iseng! Nyalain lagi lampunya gue mau selesai nih.” Teriak Aida dari dalam toilet. Aku emang termasuk orang yang gatel untuk isengin teman yang lemah. Ups, keceplosan. Just kidding.

                “Udah? Yuk balik.” Tanyaku pada Aida yang baru saja keluar toilet dan merapikan pakaiannya.

Kami pun kembali kedalam melalui jalan yang sama. Tunggu, ada yang aneh. Ada yang menarik mataku. Aku melirik ke arah kumpulan anak cowok disebelah kananku, ini tepat di depan kelas yang bersebelahan denganku. Mataku langsung tertuju pada sepasang mata itu, satu cowok itu yang sedang duduk diam.

                Mataku tak berkedip, begitupun dengannya. Apa ini? Biasanya selama aku kuliah tak pernah berniat lirik kanan kiri, bahkan sampai tak berkutik seperti ini. Matanya tajam, wajahnya yang kecil dan badannya yang kurus, tapi aku yakin dia tinggi. Tatapannya cuek padaku, datar tak ada ekspresi, tapi aku? Aku sudah sibuk mengerutkan dahiku menatapnya. Aku bingung, ada apa dengan orang itu?

                Saat itu entah mengapa waktu berjalan begitu lambat, sangat lambat sampai aku merasakan tatapannya masuk dalam mataku.

                “Nay!” panggil Aida menepuk bahuku. Seketika itu waktu kembali berjalan cepat.

                “Iya? Kenapa?” aku tersadar.

                “Udah pada masuk tuh, buruan!”

                “Oh iya, udah ada dosennya belum ya?”

                “Makanya buruan masuk.”

                “Yah, belum ada dosennya juga. Keluar yuk! Panas banget di dalem.” Ajakku setelah menaruh tas di bangku.

Kami duduk di depan kelas kami, beberapa teman kami ada yang keluar untuk membeli makanan sebelum dosen datang. Pas sekali di depan kelas kami terdapat papan mading yang ditaruh di tengah-tengah jalan. Jadi membuat jalan terbagi dua. Masing-masing jaraknya tak begitu lebar, hanya sekitar satu meter.

                Lalu seseorang melewati kami, yang tadinya kami asik melonjorkan kaki harus melipat sedikit saat dia lewat. Reflek kami melihatnya, seperti tak asing bagiku. Entahlah.

                Beberapa menit kemudian dia kembali lagi melewati kami menuju kelasnya. Apa? Matanya melihat kebawah, menuju arahku, mataku. Sepertinya aku pernah melihat tatapan cuek itu. Kami baru sadar itu orang yang sama dengan yang tadi, kami pun tersadar jalan di sebrang kami tak ada siapapun sehingga tak ada yang menghalangi jalan.

                “Eh, itu orang bulak-balik aja ya?” bisikku pada Aida.

                “Iya, mungkin gak jadi keluar kali tadi.” Jawab Aida.

                “Tapi, liat dong di sebrang kita gak ada orang. Kenapa dia gak lewat sana aja, daripada lewat sini sempit kan ada kita lagi duduk.”

                “Iya yah, gue baru sadar. Gak tau deh kenapa ya?”

                “Eh, gue inget! Itu orang yang tadi ngeliatin gue. Gue kira ngeliatin lo atau yang lain, tapi itu lama banget, sampe gue liatin dia balik. Ternyata emang ke gue liatinnya.” Ucapku lagi.

                “Wah, jangan-jangan dia emang carper alias cari perhatian sama lo. Makanya dia pilih lewat jalan ini.”

                “Ah, mana mungkin.”

_***_



J

anuari – Sudah sebulan aku memperhatikan dan menyukainya. Aku tak tahu siapa namanya, dari jurusan apa? Aku tak punya keberanian untuk bertanya sana-sini. Aku hanya mampu menunggu hari Senin dan Rabu, hari dimana kelas kita selalu bersebelahan. Hanya itu yang mampu aku lakukan saat ini, aku hanya bisa memperhatikannya dari belakang. Sebulan terakhir aku tak pernah maju selangkah.

                Ya, cowok itu. Cowok yang saat itu melirikku tajam, akhirnya setelah pertemuan yang kedua kalinya aku merasakannya. Aku merasakan detak jantungku yang berdebar saat bertemu dengannya. Semakin hari aku semakin merindukannya, aku sadar itu cinta. Ya, meskipun aku tak yakin dengan apa yang disebut cinta.

                “Hei, Nay! Lo tau kan sebentar lagi kita UAS. Ini hari terakhir di minggu terakhir lo bisa ketemu dia. Kapan lo mau nyari tau namanya?” tanya Aida saat kami datang terlalu pagi dari jadwal(tumben).

                “Gimana dong? Gue kan malu lah.” Jawabku sembari berpikir.

              “Liat tuh kelas dia masih sepi baru ada satu orang yang dateng. Lebih baik lo tanya ke dia sekarang atau lo bakal nyesel.” Ucap Aida meyakinkan menunjuk arah kelas cowok itu.

                “.....” aku terdiam, aku bingung. Selama ini aku mengkhayal berharap bertemu dengan seorang lelaki yang berbeda, lelaki yang sama-sama menyukai Anime, dan berlaku seperti lelaki di drama-drama Korea. Lalu aku berharap lelaki itu pun seperti tokoh di komik-komik yang selalu aku baca, cuek tapi sebenarnya sangat baik. Pokonya memiliki hobi yang sama pula denganku. Dalam benakku itu sudah perfect.

Semua pikiran-pikiran itu berkecamuk dalam otakku. Bagaimana kalau dia sama saja dengan lelaki lain, tapi bagaimana kalau dia seperti khayalanku? Ada benarnya yang dikatakan Aida, UAS di kampusku memakan waktu sebulan, setelah itu belum tentu jadwal kami masih sama. Jika tidak sekarang bagaimana aku tahu.

                “Jangan diem! Buruan sebelum ada yang lain dateng!” Aida mendorongku sampai ke depan pintu kelas itu.

Seorang anak cowok di dalam kelas itu terheran-heran melihat kami. Aku berpikir sejenak, aku harus berani. Toh hanya bertanya siapa nama dan jurusan dari anak cowok yang aku suka itu. Aku pun masuk menghampiri cowok itu yang sedang duduk dan sibuk dengan hp-nya. Sedangkan Aida berjaga di depan pintu, memastikan tak ada yang datang.

                “Sorry, kamu anak kelas berapa ya?” tanyaku pelan dan gemetar, semoga saja dia tak menyadarinya.

                “Kelas 1KA06. Kenapa ya?” jawabnya.

                “Oh engga, 1KA06 itu Sistem Informasi ya?”

                “Iyah.”

                “Oh, maap kamu kenal sama cowok yang ada difoto ini gak?” aku menyodorkan hp-ku disitu kuperlihatkan fotonya saat dia tak sadar, yang sedang duduk membaca komik, memakai sweater variesty biru-putih.

                “Oh, iya kenal! Itu mah si Adit!” jawab cowok itu yakin.

                “Serius? Dia anak mana?”

                “Wah kurang tahu deh. Dia anaknya pendiem.”

              “Oke, makasih ya. Jangan kasih tau dia kalau saya nanyain. Oke?!” ancamku pelan. Aku buru-buru keluar kelas takut kalau-kalau ada yang datang.

                “Gimana?” tanya Aida antusias.

                “Dapet. Ternyata dia kelas satu, namanya Adit!” jawabku dengan senyum yang lebar.

Akhirnya, sebulan kulewati tanpa melangkah. Kini aku berhasil maju satu langkah. Saat UTS nanti aku pun akan tenang.

_***_



                “Ha? 1KA06? Itu mah kelas temen gw disalah satu UKM yang gue ikutin. Dia ade tingkat gue.” Ucap Shery terkejut mendengar cowok yang aku suka ternyata temannya dari temannya shery.

                “Serius? Ih gue minta nomornya dong. Ada yang pengen gue tanyain.” Pintaku sangat antusias.

                Akhirnya aku maju satu langkah lagi. Aku hanya bertanya seperlunya saja pada adik tingkatnya Shery itu. Namanya Daisy. Dia lumayan membantu banyak mengenai info tentang Adit. Ternyata benar Adit orang yang pendiam di kelasnya tak banyak bicara.

­_***_



F

ebruari – Pertengahan bulan ini aku baru saja menyelesaikan UAS yang kemudian disusul dengan Ujian Utama sejak bulan Januari lalu. Sungguh melegakan. Tiba-tiba hp-ku berdering menandakan Direct Messages baru masuk.

Ka, kenapa kakak gak coba invite pin BB’a aja?

By: Daisy



Oh, dia punya? Boleh deh.

By: Naya



Ini kak, xxxxxx nanti aku suruh dia accept ya.

Coba aja sekarang, dia lagi aktif tuh.

By: Daisy



Oke, makasih ya dek. J

By: Naya



Sip kak, goodluck ya. ;)

By: Daisy



*Tung

                BBM-ku berbunyi, saat kubuka ternyata Adit menerima invite-ku. Betapa senangnya saat itu, aku mulai bingung apa yang aku lakukan setelah itu. Apa aku harus memulai percakapan atau diam saja?

Akhirnya kuputuskan untuk memulainya dengan basa basi, maklum cara basi. Haha. Sejak itu kami terus saling balas BBM. Hanya hitungan hari, mungkin sekitar lima hari kami mengobrol di BBM. Karena saat ini juga kampus kami sudah mulai libur selama seminggu. Dia tidak banyak gombal.  Rasanya saat itu cinta berpihak padaku, kami saling nyambung. Kami punya hobi yang sama. Aku senang sekali saat itu, khayalanku terwujud. Ya, dia adalah sosok impianku selama ini. Dari awal perjuanganku yang hanya mampu memandangnya dari jauh, sekarang aku bisa berbagi cerita dan canda dengannya. Itu yang membuatku percaya padanya. Tapi disitulah kepedihan itu muncul.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)