Rabu, 29 Oktober 2014

Love Train (33)

Akhirnya kereta yang Kamiya naikki sedikit kosong. Kereta tujuan Kamiya adalah Bogor Yogyakarta. Sudah setengah jam dia harus berdiri dari stasiun Bogor karena penuh. Banyak orang-orang yang akhirnya turun di stasiun Depok membuat Kamiya menghela nafas panjang. Dia langsung duduk di kursi dekat pintu.

    “Akhirnya duduk juga, sudah lelah menunggu kereta datang, masih harus berdiri. Bawa koper pula, aku kan masih harus transit di Gambir.” Keluh Kamiya dalam hatinya.

Dia melirik kanan dan kiri, merasa lega karena kereta sepi membuatnya bisa istirahat sejenak. Baru saja dia menutup matanya, tiba-tiba ada yang duduk di sebelahnya. Dia pun terbangun, dan melihat siapa yang duduk di sebelahnya. Dia bingung, tempat banyak yang kosong. Ah mungkin kebetulan, ucapnya dalam hati. Kereta yang dia naiki adalah kereta commuter line yang tempat duduknya sejajar ke samping.

    “Oh, sudah di stasiun Lenteng.” Ucap Kamiya pelan setelah melihat keluar jendela.
    “Maaf, ini bakal berhenti di Gambir kan?” tiba-tiba seorang cowok di sebelahnya bertanya.
    “Oh, iya.” Jawab Kamiya singkat dengan ramah.
    “Cakep.” Batin Kamiya setelah melihat cowok di sebelahnya itu, dia membuang muka ke arah lain sembari senyum-senyum tak jelas.

Lama perjalanan menuju Gambir cukup membuat Kamiya merasa mengantuk. Ingin sekali dia terlelap namun tak bisa. Dia hanya berusaha memejamkan matanya. Tiba-tiba sang masinis membunyikan klaksonnya, yang membuat Kamiya terbangun.
    “Aduh. Apaan sih ngagetin aja.” Batin Kamiya.
    “Eh, maaf. Memangnya kamu mau ke mana?” tanya cowok itu lagi.
Ini orang gak tahu ya kalau aku sedang berusaha tidur. Batin Kamiya sedikit kesal.
    “Oh, ke Yogyakarta. Aku harus transit dulu di Gambir. Emang kamu mau ke mana gitu?” tanya Kamiya berusaha ramah.
    “Sama, aku juga. Kamu dari terminal Yogya masih jauh atau dekat?”
    “Hmm, lumayan dekat sih cuma naik angkutan umum kurang lebih setengah jam.”
    “Oh, kalau aku harus naik bus kecil selama hampir dua jam. Kamu kuliah?”
    “Iya, kamu juga?”
    “Iya, kamu dari Bogor ya tadi? Bogor mananya?”
    “Aku di Bogor dekat Mall BTM. Tahu gak?”
    “Oh iya tahu, kalau aku di dekat stasiun Lenteng Agung.”
    “Oh, kenapa naik kereta? Gak nyoba naik pesawat aja lebih cepat?”
    “Aku lebih suka naik kereta.”
    “Iya aku juga sih, lebih seru yah? Ahaha”

Mereka terus mengobrol dan terkadang tertawa bersama. Tak disangka ternyata mereka memiliki banyak kesamaan dan bahkan mengenal teman atau bisa dibilang orang yang sama.

    “Oh, jadi kamu alumni SMP 2 Bogor?” tanya cowok itu.
    “Iyah, kenapa gitu?” tanya Kamiya penasaran.
    “Kenal sama Feris dong? Yoga juga kenal ya?” tanyanya semakin bersemangat.
    “Ooooh, iya mereka sih pernah satu kelas sama aku. Sama-sama nakal anaknya. Menyebalkan, aku sampai lupa tuh sama mereka. Kok kamu bisa kenal?” jawab Kamiya jutek.
    “Iya, dulu kita pernah satu SD. Wah ternyata dunia itu sempit ya.” Ucapnya dengan senyum lebar.
    “Oh gitu, iya iya. Emang sempit, haha.” Kamiya masih tak percaya bahwa cowok yang baru dikenalnya ternyata begitu dekat.

Mereka terus mengobrol dan terkadang diam sesaat, mungkin mereka bingung harus membahas topik apa lagi karena ini terlalu mendadak bagi mereka mengenal seseorang yang baru, namun ternyata mereka memiliki keterikatan.

Stasiun Gambir, sebentar lagi kami akan memasuki stasiun Gambir. Mohon periksa kembali barang-barang anda dan hati-hati dalam melangkah. Terimakasih. (terdengar announcer wanita)
    “Wah, sudah di Gambir. Ayo turun.” Ajak cowok itu.
    “Iyah, duluan saja jalannya.” Ucap Kamiya tersenyum.

Terlihat cowok itu berjalan duluan namun terhenti dan melihat Kamiya yang siap membawa kopernya. Cowok itu pun kembali dan langsung merebut koper Kamiya dengan lembut.
    “Sini aku saja yang bawa.” Ucap cowok itu.
    “Eh, gak usah. Aku bisa kok.” Jawab Kamiya terkejut.
    “Gak apa-apa, kasian kamu bawa-bawa koper begini.”
    “Makasih.”

Mereka pun turun bersama menuju tempat duduk yang tersedia di stasiun. Mereka duduk berdua, kebetulan hari itu stasiun  sedang sepi penumpang yang biasanya berlalu lalang. Mereka menunggu kedatangan kereta selanjutnya menuju Yogyakarta.
    “Oh iya. Kita belum kenalan. Namaku Rialta.” Cowok itu menyodorkan tangan kanannya menunggu sambutan tangan Kamiya.
    “Iyah, namaku Kamiya.” Ucap Kamiya menyalami tangan Rialta.

Apa ini? Di belakang tubuh Rialta ada banyak segilima merona-rona. Batin Kamiya. Segilima yang dimaksud adalah seperti pancaran cahaya yang bisa dilihat bila kita terpesona atau menyukai orang itu, orang yang kita lihat terdapat segilimanya di balik tubuhnya. Itu biasa disebut dalam Manga, bagi yang suka membaca Manga pasti mengerti. Kamiya pun memang seorang pecinta Manga.
                                              _***_

    “Wah, tempat duduk yang kita beli sebelumnya kenapa bisa sebelahan gini ya?” tanya Rialta terkejut melihat di sebelahnya ada seorang gadis yang sudah dia kenal.
    “Eh, iya. Aku kira kita gak bakal ketemu lagi di kereta ini.” Ucap Kamiya tersenyum lebar.

Lalu petugas kereta datang untuk mengecek tiket masing-masing. Secepat kilat Rialta bangkit dari duduknya dan duduk di hadapan Kamiya. Kereta ini berbeda dengan commuter line karena tempat duduknya berhadapan dan terdapat satu meja di tengahnya.

    “Mana tiketnya?” pinta petugas tersebut pada mereka. Tapi Kamiya masih bengong melihat kejadian barusan.
    “Ini pak, tiket saya di sebelah, tapi berhubung di sini kosong, saya di sini saja.” Ucap Rialta penuh percaya diri.
    “Kenapa anda pindah-pindah?” tanya petugas itu sedikit tak terima.
    “Saya harus jagain cewek ini pak, dia teman saya.” Jawab Rialta tersenyum, kemudian melihat Kamiya yang semakin terkejut.
    “Baiklah, kamu mana tiketnya.” Tanya petugas itu membuat Kamiya terbangun dari keterkejutannya.
    “Oh, ini pak. Makasih.” Petugas itu pun pergi.
                                             _***_

Selang beberapa jam dengan keheningan di antara mereka. Langit pun semakin gelap, hari semakin sore. Namu ada sepercik cahaya orange dan kehangatan pacaran sinar matahari yang akan terbenam.
    “Ini nih, saat-saat yang aku sukai jika pergi menggunakan kereta.” Ucap Kamiya pelan melihat ke balik jendela.
    “Apa? Kamu bilang apa tadi?” tanya Rialta.
    “Oh, engga. Itu aku suka banget sm sunset yang dilihat dari dalam kereta yang berjalan seperti ini. Indah banget apalagi banyak pemandangnnya.” Jawab Kamiya tersenyum. Rialta pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil dan ikut melihat matahari yang hampir terbenam.

    Selang satu jam, lagi-lagi dalam keheningan. Kamiya jadi merasa mengantuk, mungkin dia lelah. Kamiya mulai menutup matanya untuk mencoba lelap. Meskipun kereta, tetap saja ada guncangan yang mengganggu ketika kita ingin tidur. Kamiya sudah terlelap hanya dalam hitungan menit. Kepalanya terus tejatuh dan bangkit lagi. Dia terus menahan agar kepalanya tak jatuh, namun itu sangat sulit. Akhirnya tak bisa dia tahan, dia biarkan kepalanya jatuh ke samping kanannya.

Puk..
Dalam tidurnya Kamiya merasa aneh, seperti ada yang menahan kepalanya. Kamiya tak perduli dengan rasa penasarannya itu, dia begitu mengantuk, dia malas membuka matanya. Kamiya merasa semakin nyaman dan semakin terlelap dalam tidurnya. Saat kereta berguncang, Kamiya merasa ada tangan hangat yang menyentuh pipnya, berusaha menahannya agar tak jatuh atau terguncang. Kamiya tersadar dan membuka kedua matanya perlahan.

    Terlihat suasana sudah terang dengan lampu di dalam kereta. Dia melihat ada tangan yang masih menjaga kepalanya supaya tak jatuh. Dia terkejut dan bangkit dari posisinya tadi. Di sampingnya sudah ada Rialta yang terheran-heran melihat Kamiya.
    “Kenapa? Kamu kabangun ya?” tanyanya.
    “Ke... kenapa kamu ada di samping aku? Kenapa aku bisa tidur di pundakmu?” tanya Kamiya seditkit panik, hatinya berdetak tak menentu.
    “Tadi aku perhatikan kamu tidur, kamu terus menahan kepalamu supaya tak jatuh, aku khawatir akhirnya aku langsung pindah ke sini, dan pas sekali kepalamu jatuh juga. Untung saja aku tepat waktu, kalau tidak kamu bisa saja jatuh ke bawah.” Jelasnya dengan wajah yang polos.
    “Em...oh okee. Makasih ya.” Hanya itu yang dapat terucap dari bibir manis Kamiya.
    “Gak apa-apa, santai aja. Aku takut kamu kenapa-kenapa, kalau kamu mau tidur ke pundak aku lagi aja. Perjalanan masih lama ko. Nanti aku jagain.” Ucapnya tersenyum.

Apa ini? Segilima lagi. Ya ampun, kenpa jantung aku berdebar-debar. Aduh muka ku jadi panas begini. Batin Kamiya.

    Akhirnya setelah sedikit mengobrol, Kamiya tertidur di atas pundak Rialta. Kamiya merasa aman dan nyaman, terlebih lagi dia merasa bahagia karena masih ada yang perduli dengannya meski mereka baru saja akrab. Sesungguhnya banyak sekali maslaah-masalah yang berlarian dalam kepala Kamiya. Dengan bertemunya dia dengan Rialta, dia merasa ada pelangi setelah hujan. Ada lagi yang membuatnya tersenyum, ada lagi yang membuatnya percaya, ada lagi yang membuatnya aman sekalipun dia tahu ini pasti hanya sementara.

    Lagi-lagi pipi Kamiya yang halus disentuhnya, Rialta terus menjaga Kamiya dalam tidurnya. Meskipun Rialta lelah dan merasa mengantuk, dia tetap menjaga Kamiya. Sebelum menuju alam mimpinya, Kamiya masih terus tersenyum lebar dengan mata terpejam dari balik tangan Rialta yang menyentuh pipinya.
                                              _***_

    “Yah, akhirnya sampai juga di stasiun Yogya. Kamu mau langsung naik angkutan umum di depan itu?” tanya Rialta sembari merenggangkan tubuhnya.

    “Iya kayaknya, sudah hampir tengah malam sih jadi mau langsung saja. Kamu masih ada bus kecil jam segini?” ucap Kamiya dengan wajah yang masih mengantuk membuat Rialta tersenyum melihatnya.

    “Kamiya, jangan tidur.” Ucap Rialta mengusap rambut hitam Kamiya yang lembut memaksa Kamiya melihat wajah Rialta di hadapannya. Sedetik kemudian bibir mereka saling bersentuhan. Kamiya langsung membuka matanya lebar-lebar karena merasa terkejut. Sebuah kecupnan hangat yang lembut terasa di bibir Kamiya yang juga terasa lembut bagi Rialta.

    “..............” Rialta perlahan menjauh dan memandang Kamiya. Tentu saja Kamiya tertegun bagai melihat hantu di hadapannya.

    “Apa yang kamu lakuin barusan?” akhirnya Kamiya berucap.
    “Gak ada, hanya.... oh ya kalau memang sudah tak ada bus, aku lebih baik naik taksi saja. Kamu yakin tidak apa-apa sendirian?” lanjut Rialta mengalihkan pembicaraan.

    “Itu,,,, aku gak apa-apa kok. Sudah biasa sampai jam segini.” Perasaan canggung tadi sedikit meleleh.
    “Yasudah, itu angkutan kamu. Sini aku bantu bawain kopernya.” Ucap Rialta lagi.

    “Makasih Ri.” Ucap Kamiya singkat. Dia masih merasa aneh dan jantungnya terus berdebar tak mau berhenti, seperti bom yang siap meledak beberapa detik lagi. Dia tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Dia masih merasa bingung.

“Eh Ri, kamu hati-hati ya di jalan, yang tadi makasih banyak udah pinjemin pundakmu dan udah menjagaku.” Ucap Kamiya yang sudah berada di dalam angkutan umum memaksa berucap untuk berterimakasih.

    “Sama-sama Miya, aku seneng ko. Hati-hati ya, jangan tidur kalau sendirian.” Itu ucapan terakhirnya. Rialta tersenyum melihat Kamiya yang perlahan menjauh dari hadapannya.

    “Tapi, yang tadi itu apa maksudnya? Rialta!” teriak Kamiya karena angkutannya sudah berjalan, dan sayangnya Rialta terheran-heran karena tak mendengar apa yang diucapkan Kamiya barusan.

    “Yasudahlah, anggap saja itu tidak pernah terjadi Ri.” Batin Kamiya.
    “Semoga suatu saat nanti, kereta mempertemukan kita lagi.” Ucap Rialta dan Kamiya berbarengan dalam hatinya sembari tersenyum.

Akhirnya Kamiya hilang dari penglihatan Rialta, dia pun langsung menghentikan taksi yang lewat dan pergi ke arah yang berlainan dengan Kamiya.

-End-

By : Tantan :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)