Minggu, 10 Maret 2013

Cinta Itu,,, Tidak Sempurna-Part3 (26)


S
udah enam bulan berlalu aku bersama Gigi. Ternyata memang dia yang ku cari, tidak pernah menyakitiku. Bahkan bila dihitung tanpa ada putus saat itu, hubungan kami sudah hampir setahun. Sekarang kami sudah kelas tiga, sebentar lagi kelulusan. Kami kembali di sibukan dengan tugas-tugas akhir dan ujian-ujian.

                Lagi-lagi hubungan kami tergoyahkan. Aku tak tahu apa yang mengganggu otakku. Kami kembali berpisah karena aku merasa Gigi sudah menjauh dariku. Hati ini sakit sekali kembali berpisah dengannya. Tapi, sama saja, sebulan kami berpisah kami masih berhubungan dengan baik. Kadang masih selalu memanggil dengan kata sayang.
                Apa yang konslet dengan hubungan ini? lalu aku mendengar kabar bahwa dia menjalin hubungan dengan teman curhatnya sendiri yaitu Yeni.
                “Apa?! Kata siapa?” teriakku tak percaya.
                “Kata temennya tadi di kantin, gue ngobrol.” Ungkap Vey.
                “Kapan jadiannya?!”
                “Katanya sih udah seminggu, sabar Lin.”
                “Seminggu yang lalau gue masih sayang-sayangan sama dia Vey!” aku marah, kesal, benci.
                “Iya, gue juga gak tau. Tuh Yeni muna emang. Dulu lo pernah denger kan, dia gak bakal jadian sama Gigi meski deket gitu. Eh taunya pa coba?!”
                “Eh, Lin. Mau kemana? Gue belum selesai!” aku tak tahan mendengarnya, aku pergi mencari Gigi.

Terlihat dia bersama teman-temannya dan Yeni! Aku benci sekali melihat perempuan itu, dasar bi**h! Lihat saja, rambut di warnai merah, badan gendut, meski tidak gendut banget, jelek, rambutnya seperti sapu ijuk, giginya ada yang hitam. Apa Gigi mulai buta karena berpisah kembali dariku?

                Aku melihat Gigi tajam dari kejauhan, dia menyadarinya dan membuang muka. Aku menghampirinya seperti sedang kerasukan roh. Aku menarik lengannya kasar, tak perduli teman-temannya menghinaku. Aku sudah membenci semuanya, ingin rasanya aku merobek mulut mereka, dan mencincang cewek bi**h itu!

                “Kenapa sih?!” ucap Gigi kesal.
                “Aku yang harusnya tanya itu dengan kesal! Kenapa kamu jadian sama cewek itu tanpa aku tahu. Bahkan setelah kamu jadian kamu masih memanggilku sayang! Aku pikir kamu yang selama ini aku cari, kamu baik, kamu mnegerti aku, kamu gak pernah nyakitin. Tapi kenapa kamu kaya gini? Dulu kamu bilang gak akan pernah jadian sama cewek itu dan menyuruhku tenang. Ternyata bener kan firasatku? Aku benci sama kamu!” aku teriak gak jelas, air mataku tumpah.
                “Kenapa diam?! Aku masih sayang sama kamu! Aku pikir kamu bakal nahan kepergianku lagi, aku pikir kamu bakal kembali untukku lagi. Tapi kamu,,, apa kamu memutuskan untuk gak akan kembali lagi?! Hah? Jawab Gi, jawab!” aku mengguncang tubuhnya yang kurus dan tinggi itu, masih terasa hangat di tanganku ketika menyentuhnya.
                “Aku cuman, gak mau kembali ke masa lalu setelah bersama Yeni. Selama ini dia temen curhat aku, dia mengerti aku. Tapi kamu cuman mau di mengerti. Aku udah sabar selama ini, tapi kamu selalu dekat dengan cowok lain dan terkadang melupakanku, dan hanya karena kamu merasa aku jauh darimu, kamu memutuskanku, lagi!”
                “Wajar dong, aku dekat sama cowok karena aku tomboy, mereka teman-temanku. Kamu bilang kamu terima keadaan aku yang seperti ini,,”
                “Iya, aku terima kamu yang seperti itu, tapi tidak untuk melupakanku dan lebih memilih dengan teman-teman cowokmu itu. Aku jadi seperti orang bodoh, asal kamu tahu itu!”
                “Aku,,, kenapa kamu gak bilang? Supaya aku mengerti, dan kenapa juga kamu menjauh? Aku merasa kamu gak sayang lagi sama aku!”
                “Itu dia masalahnya, kamu gak pernah mau ngerti, kamu gak pernah mau mencoba di posisi aku. Harusnya kamu mengerti, aku menjauh supaya kamu sadar bahwa aku membutuhkanmu Lin, aku membutuhkanmu di sisiku.”

Aku terdiam, tangisku semakin menjadi-jadi. Aku ini bodoh. Ya, Gigi benar, aku yang tidak mengerti.
                “Sekarang kamu sadar kan kesalahan kamu. Maaf Lin, aku gak mau kembali ke masa lalu.” Itu adalah ucapan terakhir dari Gigi.
                “Oh ya, aku tahu sifat kamu, kamu pasti mau minta maaf kan? Aku udah maafin kamu Lin, semoga kamu bisa menjadi yang lebih baik lagi, dan bisa mengerti orang yang kamu cintai.” Ucapnya tersenyum sebelum pergi meninggalkanku menangis sendiri.

Mataku buram terhalang air mata, kulihat samar-samar dia begitu bahagia tersenyum dengan Yeni seperti saat pertama kita bersama dahulu. Aku mengerti Gi, aku mengerti kebahagiaanmu, tapi aku tak rela. Sungguh, aku hanya ingin kamu bahagia denganku, bukan dengan yang lain. Aku mohon, jangan tinggalkan aku selamanya seperti ini.

                Kini semua memandangiku yang sedang menangis, mungkin mereka kaget, aku yang tomboy dan periang kini menangis, dan begitu lemah di hadapan mereka. Aku tidak ingin pergi, aku ingin menangis saja sampai Gigi kembali padaku. Aku terlihat seperti Chibi Maruko Chan yang menangis sendirian meminta perhatian.
                “Elin! Kenapa nangis di sini? Malu kan?” tanya Icha.
         “Lin, lo kenapa?” tanya Vey. Bahkan Farid dan Jay yang tak sengaja melewatiku berhenti dan ikut mengkhawatirkanku.

Tangisanku semakin menjadi, akhirnya hanya teman-temannku yang memperhatikanku, lagi dan lagi. Hanya mereka yang benar-benar mengerti aku, mereka gak akan meninggalkanku karena keegoisan yang tak sengaja aku miliki.
                “Gigi..” ucapku terbata-bata karena tangisanku yang tak bisa berhenti.
                “Duduk dulu Lin, kenapa sama Gigi?” tanya Icha pelan.
                “Gue,,, gue emang bego Cha! Gigi bilang gue gak pernah mau mengerti dia, dan gamau mencoba ada di posisi dia. Dia emang bener, gue yang salah bukan dia yang ninggalin gue. Gue,, gue kasihan sama diri gue sendiri Cha. Gue,, gue gak mau,,, gak mau kehilangan Gigi.” Jelasku dengan susah payah.
                “Ya udah cup.cup, sabar ya Lin, lo tau kan itu salah lo, jadi lo harus kuat nerimanya, nerima hasil yang telah lo perbuat. Udah dong jangan nangis.” Ucap Icha merangkulku.
                “Iya Lin, gue jadi ikut sedih, masa cowok kaya lo mewek. Lo gak boleh lemah Lin, bukannya selama ini lo yang selalu nguatin gue?” ucap Vey mengelus rambutku.
                “Sorry Vey, gue ngecewain elu, Icha juga. Gue minta maaf, gue gak sekuat yang kalian inginkan.” Ucapku.
                “Lin, Gigi itu memang baik sekalipun dia gak ada cakepnya. Hmm, gue tau lo pasti nyesel banget. Tapi lo gak boleh lemah dihadapan dia dong!” ucap Jay.
                “udah sih, masih ada yang lebih dari Gigi. Masa cewek maco lemot gini,” Farid ikut bercuap seolah masalah ini begitu entang.

Aku hanya tertunduk pasrah. Icha dan Vey akhirnya memelukku erat, terimakasih teman. Kalian lah penguatku, maaf aku terlalu lemah. Aku benci semuanya, sekarang aku benci masa lalu. Tangisku tak mau berhenti, terlalu sakit, kehilangan seseorang yang selama ini gue cari, gue percaya, gue sayang, dan itu karena ulah gue sendiri. Betapa bodohnya gue!
_***_


Enam bulan kembali berlalu.
Aku sibuk dengan tugas akhir yang membutuhkan warnet dan warnet.  Saat itu aku, Vey, dan Icha hanya membutuhkan print out dari makalah yang kita buat, mereka bermaksud menungguku di luar.
                “Kenapa harus gue yang masuk?” tanyaku protes. Setiap ke warnet selalu aku yang masuk.
                “Ya, elu kan kenal sama abangnya, lu udah di kenal sekampung ini tau. Siapa tau dapet diskon.” Jawab Icha meledek.
                “ya elah, ada juga elu Cha. Lu kan cantik tuh feminim banget lagi, pasti abangnya suka terus di kasih diskon deh.” Aku dan Vey pun tertawa terbahak-bahak.
                “Hei! Sorry ya, masa levelnya abang-abang warnet? Udeh buru sana masuk!” teriak Icha tak terima.
Akhirnya aku pun masuk. Tak di sangka, aku terkejut. Ingin keluar sudah terlanjur masuk dan di lihat.
                “Hey, Lin.” Sapa Fandy, pas banget dia duduk di depanku. Memang jarak pintu dan meja si abang warnet ini cuma selangkah. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
                “Mas, print ya file ini nih.” Aku menunjukan flasdiskku pada Mas Eno, si penjaga warnetnya. Eh dia Cuma manggut-manggut sambil senyam-senyum lagi.
                “yee, si emas kenapa senyam-senyum?” tanyaku.
                “Kaga, itu si Fandy ngeliat kamu di luar tadi deg-degan katanya pengen ketemu.” Sambil nunjuk-nunjuk Fandy dengan lirikan matanya.
Eh, si Fandy malah nunduk di meja nutupin mukanya. Hello? Apa dia malu? Ya elah, dulu kan dia nyakitin gue, kenapa sekarang malu-malu seneng gitu ketemu gue?
                “Udah lah mas, buru! Udah siang nih.”
                “Kenapa buru-buru?” tanya Fandy memangku dagunya dengan tangan kanannya di atas meja, melihatku dengan godaan.

To Be Continued.. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)