Jumat, 16 Januari 2015

Sebuah Pilihan (35) - Part.1

(Ada ataukah Tak Ada)

Kamu di mana?
            Sent 11.30 am

Sayang? Kamu gak lupa kan mau temenin-
Aku ke toko buku nanti sore?
            Sent 12.30 pm

Rava! Udah jam segini, kenapa smsku-
Gak kamu bales? Kamu ke mana?
            Sent 13.30 pm

Tuuuuut....... tuuuuut.........
Tutututututututut...

Kok telfonnya dimatiin sih?! Bales!
            Sent 14.30 pm

                        Maaf, tadi aku lagi rapat. Maaf ya yang, kayaknya-
                        Aku gabisa, mau ketemu client.
                                    Received 15.00 pm

Oke. Fine!
            Sent 15.05 pm

 _***_


    “Hei!” seorang pria dari balik tubuhku mengagetkan lamunanku.
    “Eh, Vio. Kok ada di sini juga sih?” tanyaku kebingungan.

    “Biasa, setiap sabtu emang suka ngajak adik jalan-jalan ke taman ini. Kok kamu sendirian? Ngelamun lagi. Hati-hati nanti kalau ada yang jahatin gimana?” ucapnya.

      “Enggalah, kan di sini rame. Aku cuma pengen nyantai aja kok.” Jawabku memaksa tersenyum.

    “Hei, wajah kamu gak menunjukan hal yang sama tuh. Kamu gak lagi nyantai aku tahu itu. Kenapa? Ada masalah? Sama Rava lagi?” tanyanya sembari duduk di sampingku. Aku hanya bisa diam.

      Vio, dia sebenarnya temanku sejak kecil. Dulu kami tetangga, namun kami tidak satu sekolah saat SD sampai SMP. Kemudian saat kelas tiga SMP, dia dan keluarganya pindah rumah. Masih satu kota, hanya beda kabupaten beberapa kilometer. Tak disangka kami kembali bertemu di SMA yang sama. Vio sudah seperti kakakku sendiri ketika SMA, awalnya kami canggung namun kemudian kami semakin dekat. Dia selalu menolongku, menasihatiku dengan amarahnya saat aku salah, lalu membuatku tertawa tersenyum-senyum ketika dia selesai menceramahiku. Aku tahu, dia tak ingin aku khawatir atau sedih. Dia selalu begitu.

    Pernah beberapa kali aku gagal dalam cinta, semua menyakitiku dan aku selalu menangis, mengadu padanya. Dia dengan lembutnya dan sedikit amarahnya selalu memberikan bahunya. Dia tak pernah keberatan jika semua bajunya basah karena air mataku. Sementara aku sibuk mencari cinta dan tersakiti, dia diam seolah tak tertarik dengan cinta.

     Namun dia selalu mengerti cinta, mengerti apa yang tak pernah aku mengerti. Bertahun-tahun kami bersahabat, suka duka, hingga aku sudah bertunangan dengan Rava, dia masih saja menemaniku. Dia memamerkan wanitanya di media sosial, namun aku tak perduli dengan kebenarannya atau hanya bohong belaka. Karena jika Vio tak membicarakannya berarti aku tak harus membahasnya. Semakin ke sini, Vio semakin terbuka padaku, terkadang dia berbagi masalahnya meski hanya sedikit. Tapi aku senang.

    “Dia kenapa lagi? Apa masih suka ilang? Kalian kan udah tunangan, kamu harus bisa selesein maslahnya Van." ucap Vio.

    “Ya, aku tahu itu. Makanya aku hanya diam di sini. Aku tahu dia sibuk demi masa depan kami, tapi....” aku berhenti, suaraku mulai parau.

    “Kamu mau ke mana Van? Main? Jalan-jalan? Makan? Kamu sudah makan belum? Yuk kita pergi!” tiba-tiba Vio bangkit dari duduknya dan menarik lenganku.

    “Tidak! Tunggu!” ucapku dengan cepat, aku tak ingin air mataku tumpah saat bangkit dari dudukku.

    “Vani. Hei, langit akan mendung jika kau menangis.” Ucapnya menghapus air mataku yang sudah menuruni pipiku yang lebar.
    “Huwaaa... huhuhuhu!” tangisku malah semakin menjadi. Vio panik.

    “Eh eh, Vani kok makin kencang sih? Aduh, nanti aku dikira jahatin kamu tau! Udah dong berhenti!” ucapnya berusaha menghapus air mataku yang sudah banjir dengan pergelangan bajunya.

    “Mmmpph!”  Vio berusaha menghentikan tangisku. Aku terkejut dengan apa yang dilakukannya. Saat mata kami bertemu, dia tersenyum sangat manis, aku masih saja terdiam hingga tak berkedip. Vio baru saja menciumku!

    “Nah, berhenti deh. Air matamu sudah kering dan bajuku basah semua. Sebagai gantinya kamu harus mentraktirku makan! Ayo!” aku hanya mampu memandangnya, memandang punggungnya saat dia menarik lenganku.

     Yap, namaku Vani. Kisah cintaku selalu saja gagal, aku merasa semua laki-laki di dunia ini jahat! Tapi ada dua hal yang kusadari, bahwa terkadang akulah yang salah dan Vio adalah satu-satunya laki-laki yang tidak jahat padaku. Aku hanya wanita biasa yang rapuh namun ingin terlihat kuat, yang sabar namun selalu menangis di pojokan kamar, yang selalu memaafkan namun selalu teriak-teriak ‘Aku sakiiit! Aku sakit hati!’ versi Yovie n Nuno-nya di kamar mandi.

    Setelah dua tahun duduk di bangku kuliah, aku menemukan Rava. Kami bersama hingga kami memutuskan untuk menikah, diawali dengan pertunangan di awal bulan lalu. Rava adalah teman semasa sekolahku dulu, kami kembali bertemu ketika acara reunian sekolah angkatan kami. Namun, dia selalu cuek padaku. Sesekali dia membahagiakanku namun seringkali dia meninggalkanku karena alasan kuliah dan sekarang karena pekerjaannya.
    Aku tahu, aku paham, sifatnya memang selalu serius. Dia anak yang rajin, dia sangat semangat untuk masalah pelajaran dan pekerjaan. Tapi, akulah yang dia korbankan. Aku selalu ditinggal sendirian, aku pura-pura mengerti supaya dia tak merasa terganggu. Lalu, mengapa aku masih bertahan? Karena Vio. Ya, Vio selalu menyelamatkanku sehingga aku tetap bahagia dikala Rava sibuk dengan dunianya, dan saat Rava hadir memberiku cinta dari sela-sela kesibukannya, Vio seolah lenyap. Lebih tepatnya melenyapkan diri.
_***_

Vio membawaku ke restoran ayam, karena sedang ada promo maka kami mencoba mendatangi restoran yang lumayan ramai itu. Aneh, terlihat ramai tak seperti biasanya.

    “Wah, ternyata sedang ada promo besar-besaran! Lihat Vio!” aku menunjukan brosurnya pada Vio dengan girang.

    “Promo! Bagi orang beruntung yang mampu menjadi icon Ayam Biru(icon restoran tersebut) selama dua jam tanpa henti sembari membagikan brosur akan mendapatkan makan gratis sampai hari ini berakhir.” Vio membacanya malas.

    “Eh, apa? Dua jam dengan memakai icon itu! Tidak usah deh Vio, itu melelahkan dan kau bisa saja mati kehabisan udara di dalamnya.” Ucapku khawatir dan beranjak pergi.

    “Saya! Saya ingin mencobanya.” Teriak Vio pada salah satu pelayan restoran tersebut. Aku terkejut dan membalikan tubuhku ke arahnya.

    “Vio! Apa yang kau lakukan?” tanyaku segera menghampirinya yang langsung memakaikan icon tersebut.

    “Kau harus makan, tapi aku tak punya duit. Jadi akan aku lakukan.” Ucapnya santai.
    “Ha?! Kamu serius? Aku bawa beberapa di dompetku, aku rasa itu cukup untuk kita berdua.” Jawabku polos.

    “Sudahlah, aku lihat kamu sangat kelaparan karena bahagis melihat ini. Sudah ya, kamu tunggu di sini, aku akan kembali dalam dua jam.” Ucapnya memakai kepala ayam itu, dan mulai berkeliling membagi selebaran restauran tersebut.

Apa yang dia lakukan? Lihat! Dia berjalan sangat lucu karena pantat ayamnya yang besar. Aku tak sanggup menahan tawaku, geli rasanya. Hampir dua jam aku terus mengikutinya, melihatnya diam-diam dari belakang. Aku terus saja menahan tawa geliku. Sesekali dia berjalan sambil menari-nari tak jelas supaya menarik pelanggan menerima brosur dan datang ke restauran itu. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Aku tahu dia bohong tentang tak punya duit untuk makan kami, dia kan sudah bekerja, bekerja tetap di sebuah kantor terkenal di kota ini.

    “Oh! Gawat, dia datang. Aku harus cepat pergi.” Ucapku segera berlari menuju restauran tadi. Aku berdiri di samping restauran tersebut dan berpura-pura sibuk dengan hp-ku. Aku terus menunggu.

    “Hosh,,hosh,, Van, aku berhasil! Maaf apa kamu udah lapar?” tanyanya dengan nafas yang tak beraturan dan bersimbah keringat. Dia masih memakai kostumnya dan kepala ayamnya yang masih dia tenteng-tenteng.

    “Vio, kamu lelah. Aku belum lapar, kita istirahat saja dulu ya.” Ucapku khawatir.
Setelah Vio melepas kostumnya dan menerima voucher gratis itu, kami pergi menuju sebuah taman kecil di ujung jalan.

    “Wah! Aku tak akan pernah lagi memakainya!” teriaknya langsung duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap danau. Saat itu masih siang namun cuaca tak begitu panas.

    “Maaf Vio, semua karena aku. Padahal aku hanya menunjukkan brosur itu padamu. Kamu bodoh! Siapa yang memintamu untuk melakukannya?” ucapku kesal.

    “Haha, aku seneng ko. Karena semua itu demi senyummu.” Jawabnya tertawa.
    “Maksudnya?”
    “Aku tahu kamu mengikutiku, jadi aku sengaja berlagak aneh supaya kau tertawa. Ternyata itu sangat mudah. Kamu tertawa geli. Jujur saja!”
    “Ha?! Jadi kamu lihat?! Sebal!” ucapku makin kesal dan malu. Lalu aku teringat insiden ciuman tadi.

    “Emm, Vio. Apakah kamu tadi menciumku hanya supaya aku diam?” tanyaku perlahan.
    “........” tak ada jawaban.

Aku melihatnya, dia tampak serius namun ada kesedihan dari tatapan matanya yang memandang jauh ke ujung danau.
    “Vio, kenapa?” tanyaku sekali lagi.
    “Aku,,” ucapannya berhenti ketika dia menatapku, dan terkejut melihat apa yang ada di belakangku.

_To Be Continued_

By: Tantan :)

1 komentar:

Brikan Komentarmu. Supaya Karyaku Semakin Baik Untukmu :)